(Beritadaerah-Kolom) Langit Jakarta tampak muram pagi itu. Udara masih menggantungkan sisa kabut dari semalam, namun suasana ruang rapat lantai tujuh Kementerian Keuangan sudah tegang sejak pukul delapan. Di layar besar terpampang angka yang terus bergerak naik turun. Harga minyak mentah dunia kembali naik ke atas enam puluh lima dolar per barel, meskipun dua hari sebelumnya sempat anjlok nyaris tiga belas persen. Penurunan itu adalah yang terbesar sejak dua ribu dua puluh dua. Tapi justru itulah yang membuat ruang itu semakin senyap. Tak ada yang merasa ini pertanda baik.
Seorang analis senior yang rambutnya sudah putih sejak pandemi membuka catatan di tangannya. Gencatan senjata masih bertahan, katanya pelan. Tapi jangan sekali-kali percaya itu akan langgeng. Ia menyebut laporan dari Washington bahwa Presiden Trump memberi lampu hijau pada Tiongkok untuk tetap membeli minyak mentah dari Iran. Sebuah langkah yang tampaknya membatalkan bertahun-tahun sanksi. Ini memberi efek jangka pendek ke pasar, katanya. Tapi siapa yang bisa menjamin bahwa ini akan bertahan.
Mereka semua mengingat bagaimana dunia bereaksi dua minggu lalu saat Israel menyerang Teheran. Iran membalas dengan pernyataan keras bahwa mereka akan menutup Selat Hormus. Jalur sempit itu membawa hampir tiga puluh persen pasokan minyak dunia. Harga langsung melonjak hingga menyentuh tujuh puluh enam dolar per barel. Indonesia mulai gelisah.
Di Tanah Merah, Jakarta Utara, Ibu Ratna memandangi nota belanja yang makin panjang. Cabai naik. Minyak goreng ikut naik. Biaya ojek anaknya ke sekolah pun naik. Padahal harga BBM belum berubah. Ia tak tahu apa itu WTI atau OPEC. Tapi ia tahu benar bahwa setiap kali ada berita perang atau minyak, harga di warung naik, dan uang belanja makin sempit.
Di Bekasi, Pak Dadang yang mengemudikan truk ekspedisi kecil mulai berhitung ulang. Ia sudah dua hari ini merasa tangki truknya lebih cepat kosong. Kalau harga solar naik lagi, katanya kepada istrinya, mungkin ia harus kurangi jumlah pengiriman. Margin tipis. Untung susah. Tapi tagihan listrik dan sekolah anak tetap datang.
Sementara itu di lantai tinggi Bank Indonesia, tim kebijakan moneter tengah membahas risiko yang belum mereda. Mereka tahu bahwa pelemahan rupiah hingga menyentuh lima belas ribu delapan ratus per dolar tak hanya soal harga minyak. Kombinasi perang, suku bunga global, dan ketidakpastian pasar bisa menggoyang neraca transaksi berjalan kapan saja.
Harga Minyak Mentah
Sumber : Trading Economics
Di sebuah ruangan redaksi media ekonomi, Dani menatap laporan World Bank yang baru saja ia cetak. Ia menandai satu paragraf penting. Jika harga minyak naik sepuluh dolar, pertumbuhan negara berkembang bisa terpangkas hingga nol koma tujuh persen. Indonesia masuk dalam daftar negara yang rentan. Dani menulis cepat. Ia tahu pembacanya tak peduli pada angka kalau tak diberi cerita. Ia menyisipkan bahwa stok minyak mentah Amerika turun lebih dari lima juta barel minggu lalu. Permintaan tetap tinggi. Pasokan makin sempit.
Di kantor pusat Pertamina, para direksi tengah menghitung ulang kebutuhan subsidi jika harga kembali menyentuh delapan puluh dolar. Salah satu dari mereka menyebut bahwa produksi minyak nasional hanya enam ratus ribu barel per hari. Konsumsi dua kali lipatnya. Selisih itu harus diimpor. Dan setiap impor berarti risiko fiskal.
Direktur utama mengetuk-ngetuk meja dan berkata bahwa kita tidak bisa terus berharap harga minyak dunia bersahabat. Suatu saat kita harus mampu berdiri di atas kaki sendiri. Kalimat itu terdengar heroik, tapi semua tahu bahwa membangun ketahanan energi butuh lebih dari niat baik. Butuh investasi. Butuh kebijakan jangka panjang.
