Berdasarkan angka Dinas Koperasi, Usaha Mikro, dan Perdagangan (Diskopumdag) Kabupaten Banyuwangi, produk dari daerah ini telah menembus pasar di 80 negara yang tersebar di Asia, Afrika, Eropa, Amerika, dan Australia. Komoditas yang diekspor juga sangat beragam, terdiri dari 27 jenis, di antaranya ikan hias, batu apung, koral, ikan kaleng, produk kayu jati, kopi, hingga pupuk cair.
Berdasarkan data Dinas Koperasi, Usaha Mikro, dan Perdagangan (Diskopumdag) Kabupaten Banyuwangi, produk dari daerah ini telah menembus pasar di 80 negara yang tersebar di Asia, Afrika, Eropa, Amerika, dan Australia. Komoditas yang diekspor juga sangat beragam, terdiri dari 27 jenis, di antaranya ikan hias, batu apung, koral, ikan kaleng, produk kayu jati, kopi, hingga pupuk cair.

Di Antara Angka-Angka yang Bernafas

(Beritadaerah-Kolom) Setiap bulan, Badan Pusat Statistik menerbitkan laporan yang terlihat dingin dan kaku di mata sebagian orang, deretan angka, grafik, dan persentase. Namun di balik baris-baris data itu, sesungguhnya berdenyut kehidupan jutaan manusia. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi September 2025—dengan semua angka inflasi, ekspor, hingga luas panen padi—adalah potret sosial yang lebih manusiawi daripada yang tampak. Angka-angka itu adalah napas dari ruang dapur, sawah, pelabuhan, dan pasar di seluruh Indonesia.

Inflasi nasional pada September 2025 tercatat sebesar 2,65 persen secara tahunan, dengan kenaikan 0,21 persen dari bulan sebelumnya. Di Sumatera Utara, inflasi mencapai 5,32 persen, tertinggi di antara provinsi lain. Sedangkan Papua menikmati inflasi terendah, hanya 0,99 persen. Dari sudut pandang makro, ini sekadar statistik. Namun bila dibayangkan, angka 5,32 persen itu bisa berarti seorang ibu di Medan yang pagi-pagi mengeluh karena harga cabai melonjak 67,98 persen dibanding tahun lalu. Ia menimbang-nimbang antara membeli setengah kilo atau menambah garam untuk mengganti pedas yang hilang. Di sisi lain, seorang petani di Papua mungkin masih menjual hasil taninya dengan harga yang sama, tanpa merasakan gejolak pasar seperti di barat sana.

Harga beras premium di penggilingan menurun 0,72 persen dibanding bulan sebelumnya, menjadi Rp13.739 per kilogram. Turun, ya, tapi apakah itu berarti kehidupan menjadi lebih ringan? Tidak selalu. Dalam laporan itu juga disebutkan bahwa rata-rata harga eceran beras di pasar mencapai Rp15.375 per kilogram, naik 4,06 persen dari tahun sebelumnya. Artinya, sebagian besar konsumen masih membayar lebih mahal, sementara petani belum tentu menerima keuntungan lebih besar. Di antara angka yang tampak stabil, tersembunyi keseimbangan rapuh antara produksi, distribusi, dan daya beli.

BPS mencatat Nilai Tukar Petani (NTP) naik menjadi 124,36 pada September 2025. Angka ini menunjukkan peningkatan kesejahteraan relatif petani, terutama dari subsektor tanaman perkebunan rakyat yang naik 1,57 persen. Namun di balik optimisme itu, ada subjek yang mengalami tekanan: tanaman hortikultura justru turun 1,63 persen. Bayangkan seorang petani sayur di Lembang yang menatap langit dingin dan berkata dalam hati, “Naiknya NTP nasional tak mengubah apa pun di ladangku.” Angka nasional bisa naik, tetapi setiap angka mengandung cerita lokal yang berbeda.

Sementara itu, nilai ekspor Indonesia mencapai 24,96 miliar dolar AS pada Agustus 2025, naik 5,78 persen dibanding tahun sebelumnya. Kenaikan ini sebagian besar disumbang oleh lemak dan minyak nabati, yang meningkat hampir 40 persen. Di kertas laporan, ini tampak seperti keberhasilan industri. Tapi bagi pekerja pelabuhan di Dumai, itu berarti lebih banyak kontainer yang diangkut di bawah matahari terik. Bagi warga di sekitar pabrik kelapa sawit, bisa jadi itu berarti aroma asap pembakaran tandan kosong yang lebih pekat di udara. Pertumbuhan ekonomi, dalam arti sesungguhnya, tidak pernah datang tanpa konsekuensi sensorik.

