(Beritadaerah – Kolom) Pagi itu, di kaki Gunung Ciremai, langit masih setengah biru. Embun menempel di daun cabai, mengilap seperti butiran kaca kecil. Seorang pria paruh baya bernama Ramdhan memeriksa barisan tanaman di lahan sempit miliknya. Ia bukan petani sembarangan. Dua tahun lalu, ia diajak bergabung dalam kemitraan dengan sebuah perusahaan hortikultura berbentuk Perseroan Terbatas—perusahaan yang didirikan oleh sekelompok anak muda alumni pertanian. Dalam data Badan Pusat Statistik, perusahaan semacam itu kini menjadi tulang punggung sektor hortikultura di Indonesia. Ramdhan tak tahu banyak soal angka, tapi ia mendengar dari petugas BPS yang datang tahun lalu bahwa jumlah perusahaan hortikultura di Indonesia naik menjadi 244 unit pada 2025, meningkat dari 221 unit pada 2021. Dari angka itu, lebih dari 70 persen berada di Pulau Jawa—dan sebagian besar seperti milik mitranya, berbentuk PT atau CV. “Jadi, kita ini bagian dari statistik itu,” ujar petugas muda itu waktu memegang tablet kecil untuk mencatat data. Kini, ketika Ramdhan melihat lahan cabainya, ia merasa bukan sekadar petani. Ia adalah bagian dari cerita besar tentang perubahan pertanian Indonesia—sebuah perubahan yang pelan tapi pasti bergerak dari tradisi menuju profesionalisme.
Di Jakarta, di gedung tinggi Badan Pusat Statistik, sekelompok analis sedang memantau dashboard digital berisi peta-peta berwarna hijau dan jingga. Di layar itu, titik-titik kecil menandai ribuan usaha hortikultura di seluruh Indonesia. Sebagian besar terkonsentrasi di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Di Sumatera, bintik-bintik muncul lebih jarang; di Maluku dan Papua, hanya satu-dua. “Jawa Barat punya 69 perusahaan hortikultura tahun ini,” ujar Amelia Dertta Irjayanti, salah satu penyusun laporan tahunan itu, sambil menunjuk layar. “Jawa Timur 52, Jawa Tengah 37. Totalnya hampir 65 persen nasional.” Baginya, angka-angka itu bukan sekadar statistik. Setiap titik di peta menyimpan wajah-wajah petani, pekerja, dan pemilik usaha yang menanam, memanen, lalu melaporkan hasilnya melalui survei tahunan VP-Horti dan VN-Horti. Tahun 2025, untuk pertama kalinya, semua pencacahan dilakukan menggunakan CAPI—Computer-Assisted Personal Interviewing. Tak ada lagi kertas, tak ada tinta. Semua data langsung terkirim ke server BPS, divisualisasikan dalam bentuk grafik, lalu menjadi bahan bagi perencana pembangunan. Transformasi digital itu mengubah cara Indonesia mengenal pertaniannya sendiri.
Ramdhan masih ingat saat pertama kali petugas BPS datang ke kebunnya membawa tablet. “Bapak, kami mau tanya berapa luas lahan cabai yang Bapak kelola?” tanya petugas itu sopan. “Cuma satu hektare lebih sedikit,” jawabnya. “Pekerjanya berapa?” “Delapan orang tetap, sisanya harian.” Petugas mengetik cepat, lalu memperlihatkan layar. Ada formulir digital bertuliskan VP-HORTI 2025. Setiap jawaban langsung tersimpan dalam sistem. Bagi Ramdhan, itu terlihat seperti sihir kecil di tengah kebun. Petugas itu menjelaskan bahwa mereka tak hanya mencatat nama usaha, tapi juga menghitung jumlah tenaga kerja, luas lahan, nilai produksi, sampai status kemitraan dan permodalan. Ramdhan mendengarkan sambil separuh tak paham, tapi ia suka semangat anak muda itu. “Kalau semua petani dicatat begini, pemerintah jadi tahu siapa kami,” katanya kemudian. Di tahun yang sama, BPS mencatat bahwa sekitar 28,69 persen perusahaan hortikultura telah melakukan kemitraan dengan petani kecil seperti Ramdhan. Sisanya masih berjalan mandiri. Angka itu mungkin terlihat kecil, tetapi di baliknya tersimpan perubahan mental: bahwa petani dan perusahaan mulai belajar berbagi peran.
