Sawit

Ketika Harga Sawit Melambung

(Beritadaerah-Kolom) Matahari baru saja terbit ketika Sulaiman menyalakan mesin truk tuanya. Di desa kecil di Kalimantan Barat, rutinitas pagi petani sawit seperti dirinya sudah dimulai sejak fajar. Ia melihat ke ladang sawitnya yang luas, hamparan hijau yang telah menjadi sumber kehidupannya selama bertahun-tahun. Setiap hari, truk-truk pengangkut buah sawit berlalu lalang di jalanan tanah, mengangkut hasil panen menuju pabrik pengolahan. Bagi banyak warga desa, sawit bukan sekadar tanaman, melainkan penopang ekonomi keluarga mereka.

Harga tanda buah segar (TBS) sawit sedang tinggi. Sejak setahun terakhir, harga stabil di kisaran Rp 2.000 hingga Rp 3.000 per kilogram. Banyak warga desa kini mengganti kebun karetnya dengan sawit, berharap mendapat keuntungan lebih besar. Perekonomian desa tampak lebih hidup—warung-warung ramai dikunjungi, kendaraan baru semakin banyak terlihat di jalanan, dan pembangunan rumah-rumah baru mulai bermunculan.

Namun, meskipun para petani menikmati keuntungan, Sulaiman mulai mendengar kabar yang mengkhawatirkan. Harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) di pasar internasional telah melambung terlalu tinggi dibandingkan minyak nabati lain. Jika kondisi ini terus berlangsung, daya saing ekspor CPO Indonesia bisa terancam. Negara-negara yang biasa membeli dari Indonesia mungkin akan beralih ke minyak lain yang lebih murah. Jika itu terjadi, bukan tidak mungkin harga TBS akan anjlok dan kesejahteraan petani seperti Sulaiman akan kembali terancam.

sawit
Ilustrasi Perkebunan Kelapa Sawit (Foto: Kominfo)

Harga CPO di Bursa Malaysia tercatat sudah menyentuh 4.200 ringgit per ton, lebih tinggi dari minyak kedelai dan minyak bunga matahari. Data dari World Bank dan Oil World menunjukkan bahwa harga minyak nabati lain, seperti minyak kedelai dan minyak bunga matahari, mengalami fluktuasi yang lebih stabil. Negara-negara importir, seperti India dan Uni Eropa, mulai mencari alternatif yang lebih terjangkau dan berkelanjutan. Selain itu, minyak rapeseed yang banyak diproduksi di Eropa menjadi pesaing baru karena diklaim lebih ramah lingkungan.

Di beberapa negara Eropa, permintaan minyak sawit mulai menurun akibat kampanye anti-deforestasi dan peraturan ketat tentang keberlanjutan. Hal ini menjadi tantangan besar bagi Indonesia yang merupakan salah satu eksportir terbesar minyak sawit dunia. Tanpa adanya strategi perdagangan yang kuat, Indonesia bisa kehilangan pasar CPO.

Selain itu, permintaan minyak sawit dari negara-negara lain seperti Tiongkok dan Pakistan masih cukup stabil, tetapi adanya lonjakan harga berpotensi mengurangi volume pembelian mereka. Beberapa negara mulai mengembangkan produksi minyak nabati alternatif, seperti minyak kedelai dari Amerika Serikat dan Brasil, yang semakin meningkatkan persaingan di pasar global. Oleh karena itu, strategi diplomasi dan penetrasi pasar baru sangat diperlukan agar sawit Indonesia tetap kompetitif.

Ekspansi kebun sawit yang masif selama beberapa dekade terakhir telah menimbulkan dampak lingkungan yang signifikan. Deforestasi yang terjadi di berbagai wilayah, termasuk Sumatra dan Kalimantan, mengakibatkan hilangnya habitat satwa liar seperti orangutan dan harimau Sumatra. Selain itu, alih fungsi lahan yang tidak terkontrol dapat meningkatkan risiko bencana alam, seperti banjir dan kebakaran hutan.

