(Beritadaerah-Kolom) Pagi di Desa Wonosari, sebuah wilayah kecil di lereng Gunung Lawu, dimulai dengan aroma tanah basah dan suara ayam berkokok. Di bawah langit yang mulai memerah, Siti Rahma menyiapkan sarapan untuk kedua anaknya sebelum berangkat ke sekolah dasar. Dapur mungilnya diterangi oleh lampu listrik yang bersumber dari jaringan PLN, sebuah kemewahan yang kini sudah menjadi bagian hampir semua rumah tangga di Indonesia. Menurut data Statistik Kesejahteraan Rakyat 2025, 99,55 persen rumah tangga di negeri ini telah menikmati penerangan listrik, angka yang menunjukkan betapa luasnya jangkauan pembangunan infrastruktur dasar dalam satu dekade terakhir.
Namun, di balik angka itu, Siti masih menggunakan kayu bakar untuk memasak. Di daerah perdesaan seperti tempat ia tinggal, LPG belum sepenuhnya menggantikan bahan bakar tradisional. “Gas kadang sulit, harganya juga naik-turun,” katanya pelan. Statistik menunjukkan bahwa meski kota-kota besar telah beralih ke bahan bakar bersih, di pedesaan masih banyak yang bergantung pada kayu dan arang. Angka 2025 menggambarkan realitas ganda, kemajuan yang nyata, tetapi belum merata.
Di sisi lain negeri, di sebuah rumah sederhana di Kupang, Nusa Tenggara Timur, suara tawa anak-anak bergema dari halaman sekolah dasar. Kepala sekolahnya, Pak Jefri, bercerita dengan mata berbinar tentang kemajuan pendidikan. “Sekarang hampir semua anak punya akta kelahiran,” katanya. “Mereka tidak lagi kesulitan mendaftar sekolah.”
BPS mencatat bahwa 93,95 persen anak berusia 0–17 tahun telah memiliki akta kelahiran, meningkat tajam dari 88 persen empat tahun sebelumnya. Angka itu tampak seperti deret statistik sederhana, tetapi bagi Pak Jefri, itu berarti sesuatu yang lebih dalam, setiap anak kini memiliki identitas hukum, memiliki pintu menuju pendidikan dan pelayanan sosial.
Namun di sekolahnya, buku masih terbatas, dan jaringan internet sering terputus. Persentase rumah tangga yang memiliki komputer atau laptop di Indonesia memang meningkat menjadi 19,94 persen pada 2025, tetapi akses digital di daerah terpencil masih menjadi tantangan. “Kalau listrik sudah ada, internet tinggal mimpi,” gurau Pak Jefri sambil menunjuk atap seng yang memantulkan panas.
Di Jakarta, kontras kehidupan terlihat paling tajam. Di apartemen sempit kawasan Kalibata, Andi, pekerja paruh waktu berusia 28 tahun, membuka ponsel untuk memeriksa saldo e-wallet-nya. Ia tidak punya tabungan besar, tapi merasa “terhubung” dengan ekonomi digital. Menurut data BPS, 33,04 persen rumah tangga Indonesia telah memiliki uang elektronik dalam setahun terakhir, menandakan perubahan gaya hidup di tengah arus ekonomi tanpa uang tunai.
Andi mewakili generasi baru kelas pekerja yang menggantungkan hidup pada teknologi. Ia belajar mandiri dari video daring, memesan makanan lewat aplikasi, dan membayar cicilan motor lewat ponsel. Namun, di balik kemudahan itu, ia sadar bahwa hidupnya rapuh, upah harian tidak selalu cukup menutupi kebutuhan dasar. “Kalau ada sakit sedikit saja, bisa kacau,” katanya.
Untunglah kini lebih banyak orang dilindungi jaminan kesehatan. BPS mencatat 78,04 persen penduduk telah memiliki jaminan kesehatan, naik signifikan dari 68 persen empat tahun lalu. Sistem BPJS, dengan segala kekurangannya, tetap menjadi penyelamat bagi banyak keluarga seperti Andi yang hidup di ambang keseimbangan antara aman dan genting.
