(Beritadaerah-Kolom) Pagi itu, di sebuah dapur sederhana di Temanggung, aroma bawang goreng memenuhi udara. Lina, 39 tahun, sedang menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Nasi, tumis sayur, dan ayam goreng—menu yang dianggapnya sudah cukup mewah untuk hari Rabu. “Harga ayam naik sedikit, tapi anak-anak suka, jadi tetap beli,” ujarnya sambil mengaduk bumbu di wajan. Kalimat sederhana itu menyimpan kisah yang lebih besar: tentang perubahan perilaku konsumsi masyarakat Indonesia yang kini menjadi cermin kesejahteraan nasional.
Menurut laporan Ringkasan Eksekutif Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Indonesia Maret 2025 terbitan Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata pengeluaran per kapita penduduk Indonesia mencapai Rp1.569.088 per bulan, naik 4,57 persen dari tahun sebelumnya. Kenaikan ini menandakan bahwa, meski tekanan ekonomi global dan inflasi pangan masih terasa, daya beli masyarakat tetap tumbuh perlahan. Namun, angka-angka itu juga menunjukkan pergeseran besar: untuk pertama kalinya, pengeluaran bukan pangan melampaui separuh total pengeluaran rumah tangga.
Antara Makan dan Hidup
BPS mencatat, rata-rata pengeluaran untuk makanan mencapai Rp775.516 per kapita per bulan, sedangkan untuk bukan makanan Rp793.572. Pangsa pengeluaran pangan turun menjadi 49,42 persen dari total pengeluaran—tanda bahwa masyarakat semakin banyak mengalokasikan uangnya untuk perumahan, pendidikan, transportasi, kesehatan, dan konektivitas digital.
Fenomena ini sesuai dengan Hukum Engel: semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin kecil porsi pengeluaran yang digunakan untuk pangan. Namun di lapangan, maknanya tidak sesederhana teori ekonomi. Bagi banyak keluarga, keputusan membeli ayam ras atau menunda membeli minyak goreng bukan hanya soal preferensi, tapi strategi bertahan hidup di tengah harga yang terus naik.
Lina, yang suaminya bekerja sebagai sopir antarbarang, mengaku kini lebih sering membeli bahan makanan dalam jumlah kecil. “Dulu bisa belanja seminggu sekali di pasar, sekarang dua hari sekali karena uangnya dibagi-bagi dulu,” katanya. Dalam catatan BPS, kelompok minyak dan kelapa mengalami kenaikan harga paling tinggi, mencapai 13,5 persen dibanding tahun sebelumnya. Disusul umbi-umbian dan bahan minuman yang juga naik. Kenaikan ini menekan rumah tangga kecil, terutama di pedesaan yang pengeluarannya lebih banyak terserap oleh kebutuhan pangan.
Kota, Desa, dan Jurang di Antaranya
BPS membagi Indonesia dalam dua wajah besar, perkotaan dan perdesaan. Di kota, rata-rata pengeluaran per kapita mencapai Rp1.811.698 per bulan. Di desa, hanya Rp1.212.690. Perbedaan hampir enam ratus ribu rupiah itu mungkin tampak kecil di kertas statistik, tetapi di lapangan, ia menentukan banyak hal: dari jenis makanan di meja makan hingga kesempatan anak bersekolah.
Di kota, hanya 46,04 persen pengeluaran yang digunakan untuk pangan, sementara di desa mencapai 56,85 persen. Ini berarti warga kota lebih banyak menghabiskan uang untuk kebutuhan sekunder—perumahan, transportasi, komunikasi, dan gaya hidup. Sedangkan masyarakat desa masih berputar pada kebutuhan dasar: beras, minyak, telur, dan daging ayam.
Perbedaan ini sejalan dengan Hukum Working yang menyatakan bahwa semakin besar pangsa pengeluaran pangan, semakin rendah ketahanan pangan rumah tangga. Artinya, kesejahteraan warga desa masih lebih rentan dibanding warga kota.
Di rumah Lina, uang bulanan sekitar Rp2,5 juta untuk empat orang anggota keluarga terasa pas-pasan. Dari jumlah itu, lebih dari separuhnya habis untuk makan. “Kalau anak minta uang jajan lebih, harus kurangi lauk,” katanya sambil tersenyum pahit. BPS mencatat pola serupa di sebagian besar provinsi: rumah tangga pedesaan mengalokasikan lebih dari separuh pendapatannya untuk kebutuhan pangan, sementara di kota angkanya terus menurun setiap tahun.