Bila angka ekspor naik, impor justru sedikit menurun. Impor Agustus 2025 tercatat 19,47 miliar dolar, turun 6,56 persen dibanding tahun lalu. Penurunan ini terlihat seolah menjadi tanda efisiensi ekonomi. Namun, di sisi lain, barang konsumsi turun 2,85 persen—yang mungkin berarti menurunnya daya beli masyarakat perkotaan. Di antara mall yang masih terang di Jakarta, ada toko-toko kecil yang mulai mengurangi stok. Setiap penurunan persen dalam laporan bisa berarti seorang pedagang menutup pintu tokonya sedikit lebih cepat malam itu.

Laporan BPS juga menyebut kenaikan pariwisata yang mengesankan, 1,51 juta wisatawan mancanegara datang ke Indonesia pada Agustus 2025, meningkat 12,33 persen dibanding tahun lalu. Di sisi lain, perjalanan wisatawan domestik justru turun 6,62 persen dari bulan sebelumnya. Ini adalah paradoks khas ekonomi modern—negara menjadi lebih menarik bagi dunia luar, tetapi sebagian warganya justru menahan diri untuk bepergian di dalam negeri. Mungkin mereka memilih menabung, atau mungkin, seperti banyak keluarga di kota besar, sekadar menunda liburan karena harga tiket dan bahan bakar yang tetap tinggi.

Dari udara, semua itu tampak seperti sistem yang bergerak efisien ekspor naik, inflasi terkendali, produksi padi meningkat hingga 5,63 juta ton gabah kering giling. Tapi jika kita turun ke tanah, kita akan menemukan denyut kecil yang tak terukur oleh data, kegembiraan seorang petani padi di Sragen saat panennya naik 9,9 persen dibanding tahun lalu; atau kekecewaan petani jagung di Gorontalo karena produksinya turun 8,54 persen. Mereka mungkin tidak membaca laporan BPS, tetapi hidup mereka adalah sumber data yang melahirkan laporan itu.

Bahkan di antara angka-angka transportasi, ada cerita manusia. Jumlah penumpang pesawat domestik pada Agustus 2025 mencapai 5,1 juta orang, turun 6,66 persen dibanding bulan sebelumnya. Sebagian mungkin karena tiket yang belum turun harga setelah puncak libur sekolah. Namun jumlah penumpang internasional justru naik 5,19 persen. Di bandara Soekarno Hatta, seorang perawat Indonesia yang baru pulang dari Jeddah mungkin membawa cerita lebih banyak daripada koper yang ia tenteng cerita tentang kerja, rindu, dan nilai tukar rupiah yang menari mengikuti kebijakan global.

Data, jika dibaca dengan hati, bukan sekadar laporan statistik. Ia adalah jendela kemanusiaan yang terbuka setiap bulan. Setiap persentase inflasi, setiap ton gabah, setiap juta dolar ekspor adalah kisah kolektif yang membentuk denyut bangsa. Ketika BPS menulis bahwa Indeks Kepuasan Jemaah Haji Indonesia mencapai 88,46 itu tergolong “sangat memuaskan” dan bukan sekadar angka survei. Itu adalah senyum lelah di wajah para petugas dan jamaah di tanah suci, yang akhirnya bisa pulang dengan rasa lega bahwa tahun ini perjalanan mereka lebih baik dari sebelumnya.

Mungkin di situlah keindahan data, ia terlihat dingin, tetapi sesungguhnya hidup. Di dalamnya, ada denyut rumah tangga yang berhemat, ada tangan petani yang menanam benih baru, ada kapal yang berangkat dari pelabuhan, ada anak kecil yang menatap televisi sambil mendengar berita inflasi tanpa tahu bahwa angkanya akan menentukan harga susunya minggu depan.

Ketika laporan seperti ini terbit setiap bulan, ia bukan hanya bahan bagi pembuat kebijakan atau akademisi. Ia adalah cermin bangsa yang bekerja dalam diam. Di balik tabel dan grafik, Indonesia sedang bernafas pelan tapi pasti, menyesuaikan diri dengan ritme ekonomi dunia dan perjuangan warganya yang tak pernah berhenti mencari keseimbangan antara kebutuhan dan harapan.