Panen Padi
Indahnya persawahan di Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah (Foto: Rini Tobing/ Kontributor)

Musim Panen di Negeri Sejuta Sawah

(Beritadaerah-Kolom) Kabut tipis masih bergelayut di atas hamparan padi yang menguning di Desa Sukamerta, sebuah desa kecil di ujung Kabupaten Indramayu. Di tengah petak-petak sawah yang mulai siap panen, seorang petani bernama Miran berdiri sambil mengamati batang padi yang menunduk berat karena bulirnya yang penuh. “Kalau air irigasi lancar begini, hasilnya bisa bagus,” ujarnya pelan, suaranya tenggelam dalam gemerisik angin pagi.

Ia bukan sekadar petani, tetapi bagian dari wajah besar Indonesia—wajah dari 97.829 rumah tangga petani padi sawah yang pada tahun 2024 menjadi sampel dalam Survei Ubinan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) di 38 provinsi. Dari tangan-tangan seperti Miran, Indonesia menenun jantung ketahanannya: beras, sumber energi utama bagi hampir seluruh penduduk.

Cerita dari Sebidang Lahan Irigasi

Lahan yang digarap Miran termasuk dalam 68,20 persen sawah irigasi di seluruh Indonesia, lahan yang dianggap paling produktif dibandingkan sawah tadah hujan, rawa pasang surut, atau lebak. “Kalau air cukup, pupuk juga ada, hasilnya bisa sampai lima ton lebih per hektar,” kata Miran, mengutip angka yang tidak jauh berbeda dari temuan BPS: produktivitas padi sawah di lahan irigasi mencapai 53,99 kuintal per hektar.

Namun ia juga tahu, tidak semua desa seberuntung Sukamerta. Di banyak daerah, sawah bergantung pada langit—pada hujan yang kian tak menentu akibat perubahan iklim. Dalam laporan BPS, hanya sekitar 21,74 persen petani padi sawah yang sudah menerapkan teknik jajar legowo, sistem tanam berjarak yang membuat padi mendapat sinar dan udara lebih baik. Sebagian besar lainnya masih menanam seperti biasa, mengikuti pola turun-temurun.

“Dulu bapak saya menanam rapat, katanya biar banyak batang. Tapi sekarang penyuluh bilang lebih renggang lebih bagus,” kata Miran sambil menunduk memperhatikan jarak antarpadi yang ditatanya dengan hati-hati.

Benih dan Harapan di Tangan Petani

Benih yang ia tanam adalah padi inbrida, seperti 89,07 persen rumah tangga petani di seluruh Indonesia. Benih ini murah, mudah didapat, dan bisa ditanam ulang. Varietas hibrida memang menjanjikan hasil lebih tinggi—BPS mencatat 52,25 kuintal per hektar untuk hibrida dibanding 51,36 kuintal per hektar untuk inbrida—tetapi harga benih hibrida masih terlalu mahal bagi banyak petani kecil.

Miran pernah sekali mencoba hibrida, saat kelompok taninya mendapat bantuan benih dari pemerintah. “Waktu itu hasilnya bagus, tapi tahun berikutnya benihnya nggak bisa dipakai lagi,” katanya. Ia lalu kembali ke varietas inbrida Ciherang yang lebih familiar.

Dari data BPS, hanya 12,57 persen petani padi sawah yang menerima bantuan benih. Mayoritas—lebih dari 87 persen—mengandalkan modal sendiri atau benih dari hasil panen sebelumnya. Meski pemerintah pusat menyumbang 55,08 persen dari total bantuan benih, masih banyak petani yang belum terjangkau program tersebut.

Namun bagi Miran, setiap benih tetap membawa janji: janji panen yang cukup untuk membayar pupuk, biaya tenaga, dan mungkin, sedikit tabungan untuk anaknya yang sekolah di kota.

Pupuk dan Persoalan yang Tak Pernah Usai

Dua karung pupuk urea berdiri di sudut gubuk kecil di tepi sawah. “Harga subsidi masih bisa ditanggung, tapi kalau telat datang, kita beli eceran, mahal,” keluh Miran. Ia termasuk bagian dari 83,12 persen rumah tangga padi sawah yang mendapatkan subsidi pupuk tahun 2024, menurut laporan BPS.

Rata-rata penggunaan pupuk urea di Indonesia mencapai 229,97 kilogram per hektar untuk padi sawah—angka yang menunjukkan betapa ketergantungan pada pupuk kimia masih tinggi. “Tanpa pupuk, hasil bisa turun separuh,” ujarnya.

Namun Miran juga mulai mencoba pupuk kompos. Ia tahu dari penyuluh bahwa pertanian berkelanjutan adalah kunci jangka panjang. Dalam survei ubinan, penggunaan pupuk organik memang masih kecil: hanya 23,46 kilogram per hektar untuk sawah. Tapi di desanya, sudah mulai ada pelatihan membuat pupuk dari jerami sisa panen. “Lumayan, hemat, dan tanah juga lebih gembur,” katanya sambil tersenyum.

Perang Sunyi Melawan Hama dan Cuaca

Ketika panen mendekat, Miran tidak hanya menatap bulir padi, tapi juga langit. “Kalau hujan terus, gabah bisa rebah. Kalau panas panjang, bisa kering,” katanya. Dalam laporan BPS, lebih dari 77 persen rumah tangga padi sawah mengendalikan hama secara kimiawi, sementara hanya sebagian kecil yang menggunakan cara alami.