Ayam Ras, Protein Rakyat
Tema khusus publikasi BPS 2025 adalah pengeluaran untuk daging ayam ras—komoditas yang disebut sebagai “protein rakyat.” Data menunjukkan, pengeluaran per kapita untuk ayam ras meningkat baik di kota maupun desa. Di kota besar, angka rata-rata bisa mencapai dua kali lipat dari desa, tetapi tren kenaikan berlangsung di seluruh wilayah.
Alasannya jelas, ayam ras adalah sumber protein hewani yang paling terjangkau. Di saat harga daging sapi bisa menembus Rp130.000 per kilogram, ayam potong masih bisa dibeli dengan Rp40.000–45.000 per kilogram. Selain itu, ayam ras tersedia di hampir semua pasar tradisional dan menjadi bagian dari menu utama rumah tangga Indonesia.
Hendra, peternak ayam di Blitar, menyebut tahun 2025 sebagai “tahun penuh tekanan.” Harga pakan melonjak, sementara harga jual ayam di pasaran tidak banyak berubah. “Kami tidak bisa menaikkan harga karena nanti pembeli kabur,” ujarnya. Dalam data BPS, kenaikan konsumsi ayam ras tetap terjadi, tetapi margin keuntungan peternak kecil cenderung menyempit.
Permintaan tinggi dan margin tipis adalah ironi klasik sektor pangan rakyat. Namun, bagi rumah tangga seperti Lina, keberadaan ayam ras di meja makan menjadi simbol kestabilan: masih ada protein di piring, meskipun hanya sepotong kecil.
Kalori dan Ketimpangan
Selain mencatat pengeluaran, BPS juga meneliti konsumsi kalori dan protein. Hasilnya menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi kalori penduduk Indonesia mendekati angka kecukupan gizi nasional. Tetapi perbedaannya besar antar kelompok pendapatan.
Kelompok kuintil bawah—20 persen penduduk dengan pengeluaran terendah—masih mengonsumsi kalori di bawah 80 persen dari kebutuhan gizi harian. Sebaliknya, kuintil atas mengonsumsi hingga 120 persen dari kebutuhan rata-rata. Ketimpangan ini bukan hanya soal makanan di meja, tetapi juga mencerminkan ketimpangan ekonomi dan kesempatan hidup.
Di rumah-rumah di perdesaan, makanan sederhana seperti singkong rebus, nasi jagung, atau sayur bening masih menjadi menu harian. Sementara di kota, makanan cepat saji dan layanan pesan antar menjadi kebiasaan baru. Dalam dua tahun terakhir, BPS mencatat kenaikan signifikan pada pengeluaran untuk “makanan siap saji dan minuman luar rumah,” terutama di kota besar.
Kecenderungan ini mengisyaratkan dua arah berbeda: satu kelompok masih berjuang memenuhi kebutuhan gizi dasar, sementara kelompok lain mulai mengejar kenyamanan dan gaya hidup.
Jejak Digital di Dompet Keluarga
Di sisi lain, perkembangan digital mengubah pola pengeluaran rumah tangga secara drastis. BPS mencatat, pengeluaran untuk komunikasi dan layanan digital naik lebih cepat dibanding kategori lain. Di perkotaan, masyarakat mengalokasikan sebagian penghasilannya untuk internet, langganan hiburan digital, dan layanan transportasi daring. Bahkan di desa, penggunaan aplikasi e-commerce meningkat pesat.
Andi, 26 tahun, pekerja lepas di Yogyakarta, mengaku kini membayar lebih banyak untuk kuota internet dibanding biaya makan siang. “Semua kerjaan, dari pesanan desain sampai kirim hasilnya, pakai online,” katanya. Bagi generasi muda, konektivitas menjadi kebutuhan dasar baru, sejajar dengan listrik dan air.
Digitalisasi ini membawa dua sisi. Di satu sisi, ia membuka peluang ekonomi baru, memperluas pasar, dan meningkatkan efisiensi. Tapi di sisi lain, ia menciptakan bentuk baru ketimpangan: mereka yang tak mampu membeli gawai atau paket data akan tertinggal dari arus ekonomi digital.
Mengukur Kesejahteraan Lewat Angka
Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, dalam kata pengantar laporan tersebut menulis bahwa data pengeluaran dan konsumsi rumah tangga menjadi fondasi penting perumusan kebijakan pembangunan. Melalui survei nasional yang melibatkan 345.000 rumah tangga di seluruh Indonesia, pemerintah dapat menilai kesejahteraan rakyat dari cara mereka mengeluarkan uang.
