(Beritadaerah-Kolom) Indonesia sedang berada di persimpangan jalan dalam hal energi. Selama puluhan tahun, kebutuhan listrik dan bahan bakar masih bergantung pada energi fosil seperti batubara, minyak, dan gas. Lebih dari 90 persen konsumsi energi nasional berasal dari sumber ini, membuat Indonesia rapuh ketika harga energi dunia melonjak atau pasokan terganggu.
Namun, arah kebijakan sudah jelas: transisi energi bersih tidak bisa ditunda lagi. Pemerintah menargetkan pada 2025 porsi energi baru terbarukan mencapai 23 persen dari bauran energi nasional. Di sinilah pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTMH) G hadir sebagai salah satu upaya konkret. Proyek berkapasitas 48 megawatt (MW) ini memanfaatkan aliran sungai di dataran tinggi Sumatra Utara dengan pendekatan run-of-river yang ramah lingkungan.
Sungai yang Menjadi Sumber Listrik
PLTMH G dibangun di aliran sungai yang memiliki daerah tangkapan air (catchment area) lebih dari 720 km². Debit andalannya mencapai rata-rata 33 meter kubik per detik. Debit sebesar ini cukup untuk memutar turbin dan menghasilkan listrik tahunan bersih sekitar 295 gigawatt jam (GWh). Angka ini setara dengan pasokan listrik untuk puluhan ribu rumah tangga.
Potensi tersebut semakin ideal karena kawasan sekitarnya berada pada ketinggian 800 hingga 1000 meter di atas permukaan laut. Kontur lembah yang curam menciptakan beda ketinggian (head) hingga 160 meter, kondisi yang sangat cocok untuk turbin tipe Francis. Alih-alih membangun bendungan raksasa, proyek ini hanya menggunakan bendung setinggi 14 meter, saluran pembawa air sepanjang 7,4 kilometer, serta pipa pesat sepanjang 2,3 kilometer yang langsung mengalirkan air menuju rumah pembangkit.
Dengan desain ini, PLTMH G tidak memerlukan waduk besar, sehingga dampak lingkungan dan sosial bisa lebih terkendali. Ekosistem sungai tetap dijaga dengan menyediakan debit ekologis sebesar 3,67 meter kubik per detik, memastikan aliran air tidak mati dan makhluk hidup di dalamnya tetap bisa bertahan.
Menguatkan Sistem Kelistrikan Sumatra Utara
Kebutuhan listrik di Sumatra Utara terus meningkat setiap tahun. Beban puncak di wilayah ini sudah mendekati 1.900 MW, sementara pertumbuhan konsumsi listrik rata-rata mencapai 5 persen per tahun. Tanpa tambahan pasokan baru, risiko defisit listrik akan selalu mengintai, terutama saat musim kemarau panjang.
PLTMH G dirancang untuk menyumbang listrik bersih 48 MW ke jaringan interkoneksi Sumatra. Listrik dari pembangkit akan disalurkan melalui jaringan 150 kilovolt menuju gardu induk utama yang berjarak sekitar 45 kilometer. Dengan masuknya pasokan dari PLTMH G, stabilitas sistem kelistrikan di Sumatra Utara bisa lebih terjaga, terutama pada saat beban puncak.
Bayangkan jika permintaan listrik melonjak saat malam hari atau ketika industri beroperasi penuh, tambahan 48 MW dari PLTMH G bisa menjadi penopang yang mencegah terjadinya pemadaman bergilir.
Investasi Triliunan Rupiah
Membangun pembangkit listrik tenaga air membutuhkan biaya besar. Total investasi untuk PLTMH G diperkirakan mencapai Rp 1,59 triliun. Dana sebesar ini mencakup pembangunan sipil, instalasi turbin dan generator, sistem transmisi, hingga biaya konsultasi dan manajemen.
Namun, analisis finansial menunjukkan proyek ini cukup menjanjikan. Tingkat pengembalian internal (Internal Rate of Return / IRR) berada di kisaran 16 persen, dengan periode balik modal sekitar 10 tahun. Artinya, setelah satu dekade, modal yang ditanamkan sudah kembali, sementara pembangkit bisa terus beroperasi hingga 30 tahun lebih.
Kepastian keuntungan semakin diperkuat oleh regulasi tarif listrik melalui Peraturan Presiden No. 112/2022. Pada 10 tahun pertama, tarif jual listrik ke PLN ditetapkan sekitar Rp 1.032 per kilowatt jam (kWh), dan pada periode berikutnya sekitar Rp 704 per kWh. Dengan produksi tahunan mendekati 300 GWh, potensi pendapatan yang dihasilkan mencapai ratusan miliar rupiah per tahun.
