(Beritadaerah-Jakarta) Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, mengingatkan publik agar menanggapi secara arif data kemiskinan Indonesia yang dilansir oleh Bank Dunia.
Dalam pernyataan pers yang disampaikan di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (30/4/2025), Amalia menjelaskan bahwa angka 60,3 persen yang disebut oleh Bank Dunia tidak sejalan langsung dengan metode penghitungan kemiskinan nasional karena memakai pendekatan dan parameter yang berlainan.
“Kita perlu melihat data Bank Dunia tentang kemiskinan sebesar 60,3 persen ini dengan sudut pandang yang lebih proporsional,” ujar Amalia dalam keterangan resmi BPMI Setpres yang diterima InfoPublik pada Jumat (2/5/2025).
Ia memaparkan bahwa angka tersebut berasal dari standar kemiskinan global kategori upper middle income menurut Bank Dunia, yaitu sebesar US$6,85 per kapita per hari berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP) dengan tahun acuan 2017. Karena itu, angka tersebut tidak bisa serta-merta dikonversikan menggunakan kurs saat ini.
“Nilai tukar yang digunakan adalah PPP tahun dasar 2017. Jadi, kita tak bisa menyamakannya begitu saja dengan nilai tukar rupiah saat ini,” tambahnya.
Amalia menambahkan, Bank Dunia pun tidak mengharuskan negara-negara menerapkan garis kemiskinan global tersebut. Sebaliknya, negara dianjurkan menyusun garis kemiskinan nasional yang merefleksikan realitas ekonomi dan sosial masing-masing.
“Garis kemiskinan global dari Bank Dunia bukanlah aturan mutlak. Setiap negara perlu menetapkan batas kemiskinannya sendiri berdasarkan konteks dan karakteristik nasional,” jelas Amalia.
Di Indonesia, metode penghitungan angka kemiskinan didasarkan pada garis kemiskinan yang disesuaikan dengan kondisi di setiap provinsi, karena tingkat kebutuhan dan biaya hidup antardaerah berbeda-beda.
“Standar hidup di DKI Jakarta jelas tidak sama dengan di Papua Selatan. Oleh karena itu, setiap daerah memiliki batas kemiskinan masing-masing,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Amalia menegaskan bahwa data dari Bank Dunia sebaiknya dipandang sebagai informasi pelengkap, bukan sebagai dasar utama dalam menyusun kebijakan nasional.
“Jadi mari kita menyikapi angka kemiskinan versi Bank Dunia ini secara bijak—sebagai bahan pertimbangan tambahan, bukan satu-satunya patokan dalam membuat kebijakan,” tandas Amalia.