Penurunan PPN Dinilai Jadi Langkah Moral Fiskal dan Tanda Kebangkitan Konsumsi Masyarakat

(Beritadaerah-Jakarta) Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, Fakhrul Fulvian, menyampaikan pandangannya bahwa arah kebijakan fiskal nasional perlu diarahkan kembali agar lebih berpihak pada masyarakat luas. Menurutnya, rencana pemerintah untuk menurunkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan langkah korektif yang memiliki makna moral, setelah kebijakan sebelumnya dianggap kurang berpihak pada kelompok berpendapatan rendah.

Ia menilai, selama ini keseimbangan antara kenaikan PPN dan penurunan Pajak Penghasilan (PPh) Badan menciptakan dampak yang tidak seimbang. Di satu sisi, perusahaan besar menikmati keringanan, sementara masyarakat kecil menanggung beban konsumsi yang meningkat. Fakhrul menilai kebijakan tersebut membuat perputaran uang di lapisan bawah melambat, daya beli menurun, dan konsumsi rumah tangga tertahan.

Dalam pandangannya, penurunan PPN sebesar satu persen yang tengah dikaji pemerintah sejak 2026 mendatang bukan sekadar kebijakan teknis, melainkan sinyal bahwa negara berupaya mengembalikan kekuatan ekonomi rakyat. Ia menyebut langkah kecil tersebut dapat menjadi awal dari arah baru pembangunan ekonomi yang lebih inklusif.

Meski demikian, Fakhrul menilai kebijakan tersebut harus dijalankan secara hati-hati. Ia menyarankan agar pemerintah tidak terburu-buru menurunkan PPh Badan dalam waktu yang sama, guna menjaga stabilitas fiskal serta kredibilitas anggaran negara.

Lebih lanjut, Fakhrul menilai bahwa kombinasi kebijakan dalam Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan beberapa tahun lalu telah menciptakan ketimpangan distribusi pendapatan. Ia menilai kebijakan tersebut menurunkan beban pajak bagi pelaku usaha besar, namun justru memperberat kondisi masyarakat umum melalui kenaikan PPN. Oleh karena itu, ia menilai perlu ada koreksi arah agar keadilan fiskal dapat ditegakkan kembali.

Untuk menjaga penerimaan negara tanpa menambah tekanan pada konsumsi rakyat, Fakhrul mengusulkan tiga langkah pembenahan. Pertama, memperketat pengawasan terhadap praktik miss-invoicing di perdagangan internasional. Kedua, melakukan reformasi pada sistem cukai hasil tembakau dan produk turunannya. Ketiga, memperkuat integrasi data lintas kementerian agar potensi kebocoran fiskal bisa ditekan.

Ia juga menekankan pentingnya membangun kembali kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan. Menurutnya, keberhasilan reformasi fiskal tidak hanya bergantung pada besaran tarif, tetapi pada keyakinan masyarakat bahwa pajak yang mereka bayarkan digunakan secara transparan dan adil.

Fakhrul berpendapat bahwa penurunan PPN satu persen memiliki makna simbolik bagi pemerintah—sebagai langkah moral untuk menegakkan keadilan fiskal dan menumbuhkan kembali keyakinan rakyat terhadap negara. Ia menilai, kebijakan fiskal seharusnya tidak hanya mengejar angka penerimaan, melainkan juga menghadirkan rasa keadilan serta manfaat nyata bagi masyarakat.