Pendidikan
Wonosobo Central Java Indonesia, August-16-2020. children in elementary school uniforms sit and joke on bamboo bridges

Membaca Ulang Sekolah dalam Potret Pendidikan Indonesia

(Beritadaerah – Kolom) Di banyak sudut Indonesia, sekolah tidak sekadar bangunan dengan dinding, atap, dan bangku. Ia adalah tempat orang tua menitipkan masa depan anak-anak mereka, tempat guru menyalakan semangat belajar, dan tempat generasi berikutnya belajar memahami dunia. Namun perjalanan menuju pendidikan berkualitas tidak pernah sederhana. Ia menggambarkan pergulatan antara keterbatasan dan kemajuan, antara ketimpangan dan upaya memperbaiki, antara kenyataan dan cita-cita besar tentang Indonesia yang lebih cerdas.

Tahun 2025 memberikan kesempatan untuk membaca ulang wajah pendidikan Indonesia dengan lebih jujur. Data nasional dari berbagai survei dan pendataan memperlihatkan bahwa kita sedang melangkah maju, tetapi belum meninggalkan sepenuhnya berbagai tantangan lama. Pendidikan di negeri ini adalah sebuah perjalanan panjang, bukan sprint singkat. Untuk memahaminya, kita perlu melihat ruang kelas, para guru, anak-anak, fasilitas sekolah, hingga tekanan yang harus dihadapi keluarga sehari-hari.

Cerita pendidikan Indonesia hari ini adalah cerita tentang ruang kelas yang masih membutuhkan perhatian, tentang anak-anak yang semangatnya tak kunjung padam, tentang guru yang terus berjuang, serta tentang sebuah negara besar yang berupaya menghadirkan akses pendidikan yang adil bagi semua.

Ruang Kelas antara Optimisme dan Kekurangan

Ruang kelas adalah jantung sekolah, tempat ribuan ide baru dimulai setiap hari. Pada tahun ajaran 2024/2025 jumlah sekolah di seluruh jenjang pendidikan kembali meningkat. SD bertambah ratusan, SMP bertambah lebih banyak lagi, dan SMA serta SMK pun mengalami kenaikan, meski tidak sebesar jenjang lainnya. Ini seperti membuka pintu baru bagi anak-anak yang tinggal jauh dari pusat kota.

Namun peningkatan jumlah sekolah belum memastikan kualitas ruang belajar di dalamnya. Data menunjukkan bahwa pada jenjang SD, hanya sekitar 39 persen ruang kelas yang berada dalam kondisi baik. Artinya, enam dari sepuluh ruang belajar masih masuk dalam kategori rusak ringan hingga rusak berat. Pada tingkat SMP dan SMA kondisinya lebih baik, tetapi tetap menyisakan ruang perbaikan.

Kondisi terbaik justru terlihat di SMK. Hanya sekitar 3–4 persen ruang kelas mereka yang tergolong rusak berat. Bandingkan dengan SD yang hampir tiga kali lipat lebih tinggi. Jika SD adalah fondasi pendidikan, maka kualitas ruang kelas yang buruk pada jenjang ini seperti membangun rumah di atas tanah yang belum dipadatkan.

Di banyak daerah, anak-anak masih belajar di ruangan yang catnya mengelupas, lantainya retak, atau atapnya bocor. Bagi sebagian dari kita hal ini terdengar seperti masalah kecil, tetapi bagi anak yang harus belajar sambil menghindari tetesan air hujan atau menulis di meja reyot, kualitas pendidikan berkurang jauh sebelum materi pelajaran diberikan.

Sanitasi yang Masih Jadi PR Dasar

Fasilitas sanitasi mungkin tidak sering muncul dalam diskusi pendidikan, tetapi bagi jutaan murid, ini menentukan kenyamanan dan kesehatan mereka. Mayoritas sekolah memang telah memiliki sumber air yang cukup, tetapi masih ada sekitar 1–2 persen yang tidak memiliki akses air sama sekali. Jumlah itu tampak kecil, tetapi ketika diterjemahkan ke angka nasional, berarti ada ribuan sekolah yang anak-anaknya harus belajar tanpa fasilitas dasar.

Toilet juga masih menjadi persoalan. Pada jenjang SD, sekitar 18,7 persen sekolah tidak memiliki toilet siswa. Jumlah itu cukup besar untuk membuat banyak anak terpaksa menahan buang air, pulang ke rumah di tengah jam belajar, atau menggunakan fasilitas umum yang tidak layak. Kondisi ini lebih sering terjadi di daerah terpencil dan pedesaan.

