(Beritadaerah – Kolom) Jam masih menunjukkan pukul 06.30 ketika Pak Arman tiba di kantor. Di tangannya tergenggam secangkir kopi yang aromanya menenangkan, sementara tas kulit tuanya memuat satu dokumen yang berat: Laporan PDRB Kabupaten/Kota 2020–2024. Di luar, langit kota masih berkabut tipis. Tapi di dalam pikirannya, terang mulai menyala.
Sebagai perencana pembangunan daerah di sebuah kabupaten yang tidak banyak dikenal orang, Pak Arman percaya bahwa angka-angka statistik bukan sekadar laporan teknis. Ia adalah kisah nyata. Tentang siapa yang kenyang dan siapa yang tidak. Siapa yang bisa sekolah dan siapa yang masih berjalan kaki belasan kilometer ke madrasah terdekat.
Dan dari angka-angka itulah, ia memulai kisah pembangunan ini.
Pandemi dan Ekonomi yang Terdiam
Tahun 2020, seperti yang ditulis sejarah, adalah titik lengkung yang tak pernah diundang. Dunia hening. Virus menyebar cepat, melumpuhkan pasar, mematikan mesin-mesin pabrik, dan menyapu habis harapan pedagang kecil. Bukan hanya Jakarta yang kehilangan denyutnya, tetapi juga desa-desa di Sumba, gang-gang sempit di Palembang, hingga jembatan tua di Kutai Barat yang kini sepi lalu lintas.
Angka PDRB tahun itu adalah cermin getir. Hampir semua kabupaten/kota mengalami kontraksi. Bahkan daerah yang selama ini tangguh, seperti Kabupaten Bekasi dengan kekuatan industrinya, atau Kabupaten Badung yang mengandalkan pariwisata, tumbang bersama ketakpastian global.
Sektor transportasi, akomodasi, dan jasa makanan minuman menjadi yang paling terpukul. Dalam sekejap, lapangan kerja menguap. UMKM tak lagi sanggup bayar sewa. Di desa, sawah tetap menghijau, tapi harga jual anjlok. Petani seperti Pak Darto di Sleman hanya bisa mengelus dada saat harga cabai jatuh lebih rendah dari ongkos panen.
Menyalakan Mesin Pemulihan
Namun manusia selalu belajar beradaptasi. Seperti tanaman di lereng Merapi yang terus tumbuh bahkan setelah letusan, masyarakat perlahan bangkit. Tahun 2021 jadi saksi dari semangat itu. Pemerintah pusat dan daerah menggelontorkan bantuan, vaksinasi digencarkan, dan teknologi mulai merambah lapisan paling bawah.
Pelaku UMKM belajar menjual via daring. Petani mulai mengenal platform pasar digital. Pegawai dinas bekerja dari rumah namun tetap mendorong pendataan desa secara daring.
PDRB pun bergerak perlahan. Tidak spektakuler, tetapi menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Pertumbuhan ekonomi nasional mulai mencatat angka positif, dan hal yang sama mulai terjadi di berbagai daerah. Bahkan beberapa kabupaten seperti Siak di Riau dan Tabanan di Bali mencatat pemulihan yang lebih cepat dari perkiraan, didorong oleh sektor pertanian dan industri pengolahan rumah tangga.
Angka yang Berkisah tentang Harapan
Angka pertumbuhan PDRB tahun 2022 adalah bentuk puisi ekonomi. Di Kabupaten Banyuwangi, sektor pariwisata kembali berdenyut. Di Deli Serdang, sektor logistik dan gudang berkembang pesat karena e-commerce yang merajalela. Di Pontianak, koperasi berbasis digital mulai tumbuh. Di Papua Tengah, meski pelan, angka PDRB per kapita mulai menunjukkan geliat.
Pak Arman menggarisbawahi satu data kecil dalam laporan tahun itu: “Peningkatan kontribusi sektor jasa pendidikan sebesar 11 persen di kabupaten kami.” Ia menatap angka itu lama. Di balik angka itu, ada penambahan satu sekolah, peningkatan gaji guru honorer, dan pelatihan bagi para pengajar yang sebelumnya mengandalkan modul fotokopian.
Pergeseran Struktur Ekonomi, Dari Cangkul ke Laptop
Ekonomi Indonesia perlahan berpindah. Dulu, sektor pertanian dan pertambangan adalah pahlawan. Kini, sektor industri dan jasa mulai menjadi tulang punggung. Di kota besar, perubahan ini terasa jelas. Namun di banyak kabupaten/kota, perubahan ini terjadi perlahan tapi pasti.