Perjalanan kesejahteraan Indonesia di tahun 2025 bukan hanya cerita urban atau rural, tetapi tentang perubahan struktur kehidupan masyarakat. Di desa nelayan di pesisir Sulawesi Selatan, Rahman, seorang ayah empat anak, baru saja mengganti atap rumahnya dari daun rumbia menjadi genteng. Ia tersenyum bangga, “Sekarang tidak bocor lagi kalau hujan.”
Bagi BPS, hal ini tercatat dalam angka 54,24 persen rumah tangga memiliki atap genteng sebagai bahan bangunan utama, sedangkan dinding tembok mencapai 82,46 persen. Namun bagi Rahman, itu berarti kehormatan, rumah yang kokoh, simbol kerja keras dan keberlanjutan.
Kesejahteraan tidak hanya diukur dari angka pendapatan, tetapi dari rasa aman, dari kemampuan menahan hujan tanpa takut basah. Rahman kini juga memiliki fasilitas buang air besar sendiri, sesuatu yang mungkin tampak remeh bagi kota, tapi menjadi simbol kemajuan bagi pedesaan. Pada 2025, 90,36 persen rumah tangga memiliki fasilitas buang air besar sendiri, sementara 97,33 persen telah menggunakan kloset leher angsa, peningkatan nyata dari awal dekade.
Di ruang tamu rumahnya di Medan, seorang nenek bernama Boru Simanjuntak menatap foto suaminya yang telah tiada. Ia adalah bagian dari statistik cerai mati, angka yang tak banyak dibaca orang, tapi mencerminkan usia dan dinamika sosial yang terus berubah. Ia kini hidup bersama anak perempuannya, dan sering menonton acara keagamaan di televisi. “Hidup sudah jauh lebih baik,” katanya, “tapi anak-anak sekarang sibuk semua, jarang kumpul.”
Kesejahteraan material memang meningkat, tapi kesejahteraan sosial masih mencari bentuknya. Dalam Statistik Kesejahteraan Rakyat 2025, indikator pendidikan, kesehatan, dan perumahan menunjukkan tren positif, namun ada sinyal halus tentang jarak emosional yang tumbuh dalam keluarga modern.
Di bagian lain Pulau Jawa, di Cirebon, Sulaeman, seorang buruh pabrik, mengisap rokok sambil menatap jalanan sore yang lengang. Ia tahu angka kemiskinan menurun, tapi harga pangan dan biaya sekolah anak terus naik. Menurut Susenas, persentase penduduk yang memiliki jaminan sosial meningkat, tetapi jaminan kehilangan pekerjaan masih belum banyak dikenal. “Kalau pabrik tutup, nasib kami ya nasib sendiri,” katanya datar.
Namun, Sulaeman masih punya kebanggaan, kedua anaknya bisa sekolah menengah. Statistik mencatat bahwa hanya 5,17 persen penduduk Indonesia yang belum pernah sekolah, angka terendah dalam sejarah. Sebuah capaian besar yang sering tenggelam di antara berita politik dan hiburan. Ia tidak tahu angka itu, tapi ia tahu rasanya melihat anaknya mengenakan seragam SMA.
Malam hari di Jayapura, cahaya dari ribuan rumah berpendar di lereng bukit. Papua kini bukan lagi wilayah yang gelap dalam peta pembangunan. Angka-angka dalam Statistik Kesejahteraan Rakyat 2025 menunjukkan kemajuan signifikan dalam kepemilikan fasilitas dasar dan peningkatan pendidikan. Namun, kesenjangan masih terasa.
Di rumah panggung kecil, Maria, guru SD, menulis laporan murid dengan lampu meja tenaga surya. “Kami punya listrik, tapi sering padam,” katanya sambil tertawa kecil. Ia mengajar anak-anak yang sebagian besar kini memiliki akta kelahiran, sesuatu yang dulu sulit dicapai karena jarak dan administrasi. Baginya, kesejahteraan bukan soal angka nasional, tapi tentang satu anak yang tidak perlu lagi ditolak di sekolah hanya karena tak punya dokumen.