Jika kita memahami bahwa sekolah adalah tempat anak-anak tumbuh, maka fasilitas sanitasi bukan hanya kenyamanan—ini adalah hak dasar. Tanpa sanitasi, kesehatan terganggu. Jika kesehatan terganggu, proses belajar terganggu. Ini adalah mata rantai yang sederhana tetapi berdampak panjang.

Guru sebagai Penjaga Arah Pendidikan

Tidak ada kualitas pendidikan tanpa kualitas guru. Pada tahun ajaran 2024/2025 jumlah guru SD, SMP, dan SMA meningkat. Hanya di SMK terjadi penurunan jumlah guru. Namun kabar baiknya, persentase guru berkualifikasi minimal S1/D4 meningkat di semua jenjang. Dalam pendidikan modern, kualitas guru bukan hanya tentang pengetahuan akademik, tetapi juga kompetensi pedagogik dan kemampuan adaptasi.

Secara nasional rasio murid-guru memenuhi standar ideal. Untuk SD, SMP, dan SMA berada pada kisaran satu guru untuk dua puluh murid. Untuk SMK, satu guru berbanding lima belas murid. Dalam angka rasio, situasi terlihat baik. Tetapi pengalaman lapangan tidak selalu seindah itu. Di kota-kota besar, satu guru mungkin mengajar dengan beban sedang. Namun di pedalaman, satu guru dapat merangkap sebagai wali kelas, pengajar beberapa mata pelajaran, pengelola administrasi, sekaligus operator sistem digital sekolah.

Transformasi digital yang dirancang untuk mempermudah sering kali justru menambah beban administratif. Guru harus memasukkan data ke berbagai platform, mengisi laporan berkala, dan mengikuti pelatihan yang padat. Hal ini mengurangi waktu mereka untuk mempersiapkan pembelajaran secara kreatif.

Meski begitu, semangat guru untuk mengajar tidak padam. Mereka tetap hadir sebagai garda terdepan untuk memastikan bahwa perubahan kurikulum bukan sekadar dokumen, tetapi menjadi pengalaman belajar nyata bagi anak-anak.

PAUD yang Masih Jauh dari Harapan

Pendidikan anak usia dini adalah fondasi perkembangan kognitif dan sosial. Kualitas PAUD berdampak langsung pada kemampuan anak ketika memasuki SD. Namun angka partisipasi PAUD Indonesia masih belum memuaskan. Hanya sekitar 34 persen anak usia 0–6 tahun yang pernah atau sedang mengikuti pendidikan prasekolah. APK PAUD pun hanya sekitar 36 persen.

Artinya sebagian besar anak memulai pendidikan formal tanpa persiapan akademik dan sosial yang memadai. Kondisi ini tercermin pada banyaknya anak kelas 1 SD yang belum siap membaca, belum mengenal angka dengan baik, atau masih kesulitan mengikuti instruksi.

Jika kualitas SD dipengaruhi oleh kesiapan awal ini, maka memperkuat PAUD semestinya menjadi prioritas nasional. Tanpa PAUD yang kuat, beban SD menjadi berat dan kesenjangan belajar semakin sulit diatasi.

Partisipasi Sekolah yang Bergerak Naik tetapi Belum Merata

Di sisi lain, Angka Partisipasi Sekolah (APS) untuk kelompok umur 7–23 tahun menunjukkan peningkatan pada 2025. Ini kabar positif bahwa semakin banyak anak yang tetap berada di sekolah. APK untuk semua jenjang juga meningkat, termasuk pendidikan tinggi.

Namun Angka Partisipasi Murni (APM), yang menunjukkan berapa banyak anak berada di jenjang sesuai usia, justru menurun untuk SD dan SMP. Ini berarti semakin banyak anak yang terlambat masuk sekolah atau tertinggal dalam proses pendidikan. Pada jenjang SMA/SMK dan pendidikan tinggi APM meningkat, tetapi dari basis yang masih kecil.

Angka anak tidak sekolah juga menurun. Kelompok usia 7–12, 13–15, dan 16–18 semuanya menunjukkan penurunan ATS. Meskipun begitu, remaja SMA/SMK masih memiliki risiko terbesar untuk putus sekolah karena alasan ekonomi dan sosial.

Pendidikan menengah adalah titik kritis. Pada usia ini, banyak remaja mulai bekerja, membantu keluarga, atau mengurus rumah tangga. Tantangan tersebut membuat sekolah tidak selalu menjadi prioritas utama.