Dampak Sosial dan Lingkungan
PLTMH G tidak hanya soal listrik dan keuntungan finansial, tetapi juga tentang dampaknya pada masyarakat sekitar. Pembangunan proyek ini membutuhkan lahan sekitar 50 hektar, mencakup area bendung, saluran air, rumah pembangkit, serta akses jalan. Meski relatif kecil dibandingkan proyek waduk besar, tetap ada kebutuhan untuk memastikan masyarakat tidak dirugikan.
Selama masa konstruksi, ratusan tenaga kerja lokal bisa terserap. Mereka terlibat dalam berbagai pekerjaan, mulai dari konstruksi sipil, transportasi material, hingga pekerjaan pendukung. Setelah beroperasi, pembangkit juga membuka lapangan kerja untuk pengoperasian dan pemeliharaan.
Selain itu, setiap tahun disiapkan dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) sekitar Rp 400 juta. Dana ini bisa digunakan untuk membangun fasilitas umum, mendukung sekolah, atau meningkatkan layanan kesehatan di desa-desa sekitar. Dengan manajemen yang baik, manfaat ini bisa dirasakan langsung oleh masyarakat lokal.
Namun, tantangan terbesar tetap pada penerimaan sosial. Proyek harus dijalankan dengan komunikasi yang transparan dan melibatkan masyarakat sejak awal. Dengan begitu, pembangkit bukan dipandang sebagai proyek “orang luar”, tetapi sebagai bagian dari pembangunan yang memberi manfaat bersama.
Kontribusi terhadap Transisi Energi
Keuntungan besar lain dari PLTMH G adalah kontribusinya terhadap penurunan emisi karbon. Dengan kapasitas 48 MW dan produksi hampir 300 GWh per tahun, pembangkit ini diperkirakan mampu mengurangi ratusan ribu ton emisi CO₂ jika dibandingkan dengan pembangkit berbahan bakar batubara.
Hal ini sangat relevan dengan komitmen Indonesia dalam perjanjian Paris untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Pembangunan PLTMH skala menengah seperti G menunjukkan bahwa transisi energi bukan hanya wacana, melainkan langkah nyata.
Selain itu, keberhasilan proyek ini akan menjadi sinyal positif bagi investor lain. Dengan dukungan regulasi dan kepastian kontrak jual-beli listrik dengan PLN, sektor energi terbarukan di Indonesia semakin terbuka bagi partisipasi swasta maupun BUMN.
Dari Dataran Tinggi untuk Masa Depan
Wilayah dataran tinggi tempat PLTMH G berdiri bukanlah kawasan industri besar atau kota padat penduduk. Kepadatan penduduknya rendah, dengan ekonomi lokal yang masih bergantung pada pertanian dan usaha kecil. Namun, dari kawasan yang sunyi inilah, sebuah proyek bernilai lebih dari satu setengah triliun rupiah dirancang untuk memasok listrik bersih bagi jutaan orang.
Kehadiran PLTMH G menjadi cerita bagaimana sungai yang selama ini hanya mengalir di lembah kini bisa memberi cahaya bagi ribuan rumah. Ia juga menjadi bukti bahwa energi bersih bukan lagi pilihan mahal, melainkan kebutuhan yang bisa diwujudkan dengan teknologi dan perencanaan yang tepat.
Penutup
PLTMH G adalah lebih dari sekadar proyek energi. Ia adalah simbol dari perjalanan panjang Indonesia menuju kemandirian energi. Dengan memadukan potensi alam, perencanaan teknis, perhitungan ekonomi, dan perhatian pada aspek sosial-lingkungan, proyek ini menunjukkan bahwa pembangunan berkelanjutan bukan sekadar konsep, tetapi sesuatu yang bisa dijalankan.
Dengan kapasitas 48 MW, investasi Rp 1,59 triliun, proyeksi keuntungan yang menarik, dan kontribusi nyata terhadap pengurangan emisi, PLTMH G menegaskan peran penting pembangkit tenaga air skala menengah dalam peta energi nasional. Tantangan memang ada, mulai dari penerimaan masyarakat hingga pengelolaan lingkungan. Namun jika dijalankan dengan prinsip keberlanjutan, PLTMH G bisa menjadi contoh sukses yang membuka jalan bagi proyek energi terbarukan lainnya di Indonesia.


