Pada suatu pagi di awal 2024, ketika embun masih menggantung di dedaunan dan angin laut membawa bau asin dari utara, seorang perempuan muda bernama Raya berdiri di pelataran pelabuhan Tanjung Uban. Pandangannya menyapu horizon. Di kejauhan, feri dari Singapura bersandar, menurunkan penumpang yang wajahnya penuh antusiasme. Beberapa di antaranya memotret, beberapa lagi menggenggam peta lusuh, seolah waktu sempat terhenti dan kini kembali bergerak.
Lima tahun terakhir adalah masa yang panjang bagi negeri ini. Tahun 2020 membawa gelap. Jalan-jalan sepi, hotel tutup, penjual oleh-oleh menggulung tikarnya. Bagi Raya, yang bekerja sebagai pemandu wisata di Yogyakarta, hidup pun ikut terlipat. Namun dari lembaran gelap itu, perlahan negeri ini menulis ulang kisahnya.
Ia membaca laporan dari Badan Pusat Statistik—tentang Tourism Satellite Account, istilah yang dulu asing kini terasa akrab. Kata orang, itu semacam cermin ekonomi untuk melihat seberapa besar pariwisata berkontribusi terhadap hidup kita. Dari angka-angka itu, Raya tidak hanya melihat grafik dan triliun rupiah. Ia melihat Bayu, sopir travel di Bali yang dulu jadi kurir makanan. Ia melihat Ibu Sri di Dieng yang sempat menukar kompor gasnya dengan uang tunai. Ia melihat dirinya sendiri, bangkit, berdiri lagi.
Perjalanan Raya dimulai dari Pulau Batam, tempat pelabuhan menjadi urat nadi utama. Pada 2023, lebih dari 68 persen wisatawan mancanegara yang datang ke Indonesia menggunakan jalur udara, tetapi pelabuhan tetap hidup. Malaysia menjadi negara yang paling banyak dikunjungi wisatawan nasional, mencapai 28,33 persen. Dan di Batam, arus balik dari negeri jiran juga terasa. Hotel-hotel sederhana di Nagoya penuh, toko oleh-oleh kembali buka sampai tengah malam.
Di warung soto pinggir jalan, Raya bertemu Siti, pelayan restoran yang baru kembali bekerja. “Tahun lalu, saya jual masker di pinggir jalan. Sekarang, orang beli soto dan kopi lagi,” katanya. Dari situ, Raya mencatat di bukunya Kontribusi sektor penyediaan makan dan minum menjadi yang tertinggi dalam industri pariwisata tahun 2023, mencapai 35 persen.
Dari Batam, ia menyeberang ke Padang. Di sana, ia menumpang angkot ke Bukittinggi, tempat ibu kandungnya berasal. Jalanan menanjak, kabut turun, dan suara pedagang sayur di Pasar Ateh terdengar kembali nyaring. Di pelataran Jam Gadang, wisatawan berfoto, anak-anak tertawa. Tidak ada yang tahu bahwa lima tahun lalu, kota ini nyaris kosong.
Di dekat warung teh telur, ia bercakap dengan Pak Hendra, pemilik rumah penginapan. “Tahun 2020 saya pinjam ke koperasi, karena tamu hilang. Tahun ini? Saya tidak punya kamar kosong sampai akhir bulan,” ujarnya bangga.
Raya menyadari satu hal, pariwisata bukan hanya soal turis asing. Pada 2023, Indonesia mencatat lebih dari 825 juta perjalanan domestik. Lebih dari 86 persen dari total pengeluaran wisata di Indonesia berasal dari wisatawan lokal. Negeri ini ternyata mencintai dirinya sendiri lebih dulu sebelum dikagumi dunia.
Di kereta menuju Surabaya, ia duduk bersebelahan dengan pasangan suami-istri dari Samarinda. “Kami jalan darat tiga hari, mau ke Banyuwangi,” kata sang istri. Raya tercengang. “Kami ingin tahu gunung, laut, dan kopi. Semua ada di sini,” sambung sang suami sambil tersenyum.
Dari Surabaya ke Banyuwangi, Raya menginap di penginapan yang dikelola anak muda lulusan pariwisata. Mereka menyajikan sarapan lokal dan menyewa sepeda listrik. Salah satu dari mereka, Dina, bercerita, “Kami berdiri pasca-pandemi. Kami tidak ingin kembali ke masa hanya bergantung pada wisatawan asing. Sekarang, tamu domestik lebih stabil.”