Di warung kopi belakang kampus, Maya dan Dafa berdiskusi soal skripsi. Maya sedang meneliti dampak fluktuasi energi terhadap konsumsi rumah tangga miskin. Ia menunjukkan bahwa ketika minyak naik, bukan hanya ongkos naik. Harga makanan ikut naik. Ongkos angkot. Biaya logistik. Semuanya bergerak bersama. Dafa mengangguk dan berkata bahwa ironisnya, yang paling terdampak adalah mereka yang bahkan tidak tahu bahwa harga minyak dunia sedang naik atau turun.
Di DPR, rapat anggaran mendadak digelar. Sebagian meminta revisi asumsi harga minyak. Yang lain menolak. Menteri Keuangan menyampaikan pernyataan bahwa APBN tetap berada dalam jalur yang hati-hati. Namun tekanan tetap ada. Jika harga naik lagi, subsidi bisa membengkak. Kalau tak dinaikkan, rakyat marah. Kalau dinaikkan, anggaran bisa jebol. Dilema itu seperti siklus tahunan yang tak kunjung usai.
Di sudut kota, di bawah kanopi halte bus yang mulai berkarat, Arif duduk dengan kemeja yang sudah disetrika rapi sejak subuh. Di tangannya tergenggam map plastik bening berisi fotokopi ijazah, transkrip nilai, dan sertifikat pelatihan daring yang ia ikuti selama pandemi. Ia baru saja turun dari angkot setelah menempuh perjalanan dua jam dari Cikarang menuju kawasan industri di Pulogadung.
Sudah dua bulan Arif menganggur setelah pabrik tempatnya bekerja tutup karena efisiensi biaya bahan bakar dan sepinya permintaan. Ia mendengar dari seorang teman bahwa ada lowongan sebagai operator forklift. Tapi ia belum tahu apakah perusahaannya masih menerima pelamar. Ia tidak peduli soal konflik Iran-Israel, atau kebijakan ekspansif Washington. Yang ia tahu, sejak harga solar naik sepekan lalu, biaya angkut barang di sektor logistik melonjak, dan perusahaan-perusahaan makin ketat merekrut.
Tadi malam ibunya menyarankan agar ia melamar ke rumah makan Padang dekat pasar. Tapi Arif ingin bertahan sedikit lebih lama dalam dunia industri, berharap pengalaman tiga tahun di manufaktur masih punya arti. Sambil menunggu panggilan wawancara yang tak kunjung datang, ia membuka aplikasi berita di ponselnya dan membaca bahwa harga minyak dunia hari ini kembali naik satu persen. Ia menghela napas. Ia tahu, meskipun tidak langsung, harga itu bisa jadi penentu apakah besok ia bisa bekerja lagi atau tidak.
Ia menatap ke kejauhan, melihat truk-truk besar lewat dengan suara mesin yang berat. Ia bertanya dalam hati, sampai kapan harga minyak di belahan dunia lain harus ikut menentukan masa depannya di sini.
Di sisi lain kota, seorang nelayan di pantai utara Jawa membakar sisa solar di mesin tempelnya. Ia tahu harga BBM belum naik. Tapi pengecer sudah mulai menaikkan harga karena katanya pasokan terlambat. Ia pulang dengan hasil tangkapan yang lebih sedikit dan pengeluaran lebih besar. Anak sulungnya yang baru lulus SMK belum juga mendapat kerja. Ia bertanya dalam hati, sampai kapan hidup begini.
Di balik semua ini, para pembuat kebijakan duduk di balik layar memikirkan solusi. Mereka membicarakan reformasi subsidi, efisiensi energi, percepatan kendaraan listrik. Namun rakyat kecil tak peduli pada skema konversi energi. Mereka hanya ingin harga tidak naik besok pagi.
Sementara gencatan senjata masih bertahan, risiko belum hilang. Selat Hormus tetap menjadi jalur rapuh. Iran masih punya rudal. Israel belum benar-benar diam. Dunia tidak bisa berharap bahwa kestabilan datang hanya karena ada konferensi pers dan foto bersama.
Indonesia harus belajar bahwa fluktuasi harga minyak bukan sekadar peristiwa eksternal. Ini menyentuh setiap dapur, setiap pom bensin, setiap lembar APBN. Kita harus membangun sistem yang tak lagi rentan oleh keputusan negara lain. Energi harus menjadi alat kedaulatan, bukan sumber kekhawatiran.
Negeri ini tidak boleh lagi menjadi korban dari harga minyak. Tapi untuk itu, negeri ini harus berani memilih jalan sulit. Jalan mandiri. Jalan berdaulat. Jalan yang memisahkan masa lalu dari masa depan.
Dan pagi itu, meskipun harga minyak tampak turun, semua orang tahu. Ekonomi belum bisa benar-benar tidur nyenyak.