Ketika Ekonomi Memaksa Anak untuk Dewasa Terlalu Cepat

Tekanan ekonomi rumah tangga membuat banyak anak harus membagi waktu antara sekolah dan pekerjaan. Pada tahun 2025, sekitar 40,7 persen peserta didik usia 10–23 tahun bekerja. Mereka bukan hanya bekerja paruh waktu, tetapi sering kali membantu pekerjaan keluarga atau menjadi bagian dari ekonomi rumah tangga.

Sementara itu, sekitar 7,2 persen anak—kebanyakan perempuan—mengurus rumah tangga. Mereka harus memasak, mencuci, menjaga adik, atau membantu usaha orang tua. Beban gender ini terus muncul dari tahun ke tahun.

Ketika anak harus memikul tanggung jawab sedemikian besar, ritme belajar mereka terpengaruh. Jam istirahat berkurang, konsentrasi menurun, dan semangat belajar mudah surut. Sistem pendidikan belum sepenuhnya memiliki fleksibilitas untuk mengakomodasi kondisi ini.

Teknologi yang Banyak Digunakan tetapi Belum Dikuasai

Sebagian besar peserta didik sekarang sudah menggunakan telepon seluler dan internet. Ini memberikan peluang besar untuk pembelajaran digital. Namun penggunaan komputer atau laptop masih rendah. Sementara telepon seluler banyak digunakan, keterampilan teknologi yang lebih kompleks justru tertinggal.

Ketimpangan perangkat ini menjadi tantangan besar dalam proses digitalisasi sekolah. Guru sering kali berharap siswa bisa menggunakan platform belajar, tetapi banyak siswa tidak memiliki perangkat yang memadai.

Kita sedang berada dalam era baru, tetapi kesiapan perangkat dan keterampilan belum merata. Bahkan jika akses internet tinggi, tanpa kemampuan literasi digital, pembelajaran tidak akan maksimal.

Capaian Pendidikan yang Naik tetapi Belum Tuntas

Secara keseluruhan, tingkat melek huruf nasional mencapai sekitar 97 persen. Rata-rata lama sekolah (RLS) mencapai 9,41 tahun, melampaui target nasional. Ini menandakan bahwa penduduk Indonesia rata-rata telah menyelesaikan pendidikan setara kelas 3 SMP.

Namun pencapaian ini belum menggambarkan pemerataan. Masih ada sekitar 11 persen penduduk dewasa yang tidak pernah sekolah atau tidak tamat SD. Di daerah pedesaan dan rumah tangga termiskin angka ini jauh lebih tinggi.

Tingkat penyelesaian SMA/SMK hanya sekitar 74 persen. Angka tersebut menunjukkan bahwa seperempat remaja berhenti sebelum menuntaskan pendidikan menengah. Jika kita ingin memasuki era ekonomi berbasis teknologi, keterampilan menengah menjadi syarat minimal. Ketika banyak remaja tidak mencapai jenjang ini, kompetisi global menjadi semakin berat.

Menyusun Harapan untuk Masa Depan Pendidikan

Potret pendidikan Indonesia pada 2025 memperlihatkan perjalanan panjang yang sedang terus dibangun. Kita telah melihat lebih banyak sekolah berdiri, lebih banyak guru berkualifikasi, dan lebih banyak anak kembali ke bangku belajar. Namun tantangan mengenai kualitas ruang kelas, rendahnya partisipasi PAUD, ketimpangan pendidikan antardaerah, serta tekanan ekonomi keluarga masih menjadi hambatan besar.

Namun setiap angka bukan hanya statistik; ia adalah cerita. Cerita tentang seorang anak yang harus pulang lebih cepat karena sekolahnya tidak memiliki toilet. Cerita tentang seorang guru yang mengajar enam mata pelajaran sekaligus. Cerita tentang remaja yang belajar sambil bekerja demi membantu keluarga. Cerita tentang orang tua yang berharap anaknya mendapat kehidupan lebih baik daripada mereka.

Pendidikan Indonesia bukan sekadar sekumpulan data tahunan. Ia adalah perjalanan kolektif seluruh bangsa. Setiap perbaikan kecil memiliki dampak besar, dan setiap tantangan adalah undangan untuk bergerak lebih jauh.

Jika masa depan Indonesia ingin gemilang, pendidikan adalah pondasi yang harus dijaga, dirawat, dan diperkuat terus-menerus. Bukan hanya oleh pemerintah, tetapi oleh semua yang percaya bahwa ruang kelas adalah tempat lahirnya masa depan.