Di Yogyakarta, sebuah startup agrikultur bernama Savana Flora tengah memperluas bisnis tanaman hiasnya. Didirikan oleh dua perempuan muda, perusahaan itu masuk dalam kategori “usaha hortikultura tahunan” yang fokus pada komoditas tanaman hias dan biofarmaka. Dalam laporan BPS, sektor tanaman hias hanya mencakup sekitar 17 persen dari total perusahaan, namun nilainya tumbuh pesat karena permintaan ekspor. “Kami bukan sekadar menjual bunga,” kata salah satu pendirinya, Nayla, sambil memegang pot anggrek di rumah kaca mereka. “Kami menjual pengalaman, estetika, dan harapan.” Setiap bunga anggrek yang dikirim ke Jepang atau Singapura melewati rantai pasok yang panjang: pembibitan, pengemasan, sertifikasi, hingga registrasi ekspor. Di seluruh Indonesia, hanya sekitar 17,62 persen perusahaan hortikultura yang sudah memiliki registrasi resmi. Savana Flora adalah salah satunya. “Susah di awal, tapi begitu legalitas jelas, pintu pasar terbuka,” ujar Nayla.
Sementara di Sumatera Utara, di tepi Danau Toba, sekelompok petani muda membentuk koperasi hortikultura. Mereka tidak seformal PT atau CV, tapi tercatat dalam kategori Usaha Hortikultura Lainnya (UTL)—unit usaha berbasis kebersamaan, seperti kelompok tani, lembaga pendidikan, hingga pesantren. Ketua kelompok itu, Saragih, dulu bekerja di kota sebelum kembali ke kampung halaman. Ia membawa gagasan baru: menanam stroberi dan markisa di lahan dataran tinggi. “Kami ingin membuktikan bahwa hortikultura bukan cuma soal sayur dan buah, tapi soal masa depan ekonomi desa,” katanya. Menurut data BPS, sepanjang 2021–2025 jumlah usaha hortikultura lainnya juga meningkat, mengikuti tren naiknya perusahaan hortikultura formal. Saragih merasa bangga karena usahanya tercatat dalam statistik nasional. “Itu berarti kami ada,” ujarnya.
Dari keseluruhan perusahaan hortikultura di Indonesia, sekitar 63 persen bergerak di bidang budidaya, 21 persen di perbenihan, dan sisanya menggabungkan keduanya. Kombinasi ini mencerminkan perubahan orientasi: dari sekadar menanam menjadi menciptakan bibit unggul yang bisa diekspor. Di Malang, seorang peneliti muda bernama Laras bekerja di laboratorium benih milik PT Agro Sejati. Ia terlibat dalam proyek menciptakan varietas cabai rawit tahan panas ekstrem. “Cuaca makin tak menentu. Kalau benihnya kuat, petani bisa bertahan,” ujarnya. BPS mencatat, cabai rawit adalah komoditas dengan perusahaan terbanyak di seluruh Indonesia: 34 unit. Hampir separuhnya bergerak di perbenihan. Cabai kecil berwarna merah itu, bagi Laras, adalah simbol ketahanan pangan di tengah perubahan iklim. “Kadang kita lupa, statistik itu berisi kehidupan,” katanya pelan sambil menatap deretan benih yang tumbuh di wadah transparan.
Amalia Adininggar Widyasanti, Kepala BPS, menutup laporan tahunan 2025 dengan kalimat yang ringkas: “Publikasi ini diharapkan menjadi dasar kebijakan serta kerangka bagi sensus dan survei selanjutnya.” Namun di luar ruang rapat, kalimat itu menjelma menjadi realitas yang lebih hidup—di tangan petani, pengusaha, dan peneliti. Di balik setiap tabel dan grafik, ada lahan-lahan yang basah oleh peluh, ada tangan-tangan yang menanam harapan. Statistik yang tampak kaku di atas kertas sebenarnya berdenyut dalam kehidupan sehari-hari: di ladang cabai Ramdhan, di rumah kaca Nayla, di laboratorium Laras, dan di koperasi Saragih.
Menjelang akhir tahun, Ramdhan menatap lahan cabainya yang mulai merah. Ia memegang ponselnya, memotret barisan tanaman, lalu mengirimkannya ke mitra perusahaannya di Jakarta. “Harga cabai naik,” tulisnya singkat. Beberapa hari kemudian, seorang petugas BPS kembali datang. Kali ini bukan membawa tablet, melainkan sekadar mengecek data yang telah terekam. “Lahan Bapak tetap satu hektare?” “Iya, tapi hasilnya naik,” jawab Ramdhan sambil tersenyum. Di layar tablet itu, angka-angka baru akan menambah statistik nasional tahun depan. Tapi bagi Ramdhan, itu lebih dari sekadar angka. Ia tahu, di balik semua data, ada musim baru yang sedang tumbuh—musim di mana petani dan perusahaan berjalan beriringan, di mana data menjadi jembatan antara kebijakan dan kenyataan, dan di mana pertanian Indonesia menulis kisahnya sendiri, satu baris data pada satu waktu.