Data TSA menyebut bahwa pengeluaran wisatawan domestik mencapai lebih dari Rp1.700 triliun pada 2023. Sebuah angka yang tak main-main. Raya membayangkan bahwa angka itu adalah seragam sekolah, kulkas baru, modal warung, dan tentu saja harapan.
Raya kemudian terbang ke Labuan Bajo. Udara panas, tetapi pelabuhan penuh kapal pinisi yang siap membawa tamu ke Pulau Padar dan Komodo. “Kami hidup dari laut, tapi pariwisata adalah angin yang meniup layar kami,” kata Ardi, seorang pemilik kapal. Sejak 2019, sektor transportasi udara dan laut juga mencatat kenaikan kontribusi yang signifikan terhadap industri pariwisata. Jasa angkutan udara menyumbang 18 persen, dan sektor angkutan darat serta laut menyusul.
Di atas kapal, Raya bertemu tamu dari Polandia, dari Korea Selatan, dan dari Bandung. Mereka semua bertanya hal yang sama, “Apa makanan khas di sini?” Raya tersenyum. Ia tahu, makanan adalah bahasa universal. Di balik nasi campur, ikan bakar, dan sambal matah, tersimpan semangat untuk tetap hidup.
Ia mencatat lagi selama 2023, struktur industri pariwisata tidak banyak berubah. Penyediaan makanan dan minuman, akomodasi, dan jasa angkutan udara masih mendominasi. Tapi yang berubah adalah semangatnya. Setiap pelayan, resepsionis, dan pengemudi kini tahu bahwa pekerjaan mereka menyelamatkan ekonomi.
Dalam satu seminar kecil di Bandung, Raya berdiri sebagai pembicara tamu. Ia bukan ekonom. Ia bukan pejabat. Tapi ia pernah menjadi angka dalam laporan BPS—seorang pekerja yang kehilangan pekerjaan di masa gelap. Kini ia ingin menjembatani data dan wajah.
“Ketika kalian membaca bahwa sektor pariwisata menyerap 24 juta tenaga kerja pada 2023, ingatlah itu bukan sekadar statistik. Itu saya. Itu Pak Hendra di Bukittinggi. Itu Dina di Banyuwangi. Itu Ardi di Labuan Bajo. Dan itu, mungkin, Anda,” ucapnya sambil memegang mikrofon.
Di hadapan mahasiswa, ia menjelaskan bahwa Tourism Satellite Account bukan sekadar instrumen ekonomi. Ia adalah peta, adalah senter di gua yang gelap. Karena dari sana, kita tahu ke mana arah pemulihan, ke mana investasi harus diarahkan, dan siapa yang perlu ditolong lebih dulu.
Raya menutup sesi itu dengan satu kalimat, “Kalau pariwisata adalah cermin, maka semoga wajah yang kita lihat adalah wajah yang bangga pada diri sendiri.”
Perjalanan terakhir membawanya ke Borobudur. Tempat di mana diam dan batu menjadi saksi perubahan zaman. Di bawah matahari sore, ia menyaksikan rombongan pelajar dari Banjarmasin turun dari bus. Mereka menyanyikan lagu daerah dengan keras, membangkitkan memori tentang Indonesia yang tak pernah diam.
Duduk di tangga candi, Raya membuka buku catatannya. Ia menulis …
“Tahun 2023, pengeluaran pariwisata internal menyumbang 12,77 persen dari total ekspor dan konsumsi rumah tangga nasional. Jumlah ini bukan hanya uang. Ini adalah kebangkitan kolektif. Dari Sabang sampai Merauke, dari senyum petani di desa wisata hingga deru mesin pesawat di Soekarno-Hatta. Dari peluh pemandu wisata hingga program digitalisasi BPS yang membuat data bisa diakses siapa saja. Ini semua adalah kita.”
Ia menutup bukunya. Angin berhembus pelan. Di kejauhan, awan mulai jingga. Dan seperti langit yang bersiap menyambut malam, negeri ini pun telah siap menyambut babak baru pariwisatanya—lebih tangguh, lebih inklusif, dan lebih menghargai mereka yang selama ini bekerja diam-diam menjaga wajah Indonesia tetap cerah.