(Beritadaerah-Kolom) Membahas Indeks Kinerja Pembangunan (IKP) Jawa Tengah perlu dilihat penjelasan pasal 2 ayat 3 UU No. 32 tahun 2004 disebutkan bahwa daya saing daerah merupakan kombinasi antara faktor ekonomi daerah, kualitas kelembagaan publik, sumber daya manusia dan teknologi yang secara keseluruhan membangun kemampuan daerah untuk bersaing dengan daerah lain.
Peningkatan kapasitas daya saing daerah merupakan upaya untuk menumbuhkan daya saing nasional. Porter (2002), salah satu penggagas Global Competitiveness Rangking, menyampaikan gagasan mengenai berbagai sumber daya saing daerah. Disebutkan bahwa daya saing daerah dan standard hidup (kesejahteraan) dalam konteks wilayah ditentukan oleh produktivitas yang dicapai dengan memberdayaan sumber daya manusia, modal (capital) dan sumber daya alam suatu daerah. Ditekankan bahwa definisi dari suatu daya saing daerah adalah produktivitas.
Menurut Porter ukuran yang paling tepat dalam mengukur daya saing daerah adalah produktivitas. Sementara produktivitas ditentukan oleh nilai barang dan jasa serta efisiensi dalam produksinya. Produktivitas dalam suatu daerah adalah sebuah reflesi atau cerminan dari pilihan yang dilakukan baik oleh perusahaan lokal maupun non lokal yang berada di lokasi (daerah) tersebut untuk melakukan aktivitas ekonomi.
Produktivitas dari industri lokal adalah hal yang mendasar dan sangat penting dalam meningkatkan daya saing. Dalam daya saing daerah dijelaskan bahwa daerah bersaing dalam menawarkan lingkungan bisnis yang paling produktif bagi kegiatann usaha.
Sektor publik dan sector swasta memainkan peran yang berbeda namun saling terkait dalam usaha menciptakan perekonomian yang produktif. Oleh karena itu, persaingan diperlukan untuk menarik atau menjaga agar para pelaku usaha tetap melakukan kegiatan ekonomi di daerah tersebut.
Kemampuan daerah dalam mengembangkan potensi local yang berkelanjutan akan terlihat dari daya saing daerah itu. Daya saing melibatkan berbagai dimensi yang berbeda yang saling berinteraksi satu sama lain.
Kompleksitas faktor-faktor pembentuk daya saing dalam konteks daerah, yaitu daya saing suatu wilayah terlihat dari beragam indicator yang ditampilkan dalam studi yang berbeda. Dari berbagai model pengukuran daya saing disimpulkan bahwa pendekatan yang digunakan dalam mengukur daya saing terutama ditekankan pada factor-faktor yang membentuk daya saing dan output dari kemampuan ekonomi suatu daerah.
Terdapat kelompok besar indicator daya saiang yaitu perekonomian daerah, kelembagaan publik, infrastruktur dan sumberdaya manusia. Dapat dikatakan bahwa factor-faktor pembentuk daya saing adalah indicator input daya saing suatu daerah dan sebagai outputnya adalah produktivitas. Hal ini karena kualitas kelembagaan public, infrastruktur yang memadai dan sumberdaya manusia yang terdapat di daerah berpengaruh terhadap pilihan-pilihan untuk melakukan aktivitas ekonomi di daerah yang dapat berdampak pada efisiensi produk. Seiring dengan perkembangan teknologi, kebutuhan infrastruktur sebagai penunjang kegiatan ekonomi tidak lagi hanya diperhitungkan dari infrastruktur fisik seperti jaringan transportasi.
Terlebih dalam era keterbukaan ini, akses terhadap sistem telekomunikasi seperti jaringan internet dan telepon selular sangat berperan dalam meningkatkan efisiensi produksi. Sehingga dalam aspek infrastruktur, teknologi dapat dijadikan suatu indicator. Adapun teknologi yang menonjol dan berperan dalam meningkatkan efisiensi produksi adalah teknologi komunikasi, disamping itu teknologi yang secara langsung digunakan dalam proses produksi. Dalam aspek sumberdaya manusia, manusia adalah subyek dari kegiatan perekonomian daerah. Produktivitas dapat ditopang oleh kualitas sumberdaya manusianya.