“Penyakit blas tahun kemarin hampir habisin separuh sawah sebelah,” ujarnya, menunjuk area yang dulu berwarna kuning pucat. Penggunaan pestisida, menurutnya, seperti pedang bermata dua: melindungi tanaman, tapi kadang membuat tanah kehilangan daya hidup.

Dalam data BPS, produktivitas padi yang mendapat bantuan pupuk mencapai 52,47 kuintal per hektar, sedikit lebih tinggi dibanding mereka yang tidak menerima bantuan. Angka-angka itu menjadi bukti bahwa kebijakan subsidi masih punya arti nyata bagi petani kecil seperti Miran.

Kekuatan Kelompok Tani dan Solidaritas

Miran bukan petani yang bekerja sendiri. Ia tergabung dalam kelompok tani, seperti lebih dari separuh rumah tangga petani padi sawah di Indonesia. “Kalau sendiri, susah dapat pupuk atau alat. Tapi kalau lewat kelompok, lebih mudah,” jelasnya.

Dalam data BPS, rumah tangga anggota kelompok tani memiliki produktivitas 51,55 kuintal per hektar, sedikit lebih tinggi daripada non-anggota, yaitu 51,17 kuintal per hektar. Angka itu tampak kecil, tapi di lapangan, selisih setengah kuintal bisa berarti banyak: biaya sewa traktor, tambahan pupuk, atau sekadar simpanan darurat.

Kelompok taninya pernah mendapat bantuan alat pertanian berupa mesin pompa air dan perontok gabah. Dengan itu, mereka tak perlu lagi menyewa alat dari desa tetangga. “Sekarang tinggal mikir pupuk sama cuaca,” katanya sambil tertawa getir.

Di Tengah Bayang Perubahan Iklim

Dalam survei ubinan, BPS juga mencatat persepsi petani terhadap perubahan iklim dan kecukupan air. Hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar petani mulai merasakan dampaknya: hujan tak menentu, banjir datang di musim kering, dan air irigasi yang dulu melimpah kini menipis di beberapa daerah.

“Sekarang tanam harus lihat prakiraan cuaca. Kadang bulan basah malah kering,” kata Miran sambil menunjuk saluran air kecil yang mengalir pelan. Ia belajar menyesuaikan waktu tanam, kadang lebih cepat, kadang lebih lambat, mengikuti ritme yang makin sulit ditebak.

Perubahan iklim tidak hanya mengubah pola tanam, tetapi juga mempengaruhi hasil. Dalam beberapa wilayah yang dilaporkan BPS, produktivitas menurun karena serangan hama meningkat di musim lembab ekstrem. Petani seperti Miran terjebak dalam keseimbangan rumit antara harapan dan risiko.

Data dan Denyut Kehidupan

Bagi BPS, setiap angka dalam laporan survei ubinan adalah hasil kerja panjang dari lapangan—titik-titik koordinat sawah yang diukur, ditimbang, dan diwawancarai. Namun di balik data 53,99 kuintal per hektar, ada kisah nyata tentang ketekunan, kesabaran, dan juga kelelahan.

Setiap petani yang diwawancarai, dari Aceh hingga Merauke, menjadi bagian dari mozaik besar ketahanan pangan Indonesia. Dari 2.328 rumah tangga padi ladang hingga hampir 98 ribu rumah tangga padi sawah, mereka memikul harapan yang sama: agar setiap musim panen, negeri ini cukup makan dari hasil tanamnya sendiri.

Sawah, Masa Depan, dan Generasi Baru

Anak Miran, Yani, kini berkuliah di jurusan agribisnis di Bandung. Ia sering mengirimkan pesan kepada ayahnya tentang cara baru bercocok tanam, tentang drone pemantau lahan, atau aplikasi cuaca berbasis satelit. Miran tersenyum setiap kali membaca pesan itu, meski kadang ia tak sepenuhnya paham. “Yang penting dia mau balik ke desa,” katanya.

Yani tumbuh di era ketika sawah tak lagi sekadar lahan, tetapi juga ruang inovasi. Pemerintah berbicara tentang pertanian presisi, benih unggul adaptif iklim, dan pupuk hijau. Namun bagi Miran, semua itu akan bermakna jika petani kecil seperti dirinya tetap diberi akses terhadap air, benih, pupuk, dan harga jual yang adil.

Akhir Musim dan Awal Harapan

Saat matahari mulai condong ke barat, Miran menatap hamparan padi yang berkilau keemasan. Panen tinggal menunggu beberapa hari. Ia tahu hasilnya tidak akan sempurna—selalu ada hama, ada bagian sawah yang kurang subur—tetapi cukup untuk hidup, cukup untuk menanam lagi.

Di kota, laporan resmi BPS mungkin sedang dicetak, penuh angka dan grafik tentang produktivitas padi sawah dan ladang di Indonesia 2024. Namun di desa seperti Sukamerta, angka-angka itu hidup dalam tangan-tangan yang menggenggam sabit, dalam doa setiap kali hujan turun di waktu yang tepat.

Miran menatap jauh ke horizon, di mana langit bertemu dengan petak sawah terakhir. “Kalau semua mau tanam, kalau air tetap ada, Indonesia pasti bisa makan dari hasilnya sendiri,” katanya dengan nada pelan tapi yakin.

Angka bisa berubah setiap tahun—kadang naik, kadang turun—tapi semangat di baliknya tetap sama: semangat yang membuat negeri ini terus menanam, terus berharap, dan terus memanen kehidupan dari tanahnya sendiri.