(Beritadaerah-kolom) Pagi di Watampone dimulai dengan cahaya matahari yang lembut menyinari hamparan sawah. Di tepian lahan, tumpukan jerami padi berserakan. Bagi sebagian orang, jerami hanya dianggap limbah yang akan dibakar setelah panen. Namun sejak pemerintah Kabupaten Bone mengumumkan rencana pembangunan Industri Bioetanol berbasis limbah pertanian di Lingkungan Labekku, Kelurahan Majang, jerami itu mulai dipandang dengan cara berbeda.
Daeng Lalo, seorang petani tua, kini melihat jerami dengan mata baru. “Dulu jerami cuma buat bakar ikan atau biar cepat habis di ladang. Tapi katanya sekarang bisa jadi bahan bakar untuk kendaraan,” ujarnya sambil menyaksikan truk-truk besar yang melintas menuju lokasi proyek.
Proyek ini bukan main-main. Dengan luas lahan 27.750 meter persegi yang berstatus clean and clear milik Pemda Bone, rencana besar ini menjadi salah satu investasi energi terbarukan paling strategis di kawasan timur Indonesia. Nilai tanah di lokasi berkisar antara Rp200 ribu hingga Rp500 ribu per meter persegi, dan berdasarkan Perda Kabupaten Bone No. 1 Tahun 2023, lahan ini sudah masuk dalam Kawasan Peruntukan Industri. Semua dasar hukum tata ruangnya kuat, sehingga investor tidak perlu khawatir tentang status lahan.
Lebih jauh dari itu, pabrik ini dirancang untuk mengolah limbah pertanian menjadi energi baru. Kapasitas produksi bioetanol diproyeksikan mencapai 4.000 kiloliter per tahun, dengan tambahan hasil samping berupa 2.104 ton pakan ternak (DDGS) dan 1.052 ton pupuk kompos. Dengan demikian, tidak hanya energi bersih yang dihasilkan, tetapi juga dukungan langsung terhadap peternakan dan kesuburan tanah. Model ini mencerminkan prinsip ekonomi sirkular, di mana limbah yang tadinya dianggap tidak berguna berubah menjadi sumber nilai tambah.
Tri Jun Sultan, pejabat muda DPMPTSP Bone, adalah salah satu orang yang paling bersemangat mempresentasikan proyek ini kepada calon investor. Dalam sebuah pertemuan di Makassar, ia menegaskan bahwa proyek bioetanol ini bukan hanya urusan bisnis, melainkan upaya besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. “Lebih dari 48 persen PDRB Bone berasal dari pertanian. Artinya, jika kita bisa memberi nilai tambah pada limbah pertanian, kita sedang berbicara tentang perubahan struktur ekonomi, bukan sekadar membangun pabrik,” katanya penuh keyakinan.
Data memang mendukung ucapannya. Tahun 2024, Kabupaten Bone mencatatkan PDRB per kapita sebesar Rp60,25 juta, dan sektor pertanian menjadi penyumbang terbesar dengan 48,38 persen. Dengan pabrik bioetanol, diharapkan kontribusi pertanian akan meningkat bukan hanya dari hasil panen, tetapi juga dari limbah yang diolah.
Dari sisi investasi, proyek ini membutuhkan biaya sekitar USD 5,7 juta atau Rp94 miliar. Struktur keuangannya dirancang fleksibel dengan dua skema: pertama, optimis dengan debt 30% dan equity 70%; kedua, moderat dengan debt 70% dan equity 30%. Skema pertama menunjukkan tingkat pengembalian internal (IRR) mencapai 15,68%, net present value (NPV) sebesar Rp55,1 miliar, dengan periode balik modal sekitar 7 tahun 11 bulan. Sementara skema kedua, dengan hutang lebih besar, menghasilkan IRR 14,10%, NPV Rp39,6 miliar, dan payback period lebih panjang, yaitu 9 tahun 3 bulan. Angka-angka ini menunjukkan bahwa proyek tidak hanya layak secara teknis, tetapi juga atraktif dari sudut pandang investor.
Namun, laporan keuangan hanyalah satu sisi cerita. Di lapangan, dampak sosial dan ekonomi jauh lebih menarik. Daeng Lalo kini bisa membayangkan jeraminya dijual ke koperasi desa untuk dipasok ke pabrik. Jika dihargai, maka setiap musim panen berarti tambahan pendapatan. “Kalau jerami dihitung, hasil sawah saya bukan hanya gabah. Bisa jadi dua kali lipat nilainya,” katanya.