Adanya inovasi dan kemampuan adaptasi terhadap kondisi lingkungan global tercipta dari sumberdaya manusia yang berkualitas. Sementara sumberdaya manusia yang berkualitas dapat terbentuk sebagai outcomes dari pendidikan. Pilihan-pilihan untuk melakukan ativitas ekonomi dapat terpengaruh oleh kualitas kelembagaan publik daerah.
Ketidakprofesionalan aparatur publik daerah ditambah rantai birokrasi yang panjang dan pada akhirnya berujung pada inefisiensi akibat biaya ekonomi yang semakin tinggi. Otonomi daerah diharapkan mampu meningkatkan kualitas kelembagaan public daerah.
Pendelegasian kewenangan dinyakini dapat membuat birokrat daerah semakin efisiensi dan efektif dalam menjalankan tugasnya. Infrastruktur, sumberdaya manusia dan kualitas kelembagaan mungkun menentukan atau mempengaruhi hasil tetapi bukan menjadi bagian dari hasil tersebut.
Ketiga aspek tersebut adalah factor penjelas mengapa hasil yang diperoleh mencapai tingkat tertentu. Adapun hasilnya adalah meningkatnya perekonomian daerah. Dan sebagai hasil akhir atau outcomes dari daya saing daerah adalah meningkatnya standard hidup atau kesejahteraan masyarakat.
Model Pengukuran
Model Pengukuran Indeks Kinerja Pembangunan Pembangunan yang dilakukan di daerah pada akhirnya ditujukan bagi kesejahteraan rayat yang berada di daerah tersebut. Sebagai subyek dan obyek pembangunan maka peningkatan pembangunan manusia merupakan hal pokok yang tidak mungkin untuk dikesampingkan.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2008, Pembangunan Manusia dijadikan parameter akhir keberhasilan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Mengapdopsi hal tersebut maka dilakukan model terhadap pembangunan manusia terhadap tiga parameter aspek pembangunan yang lain yaitu aspek kesejahteraan masyarakat, aspek pelayanan umum dan aspek daya saing daeerah.
Namun demikian untuk beberapa indikator yang diperkiraan memengaruhi ketiga aspek tersebut tidak dapat digunakan karena keterbatasan serta kesinambungan data yang ada. Model pengukuran indeks kinerja pembangunan terhadap pembangunan manusia menggunakan alat analisis yaitu AHP untuk membuat skoring dari tiga parameter yang ada sehingga nantinya dapat disandingkan antara hasil kinerja utama dengan parameter utama yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Baca juga : Perusahaan di Jawa Tengah Dukung Penerapan Energi Ramah Lingkungan
Dengan melakukan perbandingan perbandingan terhadap tiga aspek pembangunan yang diperkiraan mempunyai peranan paling penting terhadap pembangunan manusia. Sehingga formulasi IKP menjadi: IKP = (0,4025) AKM + (0,0941) APU + (0,5034) ADSD. Terlihat bahwa penentu utama dari indikator kinerja pembangunan adalah aspek daya saing daerah sebesar 50,34% diikuti oleh aspek kesejahteraan masyarakat sebesar 40,25% dan terakhir adalah aspek pelayanan umum sebesar 9,41%.
Indeks Pembangunan Manusia dan Indeks Kinerja Pembangunan
Pembangunan daerah dikatakan berhasil jika mampu meningkatkan kesejahteran manusia baik dari sisi kemampuan untuk mencukupi kebutuhan dasar (pendidikan, kesehatan) dan kemampuan ekonomi. Pembangunan yang berkelanjutan tentunya akan diikuti oleh pembangunan manusia yang berkelanjutan pula. Disisi lain, pembangunan daerah tentunya tetap memperhatikan keuanggulan dan kelemahan yang dimiliki sehingga dapat dijadikan perhatian guna pembangunan ke depan.
