(Beritadaerah – Kolom) Pagi itu-2045, langit Jakarta dihiasi ribuan drone membentuk pola bendera merah putih di atas Monas. Ribuan warga berkumpul dalam keheningan saat Presiden memproklamasikan pencapaian yang selama puluhan tahun hanya jadi mimpi – Indonesia resmi menjadi negara berpenghasilan tinggi. Di layar-layar raksasa yang tersebar di seluruh kota, sebuah grafis menunjukkan angka yang magis, US$14.020. Angka yang melambangkan transisi dari mimpi menuju kenyataan.
Namun, jalan ke titik ini bukan lurus. Dua puluh tahun lalu, Indonesia adalah negara yang berjalan di dua dunia. Satu sisi tumbuh, tapi terseok. Di sisi lain, penuh potensi, tapi terhambat. Tahun 2025 adalah titik balik. Saat itu, laporan dari McKinsey menyebut satu frasa yang terus diulang dalam ruang-ruang diskusi, perusahaan besar adalah mesin pertumbuhan. Tak lama setelah itu, negara mulai mengubah arah.
Di sebuah desa kecil bernama Wlingi di lereng Gunung Kelud, tinggal seorang lelaki bernama Marsan. Usianya waktu itu 37 tahun, hidup dari bengkel sepeda motor kecil peninggalan ayahnya. Setiap pagi ia menyapu lantai tanah di bengkelnya, memanaskan kompresor tua, dan bersiap menambal ban pelanggan. Usahanya nyaris tak berubah sejak 1995. Ia tak pernah berpikir untuk membesarkan bisnisnya—sampai suatu hari seorang petugas dari koperasi desa datang dengan brosur, digitalisasi bengkel mandiri. Marsan tertawa waktu itu. “Masa tambal ban perlu internet?”
Namun bulan demi bulan, satu per satu bengkel lain di kota kecilnya mulai pakai sistem antrean digital. Pelanggan bisa pesan jadwal lewat aplikasi. Suku cadang bisa dipesan daring. Marsan pun ikut pelatihan. Ia belajar membuat pembukuan sederhana, membuka rekening usaha, dan mendaftar sebagai mitra dalam program logistik lokal. Tahun 2030, ia punya dua cabang. Tahun 2040, ia mulai memproduksi ban daur ulang dengan merek MarsGrip. Hari ini, MarsGrip dipakai di sepeda listrik di lima provinsi.
Indonesia’s employment would shift from microenterprises to larger companies in a 2045 high-income economy scenario.
Transformasi Marsan bukan satu-satunya. Di seluruh Indonesia, ribuan pelaku usaha kecil seperti dia menjadi tulang punggung ekonomi baru. Mereka bukan unicorn teknologi, bukan konglomerat industri. Tapi mereka adalah hasil dari satu ekosistem yang memberi ruang untuk tumbuh yaitu konektivitas, kepastian hukum, dan kemudahan akses ke modal.
Di balik layar, perubahan ini dipicu oleh kebijakan yang menargetkan capital deepening—peningkatan modal per pekerja. Pemerintah mendorong agar setiap tenaga kerja memiliki akses ke peralatan yang lebih baik, pelatihan yang memadai, dan struktur usaha yang formal. Perusahaan besar berperan sebagai jangkar, menarik perusahaan kecil ke dalam rantai pasok mereka.
Di Sumatera Barat, contohnya, perusahaan pengolahan makanan ekspor bekerja sama dengan ratusan UMKM penghasil bahan baku. Mereka berbagi sistem distribusi dan pelatihan standar keamanan pangan. Di Sulawesi Selatan, pabrik perikanan digital bermitra dengan koperasi nelayan, menyediakan akses harga langsung dari Tokyo hingga Abu Dhabi. Semua ini dimungkinkan karena sistem keuangan yang makin dalam dan platform digital inklusif.
Namun transformasi ini tidak sekadar ekonomi. Ia membawa efek sosial yang mendalam. Di komunitas Marsan, anak-anak muda yang dulunya ingin merantau ke kota besar, kini memilih membangun usaha di kampung halaman. Ada yang membuka studio desain digital, ada pula yang menjadi pengembang aplikasi pertanian. Infrastruktur yang membaik dan koneksi internet yang stabil membuat perbedaan nyata.
Di sisi pendidikan, lembaga vokasi menjamur. Di Kalimantan, program Tech-Desa mencetak ribuan teknisi panel surya. Di Nusa Tenggara Timur, akademi kreatif membimbing anak muda membuat konten digital untuk pasar ekspor. Pendidikan bukan lagi jalan satu arah ke gelar, tapi jembatan langsung ke produktivitas.
