(Beritadaerah – Nasional) Komoditi perairan indonesia yakni emas hijau atau rumput laut menjadi andalan ekspor nasional. Untuk itu Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akan mengoptimalkan pemanfaatan rumput laut dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan hal ini rumput laut bisa diolah menjadi beragam produk bernilai tambah yang memiliki nilai ekonomis tinggi.
Pemanfaatan rumput laut ini sejalan dengan arahan dari Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Sakti Wahyu Trenggono beberapa waktu lalu, bahwa sejumlah program yang menjadi prioritas KKP pada 2023. Salah satunya adalah kebijakan pengembangan perikanan budidaya yang berorientasi ekspor seperti udang, lobster, kepiting, dan rumput laut
Secara garis besar, produk turunan rumput laut dapat dikelompokkan menjadi 5P, yakni Pangan, Pakan, Pupuk, Produk Kosmetik, dan Produk Farmasi. Hal ini disampaikan oleh Plt Ditjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) Ishartini.
“Sejumlah penelitian juga menyebutkan bahwa rumput laut dapat digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan bahan bakar atau biofuel, sehingga dapat menjadi salah satu alternatif solusi krisis energi yang banyak dikhawatirkan di masa datang,” kata Ishartini yang dikutip laman KKP, Minggu (9/10).
Ishartini mengungkapkan, Indonesia berpotensi besar sebagai pemain rumput laut dunia terlebih jika didukung oleh kebijakan yang holistik dari hulu – hilir. Secara volume ekspor Indonesia menempati peringkat 1 eksportir rumput laut dunia. Pada 2021, volume ekspor mencapai lebih dari 225 ribu ton atau lebih dari 30 persen terhadap total volume ekspor rumput laut dunia. Namun secara nilai, Indonesia menempati urutan kedua setelah RRT, dengan nilai mencapai USD 345 Juta atau setara dengan Rp 5 triliun (kurs Rp 14.500/USD).
Saat membuka webinar bertajuk “Diversifikasi dan Pengembangan Produk Rumput Laut”, beberapa waktu lalu, Ishartini menyebut ratusan jenis rumput laut dapat tumbuh dengan baik di wilayah Indonesia. Dikatakannya, masyarakat juga mulai mengembangkan produk turunan rumput laut seperti manisan, agar-agar, dodol, mie, minuman, stik sebagai produk pangan. Industri rumput laut juga mulai mengembangkan inovasi rumput laut dengan pemanfaatan di berbagai bidang seperti food, health, pharmaceuticals, sustainable materials, cosmetics, biostimulant, dan fertilizer.
Selain itu, penggunaan produk turunan rumput laut juga dikembangkan sebagai hydrocolloid seperti karaginan, agar, dan alginate, juga umum digunakan untuk bahan pembantu dalam pembuatan berbagai produk industri baik pangan (es krim, roti, susu, sosis, edible film pada buah-buahan, minuman instan, dsb) maupun nonpangan (cat, tekstil, farmasi, kosmetik, dan sebagainya).
Karenanya, Ishartini menegaskan integrasi hulu-hilir menjadi kunci optimalisasi “emas hijau” laut Indonesia. Terlebih saat ini, masih terdapat perbedaan antara data produksi rumput laut di bagian hulu dengan kebutuhan bahan baku di industri hilir, sehingga perlu dilakukan perbaikan kualitas pendataan disemua lini. Selain itu, kualitas bahan baku yang dihasilkan oleh pembudidaya masih banyak yang belum memenuhi standar/ spesifikasi untuk diolah.
Faktor lain yang juga penting ialah sinergi dan kerjasama dari berbagai pihak seperti akademisi, bisnis/pelaku usaha, komunitas, pemerintah, dan media atau yang dikenal dengan konsep pentahelix. Diseminasi dan sosialisasi berbagai produk rumput laut yang banyak dihasilkan dari penelitian perguruan tinggi, industri maupun lembaga lainnya perlu dilakukan sehingga dapat diaplikasikan secara komersial.
Ishartini berharap melalui webinar bertajuk “Diversifikasi dan Pengembangan Produk Rumput Laut” bisa menumbuhkan industri pengolahan rumput laut dalam negeri. Dengan begitu, Indonesia bisa meningkatkan ekspor produk rumput laut yang bernilai tambah.