Dari sana, beberapa indikator muncul. Pertama, meningkatnya pengeluaran bukan pangan menunjukkan peningkatan taraf hidup, meski belum merata. Kedua, menurunnya pangsa pengeluaran pangan menandakan pergeseran prioritas masyarakat dari sekadar bertahan hidup menuju peningkatan kualitas hidup. Dan ketiga, ketimpangan antar wilayah dan kelompok sosial masih menjadi pekerjaan besar yang belum selesai.
BPS juga menegaskan pentingnya data Susenas untuk menilai ketahanan pangan nasional. Ketika pangsa pengeluaran pangan menurun di tingkat nasional, itu bukan berarti masyarakat makan lebih sedikit, tetapi proporsi pengeluaran lain tumbuh lebih cepat. Hal ini menjadi cerminan transformasi ekonomi menuju masyarakat yang lebih kompleks dan beragam dalam perilaku konsumsi.
Ketahanan Pangan di Tengah Perubahan
Ketahanan pangan masih menjadi isu utama. Meskipun rata-rata pengeluaran meningkat, sebagian besar rumah tangga tetap rentan terhadap fluktuasi harga. Setiap kenaikan kecil pada harga beras atau minyak goreng bisa mengguncang stabilitas ekonomi keluarga di kuintil bawah.
Di sisi lain, pemerintah berupaya menjaga daya beli melalui berbagai kebijakan stabilisasi harga dan bantuan sosial. Namun, efektivitasnya masih bergantung pada akurasi data lapangan yang dikumpulkan BPS. Laporan ini menjadi dasar bagi banyak program, mulai dari bantuan pangan hingga perencanaan ketahanan gizi nasional.
Dalam konteks ini, konsumsi ayam ras bukan sekadar urusan dapur. Ia adalah indikator tentang bagaimana masyarakat menyesuaikan diri terhadap perubahan ekonomi. Ketika harga naik dan daya beli terbatas, rumah tangga akan mencari sumber protein lain atau mengurangi frekuensi konsumsi. Setiap perubahan kecil di pasar ayam mencerminkan keseimbangan rapuh antara kebutuhan, harga, dan pendapatan.
Membaca Masa Depan dari Meja Makan
Data Maret 2025 menunjukkan tren yang perlahan bergeser. Konsumsi pangan semakin beragam, namun pola ketergantungan terhadap komoditas tertentu masih kuat. Ayam ras, beras, minyak goreng, dan telur tetap menjadi pilar utama dapur Indonesia. Di sisi lain, pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan meningkat, menandakan aspirasi masyarakat untuk hidup lebih baik.
Lina kini jarang membeli barang mewah. “Yang penting anak-anak sekolah dan makan cukup,” ujarnya sambil menatap panci nasi yang masih mengepul. Ucapan itu, mungkin tanpa ia sadari, selaras dengan semangat data BPS yang ingin ditunjukkan: kesejahteraan bukan hanya tentang jumlah uang, tetapi tentang kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan dasar tanpa rasa cemas.
Di kota, Andi menatap layar ponsel yang menampilkan saldo rekening digitalnya. Ia tahu betul setiap transaksi kecil—dari pesan kopi daring hingga bayar tagihan internet—adalah bagian dari pergerakan ekonomi nasional. “Kita ini data berjalan,” katanya sambil tertawa. “Setiap klik, setiap belanja, semua masuk hitungan.”
Manusia di Balik Statistik
Laporan BPS 2025 menampilkan angka-angka yang tampak dingin: rata-rata pengeluaran Rp1,5 juta per kapita, pangsa pangan 49,42 persen, kenaikan pengeluaran bukan pangan 5,98 persen. Namun, di balik statistik itu ada kehidupan yang nyata—tentang ibu rumah tangga yang menakar minyak goreng agar cukup seminggu, peternak ayam yang menghitung ongkos pakan, dan generasi muda yang menggantung penghasilannya pada jaringan internet.
Jika angka-angka itu dibaca dengan hati-hati, ia bukan sekadar data, melainkan potret manusia Indonesia yang sedang berubah dari masyarakat konsumtif menjadi masyarakat yang menata prioritas; dari rumah tangga agraris menuju ekonomi digital; Konsumsi dari kebutuhan dasar menuju aspirasi hidup yang lebih luas.
Mungkin, di balik rata-rata Rp1,569 juta itu, tersembunyi harapan kecil di setiap dapur: agar setiap keluarga Indonesia bisa makan cukup, belajar cukup, dan hidup tanpa harus menghitung setiap rupiah dengan rasa cemas. Sebab kesejahteraan, pada akhirnya, bukan sekadar hasil survei, melainkan kisah panjang tentang bagaimana bangsa ini belajar bertahan dan tumbuh bersama perubahan zaman.