Jika kita melihat seluruh data dari BPS, tren kesejahteraan rakyat 2021 sampai 2025 menunjukkan konsistensi pertumbuhan positif di hampir semua sektor. Anak-anak lebih terlindungi secara hukum. Pendidikan makin merata. Akses kesehatan meningkat. Kondisi rumah lebih layak. Teknologi mulai menembus pedesaan.
Namun, di balik deret angka itu, masih ada cerita-cerita kecil yang belum sempurna. Misalnya, hanya 0,61 persen rumah tangga yang masih memiliki telepon rumah, menunjukkan pergeseran total ke dunia digital. Di satu sisi, itu simbol modernitas, tapi di sisi lain, memperlihatkan betapa cepatnya perubahan sosial yang bisa meninggalkan generasi tua di belakang.
BPS juga mencatat 23,90 persen rumah tangga menerima kredit, sebuah tanda bahwa masyarakat mulai berani mengakses pembiayaan formal, baik untuk usaha kecil maupun kebutuhan rumah tangga. Tapi bagi sebagian keluarga, kredit berarti utang yang berat, bukan kesempatan. “Kalau tidak pinjam, usaha warung tak bisa jalan,” kata Sari, pedagang kelontong di Banyuwangi. “Tapi tiap bulan deg-degan mikirin cicilan.”
Sari adalah bagian dari statistik kredit rumah tangga, tapi juga simbol dari ketegangan antara harapan dan kenyataan ekonomi mikro Indonesia.
Menariknya, Statistik Kesejahteraan Rakyat 2025 juga merekam sisi sosial yang jarang disorot, hanya 0,73 persen penduduk menjadi korban kejahatan pada tahun itu, menandakan meningkatnya rasa aman. Namun angka kecil itu menyimpan kisah besar, tentang bagaimana pembangunan sosial, infrastruktur, dan digitalisasi menciptakan lingkungan yang lebih terhubung dan terpantau.
Sementara itu, di dunia pendidikan, peningkatan angka melek huruf dan partisipasi prasekolah menunjukkan keberlanjutan. Di kota besar, anak-anak kini terbiasa belajar dari layar, sementara di pelosok, guru-guru masih menulis di papan kayu. Tapi semangatnya sama, membuka jalan keluar dari kemiskinan lewat ilmu.
Ketika menelusuri semua data itu, terasa bahwa Indonesia tahun 2025 adalah negeri yang sedang menata napasnya, sebuah bangsa yang tumbuh tapi belum sampai. Ada perasaan kolektif di antara rakyatnya bahwa kesejahteraan bukanlah garis lurus, melainkan jalan panjang dengan tikungan tajam.
Dari Aceh hingga Merauke, cerita rakyat berpadu dengan statistik. Di Aceh, angka pernikahan sah meningkat, menandakan tertib administrasi keluarga. Di Jawa Timur, rumah-rumah makin kokoh dan sanitasi membaik. Di Kalimantan, akses air bersih meningkat. Di Nusa Tenggara, pendidikan prasekolah tumbuh pesat. Dan di Papua, cahaya listrik kini menyalakan harapan di malam-malam yang dulu gelap.
Di akhir hari, statistik bukan sekadar angka. Ia adalah potret senyap dari wajah rakyat, cerminan dari kehidupan yang berjuang di antara kesulitan dan harapan. Siti Rahma yang menanak nasi dengan kayu bakar, Pak Jefri yang mencatat kehadiran murid di sekolah beratap seng, Andi yang menghitung saldo digitalnya sambil menunggu pesanan makanan, semuanya adalah bagian dari Statistik Kesejahteraan Rakyat 2025.
Mereka bukan hanya objek survei, tapi subjek dari cerita besar bernama Indonesia, negeri yang belajar dari data, tumbuh dari kebersamaan, dan melangkah menuju kesejahteraan yang tidak lagi sekadar angka di kertas, tetapi kenyataan di hidup setiap warganya.