Jumlah perusahaan besar di Indonesia melonjak drastis. Tahun 2023, hanya sekitar 15 persen pekerja Indonesia yang bekerja di perusahaan besar. Hari ini, lebih dari 30 persen tenaga kerja berada di perusahaan yang memiliki lebih dari 250 karyawan. Lebih penting lagi, lebih dari setengah tenaga kerja nasional kini berada dalam sektor formal. Gaji minimum, perlindungan sosial, dan peluang pelatihan menjadi standar.
In a 2045 scenario where capital increases proportionally with productivity, medium-size and large companies account for most of capital deepening.
Kehidupan Marsan hari ini jauh dari masa lalunya. Ia kini menjadi pembicara dalam forum koperasi nasional, membagikan kisahnya kepada pelaku usaha kecil lain. Namun ia selalu berkata, “Saya hanya satu batu bata dari bangunan besar bernama enterprising archipelago. Bangsa ini bukan dibangun oleh satu dua orang sukses, tapi oleh jutaan yang memilih naik kelas bersama.”
Indonesia hari ini tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi. Ia menanamkan kemandirian, pemerataan, dan produktivitas berkelanjutan sebagai inti pembangunan. Tahun 2045 bukan akhir perjalanan. Ia adalah awal babak baru, ketika Indonesia benar-benar berdiri sebagai kekuatan ekonomi dunia yang merata, adil, dan siap menghadapi abad baru.
Di pulau Kei Besar, Maluku Tenggara, seorang perempuan bernama Nia menjalankan bisnis rumput laut yang diwariskan keluarganya. Dulu, hasil panen hanya dijual mentah ke tengkulak. Tapi sekarang, Nia mengekspor kapsul suplemen berbasis rumput laut ke pasar Asia lewat kemitraan dengan sebuah perusahaan bioteknologi dari Surabaya. Perjalanan menuju titik ini bukan tanpa rintangan.
Nia pertama kali ikut program inkubasi UMKM kelautan tahun 2026. Ia belajar soal ekstraksi nutrisi, keamanan pangan, dan standar sertifikasi ekspor. Tak lama kemudian, ia mendapat akses pembiayaan dari koperasi digital kelautan. Pemerintah memberi insentif bagi perusahaan besar yang bermitra dengan UMKM seperti milik Nia. Tahun 2035, bisnisnya berkembang menjadi dua pabrik pengolahan kecil, mempekerjakan 80 orang dari pulau-pulau sekitar.
Namun saat pandemi iklim global mulai mengguncang hasil panen pada 2037, Nia harus beradaptasi cepat. Ia membentuk kolaborasi antar-pulau bersama pengusaha dari Alor dan Seram. Mereka menyatukan logistik laut, menyewa gudang bersama, dan berbagi sistem distribusi digital. Teknologi drone laut membantu mereka memantau kesehatan rumput laut secara real time. Kini mereka dikenal sebagai Kolektif Laut Biru, model baru ekonomi komunitas skala nasional.
Cerita Nia memperlihatkan bahwa kekuatan perusahaan besar tak berarti menghilangkan peran kecil. Justru, perusahaan besar menjadi jembatan untuk membuka pasar, memberi pembinaan, dan menampung produksi. Namun kuncinya adalah ekosistem yang adil. Tidak semua berhasil, tapi semakin banyak yang punya peluang.
Di tengah segala kemajuan itu, dunia tetap menghadirkan tantangan. Persaingan dari India, Vietnam, dan Afrika tumbuh cepat. Namun Indonesia punya keunggulan lain, ketahanan sosial dan semangat kolektif. Tahun 2044, ketika krisis pangan melanda sebagian Asia karena gelombang panas ekstrem, Indonesia bisa menjaga stabilitas karena rantai pasoknya sudah menyebar dan tidak tersentralisasi.
Para ekonom kini menyebut Indonesia sebagai negara skala jaringan, bukan sekadar skala besar. Artinya, kekuatan ekonomi bukan ditentukan oleh pusat-pusat superpower, melainkan oleh ribuan simpul produktif di seluruh pelosok—dari Wlingi sampai Kei Besar. Dan kisah Marsan serta Nia adalah dua dari banyak simpul itu.
Jika generasi baru melanjutkan jejak ini, maka Archipelago 2045 bukan puncak, melainkan fondasi untuk abad Indonesia selanjutnya.