Anak-anak petani kini belajar coding. Ibu-ibu PKK mulai menjual produk herbal lewat TikTok Shop. Santri belajar membuat konten dakwah berbayar di YouTube. Semua itu tercermin dalam data PDRB sektor informasi dan komunikasi yang naik rata-rata 8–10 persen di banyak wilayah.
Di sisi lain, perubahan ini menimbulkan tantangan. Di kabupaten dengan infrastruktur digital terbatas, pertumbuhan ekonomi tertinggal. Ketimpangan digital bisa berarti ketimpangan ekonomi baru.
Daerah Tumbuh Tak Seragam
Pak Arman membuka halaman tentang PDRB per kapita. Ia membaca: “DKI Jakarta mencatat PDRB per kapita di atas Rp 250 juta tahun 2024.” Di kabupaten tempatnya bekerja, angkanya bahkan belum separuhnya. Jauh dari Kota Batam atau Balikpapan yang mencapai Rp 130 juta per kapita.
Ia menandai satu kota kecil di Sulawesi yang angka pertumbuhannya stagnan. “Apakah pembangunan benar-benar adil?” gumamnya.
Laporan itu seperti cermin. Ada wajah-wajah daerah yang bersinar, ada pula yang sayu. Ada kabupaten yang tumbuh karena tambang, namun mengalami boom-and-bust. Ada yang bertahan lewat pariwisata tapi rapuh saat pandemi. Dan ada yang perlahan tapi pasti, membangun ekonomi berbasis komunitas, dengan daya tahan yang lebih kuat.
Membangun dari Pinggiran
Presiden pernah berkata, “Kita bangun dari pinggiran.” Tapi untuk membangun dari pinggiran, kita perlu mendengarkan pinggiran itu. Dan PDRB adalah salah satu cara mereka bersuara.
Ketika sektor pertanian di Kabupaten Dompu menyumbang 35 persen PDRB lokal, artinya masyarakat di sana butuh irigasi, pupuk murah, dan pasar yang adil. Ketika sektor perikanan menyumbang besar di Natuna, itu artinya nelayan butuh kapal, bukan seminar.
Pak Arman selalu percaya bahwa setiap digit dalam PDRB adalah cerita: tentang siapa yang bekerja, siapa yang tersisih, siapa yang butuh ditopang. “Kita hanya perlu mendengarkan,” ucapnya lirih.
Mimpi dan Kenyataan di Titik Tengah Dekade
Tahun 2024, laporan PDRB terakhir dalam dokumen itu menunjukkan perbaikan yang cukup merata. Rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota mencapai 5–6 persen. Beberapa daerah seperti Kabupaten Gowa, Kota Blitar, dan Kabupaten Kubu Raya bahkan mencatat dua digit, didorong oleh sektor kreatif, transportasi, dan investasi digital.
Tapi yang menarik bagi Pak Arman adalah tren kontribusi sektor rumah tangga dan sosial. “Ketika masyarakat berdaya, ekonomi akan bertahan dalam guncangan apa pun,” katanya dalam forum perencanaan regional.
Angka yang Tak Boleh Ditinggalkan
Namun laporan itu juga mengingatkan: pembangunan masih timpang. Kabupaten tertinggal masih ada. Akses internet belum merata. Layanan dasar seperti air bersih dan listrik belum 100 persen.
Pak Arman tahu bahwa PDRB bukan jawaban segala masalah. Tapi ia adalah awal dari percakapan. Dan percakapan itu harus dilanjutkan oleh setiap pemimpin daerah, guru, kepala desa, hingga anak muda yang mulai belajar statistik.
Angka dan Asa
Sore hari, ketika kantor mulai sepi dan lampu dinyalakan satu-satu, Pak Arman masih duduk di ruang kerjanya. Ia menuliskan kalimat pada lembar catatan, “Kami bukan daerah kecil. Kami hanya belum diberi kesempatan yang sama.”
Angka-angka di laporan PDRB itu adalah suara yang menunggu untuk dijawab. Oleh kebijakan. Oleh empati. Dan oleh kesadaran bahwa pembangunan tidak dimulai dari pusat, tetapi dari setiap sudut peta yang penuh cita-cita.