Selama periode 2017-2021, di Jawa Tengah terdapat sembilan kabupaten/kota yang memiliki IKP dan IPM diatas rata-rata provinsi yaitu Kab. Banyumas (02), Kab. Karanganyar (13), Kab. Kudus (19), Kab. Semarang (22), Kab. Kendal (24), Kota Magelang (71), Kota Surakarta (72), Kota Salatiga (73), dan Kota Semarang (74).
Sementara ada empat belas kabupaten/kota di Jawa Tengah yang memiliki IKP dan IPM dibawah rata-rata provinsi yaitu Kab. Purbalingga (03), Kab.Banjarnegara (04), Kab. Kebumen (05), Kab. Wonosobo (07), Kab. Magelang (08), Kab. Wonogiri (12), Kab. Grobogan (15), Kab. Rembang (17), Kab. Temanggung (23), Kab. Batang (25), Kab. Pekalongan (26), Kab. Pemalang(27), Kab. Tegal (28), dan Kab. Brebes (29).
Sedangkan ada sembilan kabupaten/kota di Jawa Tengah yang memiliki nilai IPM diatas rata-rata provinsi namun memiliki nilai IKP dibawah rata-rata provinsi yaitu Kab. Purworejo (06), Kab. Boyolali (09), Kab. Klaten (10), Kab. Sukoharjo (11), Kab. Sragen (14), Kab. Jepara (20), Kab. Demak (21), Kota Pekalongan (75) dan Kota Tegal (76). Disisi lain, ada tiga kabupaten/kota yang memiliki nilai IKP diatas rata-rata provinsi namun memiliki nilai IPM dibawah rata-rata provinsi yaitu Kab. Cilacap (01), Kab. Blora (16), dan Kab. Pati (18).
Sembilan kabupaten/kota di Jawa Tengah yang memiliki nilai IKP dan IPM diatas rata-rata provinsi harus lebih meningkatkan kembali khususnya indikator atau paramater yang dirasa kurang mendukung dalam kinerja pembangunan yang telah dilaksanakan. Dan untuk empat belas kabupaten/kota yang memiliki nilai IKP dan IPM dibawah rata-rata provinsi harus terus berupaya sehingga pembangunan yang dilakukan dapat meningkatkan hasil yang berdaya guna bagi pembangunan manusia. Sementara itu kabupaten/kota yang memiliki nilai IPM diatas rata-rata provinsi namun memiliki nilai IKP dibawah rata-rata provinsi maupun memiliki nilai IKP diatas rata-rata provinsi namun memiliki nilai IPM dibawah rata-rata provinsi harus terus berupaya dalam meningkatkan kinerja pembangunan yang sangat dirasa kurang bekerja dengan baik sehingga kinerja pembangunannya dapat guna lebih baik lagi.
Kesimpulan
Model pengukuran Indeks Kinerja Pembangunan (IKP) terhadap pembangunan manusia menggunakan alat analisis yaitu AHP untuk membuat skoring dari tiga parameter yang ada sehingga nantinya dapat disandingkan antara hasil kinerja utama dengan parameter utama yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Penentu utama dari indikator kinerja pembangunan adalah aspek kesejahteraan masyarakat sebesar 40,25% diikuti oleh aspek pelayanan umum sebesar 9,41% dan terakhir adalah aspek daya saing daerah sebesar 50,34%.
Rata-rata Indeks Kinerja Pembangunan selama periode 2017-2021 di Jawa Tengah memperlihatkan hasil bahwa Kota Semarang memiliki peringkat tertinggi dengan nilai 1,0031.
Bagi kabupaten/kota yang memiliki nilai IKP tinggi sebaiknya melihat kembali pada pembentuk paramater atau indikator yang memiliki nilai terendah sehingga pembangunan kedepan dapat berhasil guna dan berdaya guna.
Pemerintah daerah dapat melihat kekurangan terhadap kinerja yang telah dilakukan dilihat dari nilai indeks yang dimilikinya. Model pengukuran indeks kinerja pembangunan yang menggunakan parameter-parameter pembangunan perlu pengembangan lebih lanjut terutama untuk parameter yang belum terukur.