Pembangunan industri ini juga diproyeksikan menciptakan lapangan kerja baru. Tenaga lokal direkrut untuk tahap konstruksi dan nantinya untuk operasi. Anak muda Bone yang biasanya merantau ke Makassar atau Kalimantan untuk bekerja di industri besar kini punya alternatif di kampung halaman. Seperti Andi Rahman, mahasiswa teknik kimia asal Bone yang sedang menyelesaikan skripsinya di Universitas Hasanuddin. “Kalau pabrik sudah jadi, saya ingin pulang. Saya ingin mengawasi langsung bagaimana jerami dan singkong bisa berubah jadi energi,” katanya kepada teman-temannya.
Selain membuka lapangan kerja, multiplier effect yang diproyeksikan cukup besar. Dari dokumen proyek, disebutkan bahwa pembangunan pabrik bioetanol akan membawa beberapa efek ganda: peningkatan pendapatan petani, diversifikasi pendapatan daerah, pemberdayaan UMKM dan BUMDes dalam rantai pasok, serta keberlanjutan ekonomi dan lingkungan. Bahkan ada proyeksi bahwa dengan adanya industri ini, angka kemiskinan di Bone bisa menurun karena pendapatan masyarakat meningkat.
Tidak hanya masyarakat lokal yang diuntungkan. Pasar bioetanol di Indonesia sendiri sedang berkembang pesat. Saat ini, produksi nasional banyak dikuasai oleh pemain besar seperti Pertamina NRE dengan kapasitas 180.500 kL per tahun di Sulawesi Selatan dan Banyuwangi, serta PT Sinergi Gula Nusantara (SGN) yang menghasilkan 34.500 kL per tahun. Dalam konteks ini, kontribusi Bone yang relatif kecil mungkin terlihat sederhana, tetapi sangat strategis karena memperkuat pasokan di kawasan timur Indonesia. Apalagi dengan target nasional yang mendorong peningkatan penggunaan energi terbarukan, ada peluang besar bagi Bone untuk menjadi simpul penting dalam jaringan bioetanol nasional.
Di tengah semua optimisme ini, tentu ada tantangan. Harga bioetanol di pasar internasional fluktuatif, kebijakan subsidi energi sering berubah, dan kompetisi dengan bahan bakar fosil masih kuat. Namun pemerintah pusat telah mengeluarkan sejumlah regulasi pendukung, seperti Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023 tentang percepatan swasembada gula dan penyediaan bioetanol sebagai bahan bakar nabati, serta Peraturan Menteri ESDM No. 4 Tahun 2025 yang mengatur pemanfaatan bioetanol. Selain itu, ada pula insentif fiskal dari pemerintah daerah melalui Perda Kabupaten Bone No. 6 Tahun 2024 yang memberi kemudahan investasi. Semua ini menambah keyakinan bahwa proyek ini bisa berjalan.
Kini, ketika konstruksi mulai berjalan, wajah desa Majang perlahan berubah. Warung-warung kecil bermunculan untuk melayani para pekerja, jalur distribusi mulai diperbaiki, dan harapan masyarakat makin nyata. Bagi anak-anak, pabrik yang menjulang dengan tangki baja raksasa bukan sekadar bangunan asing, tetapi simbol masa depan baru.
Beberapa tahun ke depan, jika pabrik beroperasi penuh, Bone akan menjadi contoh nyata bagaimana daerah pertanian bisa masuk dalam peta besar transisi energi hijau. PDRB daerah naik, pendapatan petani bertambah, angka kemiskinan menurun, dan yang terpenting, Bone punya identitas baru sebagai pionir energi bersih di Sulawesi Selatan.
Daeng Lalo yang kini semakin tua sering duduk di beranda rumahnya, menatap jalan di mana mobil-mobil melintas. Sesekali ia tersenyum sambil berkata kepada cucunya, “Mungkin bensin yang dipakai mobil itu ada dari jerami kita.” Sebuah kalimat sederhana, tapi sarat makna tentang perjalanan panjang sebuah daerah yang berani bermimpi besar dari sesuatu yang dianggap remeh.
Bone bukan lagi sekadar lumbung pangan, tetapi juga rumah bagi api hijau yang lahir dari sawahnya.