Namun, pemerintah telah mulai mengambil langkah untuk memastikan keberlanjutan industri sawit. Salah satu upaya yang dilakukan adalah penerapan kebijakan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), yang mewajibkan perusahaan sawit untuk menerapkan praktik keberlanjutan. Selain itu, moratorium izin baru untuk perkebunan sawit di lahan hutan juga diberlakukan untuk mengurangi dampak deforestasi lebih lanjut. Keberlanjutan menjadi faktor penting untuk menjaga daya saing sawit Indonesia di pasar global.

Selain kebijakan ISPO, perusahaan-perusahaan besar mulai mengadopsi standar keberlanjutan global seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Beberapa perusahaan sawit di Indonesia juga mulai menerapkan teknologi pertanian cerdas untuk meningkatkan produktivitas tanpa harus memperluas lahan. Dengan teknologi ini, efisiensi produksi dapat ditingkatkan, penggunaan pupuk dan pestisida dapat dikurangi, serta dampak lingkungan dapat diminimalkan.

Untuk menjaga stabilitas harga dan daya saing ekspor, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis. Beberapa kebijakan yang dapat diterapkan dengan memperkuat hubungan dagang dengan negara-negara importir utama seperti India, Tiongkok, dan negara-negara di Timur Tengah untuk menjaga permintaan CPO tetap tinggi. Juga mendorong pengembangan industri hilir sawit agar Indonesia tidak hanya bergantung pada ekspor CPO mentah, melainkan juga produk turunannya seperti biodiesel, minyak goreng, dan oleokimia. Memberikan insentif bagi industri yang menggunakan minyak sawit berkelanjutan untuk meningkatkan daya saing di pasar global. Meningkatkan riset untuk menciptakan varietas sawit yang lebih produktif dan ramah lingkungan agar produksi tetap tinggi tanpa memperluas lahan secara masif. Mewajibkan perusahaan untuk memiliki sertifikasi keberlanjutan agar produk mereka lebih diterima di pasar global.

Suatu siang, di warung kopi desa, para petani berkumpul dan membicarakan kabar ini. “Kalau harga terus naik, bisa-bisa pembeli asing mulai mundur,” ujar Rahman, seorang petani yang lebih senior. “Kita memang senang harga tinggi, tapi kalau sampai negara lain cari minyak lain, kita yang rugi.”

Sulaiman mengangguk, ia tahu betapa pentingnya strategi perdagangan global agar sawit Indonesia tetap diminati. “Tapi kita bisa apa?” tanya seorang petani muda, Anton, yang baru beralih dari menanam lada ke sawit.

Rahman menghela napas. “Ya, ini bukan cuma urusan kita. Pemerintah juga harus turun tangan. Jangan sampai harga terlalu tinggi sampai orang malas beli. Kita butuh strategi agar sawit kita tetap laku di pasar dunia.”

Di sisi lain, industri hilir yang bergantung pada minyak sawit mulai merasakan dampak negatif. Pabrik-pabrik pengolahan makanan dan kosmetik menghadapi biaya bahan baku yang meningkat. Beberapa perusahaan mulai mempertimbangkan untuk mengurangi produksi atau mencari alternatif lain yang lebih murah. Jika harga terus naik tanpa kendali, industri dalam negeri bisa terpuruk, dan efeknya bisa kembali menghantam petani sawit seperti Sulaiman.

Dalam perjalanan pulang, Sulaiman merenung. Jika harga terlalu tinggi dan ekspor menurun, lalu bagaimana dengan para petani yang sudah telanjur menggantungkan hidup mereka pada sawit? Apakah mereka harus kembali beralih ke komoditas lain? Ia teringat bagaimana dulu orang-orang desanya menanam karet, sebelum akhirnya beralih ke sawit karena harga karet yang anjlok bertahun-tahun lalu. Jika hal yang sama terjadi pada sawit, apa yang akan mereka lakukan?

Di tengah kegelisahan ini, pemerintah dan para pelaku industri sawit perlu bertindak cepat agar sawit Indonesia tetap menjadi primadona di pasar global.