(Beritadaerah – Kolom) Delapan puluh tahun sudah Indonesia berdiri di atas kakinya sendiri. Seperti manusia yang telah menua, negeri ini telah melewati masa kanak-kanak yang penuh perjuangan, masa remaja yang penuh gejolak, hingga masa dewasa yang sarat tantangan. Kini, di usia yang matang, Indonesia menatap masa depan dengan harapan besar, meski masih ada pekerjaan rumah yang menanti.
Bayangkanlah sebuah desa kecil di Jawa pada tahun 1950-an. Anak-anak berlarian tanpa alas kaki, sawah luas terbentang, dan sekolah hanya berupa bangunan kayu sederhana. Saat itu, harapan hidup orang Indonesia hanya 40-an tahun, dan pendidikan rata-rata tak lebih dari sekolah dasar. Bandingkan dengan hari ini, di mana angka harapan hidup mencapai 74,15 tahun pada 2024. Anak-anak Indonesia rata-rata mengenyam 9,22 tahun pendidikan, dengan harapan lama sekolah mencapai 13,21 tahun. Jarak antar-generasi seakan dipangkas oleh kerja keras panjang bangsa ini.
Namun, angka-angka tak selalu bercerita tentang keberhasilan penuh. Pada Maret 2025, tingkat kemiskinan tercatat 8,47 persen, setara 23,85 juta orang. Jumlah itu jauh berkurang dibanding awal 2000-an ketika lebih dari 39 juta orang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Tetapi setiap persen masih berarti jutaan keluarga yang harus berhitung cermat setiap hari, memutuskan apakah uang mereka cukup untuk membeli beras atau membayar sekolah anak. Di satu sisi, pertumbuhan ekonomi sebesar 4,99 persen pada semester pertama 2025 membuat PDB Indonesia mencapai Rp11.612,9 triliun. Di sisi lain, ada jurang nyata antara angka makroekonomi dan kenyataan dapur masyarakat miskin.
Di kota besar, kita menyaksikan gedung pencakar langit baru setiap tahun. Industri pengolahan, perdagangan, pertanian, konstruksi, dan pertambangan menjadi penyumbang utama perekonomian. Inflasi pun relatif terkendali, 1,87 persen pada Juni 2025, berada dalam target pemerintah. Namun di kampung terpencil di Papua, seorang ibu masih harus berjalan jauh mengambil air bersih. Data 2024 menunjukkan hanya 65,25 persen rumah tangga Indonesia yang memiliki hunian layak, dan akses sanitasi aman baru dinikmati 10,25 persen keluarga. Di Yogyakarta, 86,68 persen rumah tangga tinggal di hunian layak, sementara di Papua Pegunungan hanya 4,44 persen.
Cerita lain muncul dari pasar tenaga kerja. Pada Februari 2025, ada 145,77 juta penduduk bekerja. Tetapi hanya 40,60 persen yang masuk kategori formal; sisanya adalah pekerja informal—pedagang kaki lima, pengemudi ojek daring, buruh lepas. Tingkat pengangguran terbuka – kondisi seseorang dalam angkatan kerja yang tidak memiliki pekerjaan dan sedang aktif mencari pekerjaan, atau yang sudah memiliki pekerjaan tetapi belum mulai bekerja – tercatat 4,76 persen, membaik dari tahun sebelumnya. Namun, di kelompok usia muda 15–24 tahun, angka pengangguran mencapai 16,16 persen. Hampir satu dari enam anak muda tidak memiliki pekerjaan, padahal merekalah yang seharusnya menjadi energi baru bangsa. Upah buruh rata-rata memang naik menjadi Rp3,09 juta pada Februari 2025, tetapi kenaikan ini tidak selalu mengimbangi kebutuhan hidup yang terus meningkat di kota besar.
Kesehatan juga menunjukkan wajah ganda. Di satu sisi, angka kematian ibu menurun dari 346 per 100.000 kelahiran hidup pada 2010 menjadi 189 per 100.000 pada 2020. Lebih dari 97 persen persalinan kini ditolong tenaga kesehatan. Prevalensi stunting pada balita turun drastis, dari 37,2 persen pada 2013 menjadi 19,8 persen pada 2024, berada di bawah ambang batas WHO. Tetapi, meski angka membaik, masih ada jutaan anak dengan tubuh kerdil akibat kurang gizi. Bagi keluarga menengah ke atas di kota, susu formula dan vitamin mudah diakses. Namun bagi keluarga miskin, tiga kali makan sehari saja sering menjadi perjuangan.
Dari sisi pemerintahan, negeri ini pun mengalami transformasi. Jumlah provinsi bertambah dari 7 pada awal kemerdekaan menjadi 38 pada 2025. Kabupaten dan kota bertambah ratusan, mencerminkan desentralisasi yang memberi warna baru pada demokrasi. Indeks Demokrasi Indonesia pada 2024 mencapai 79,81, naik tipis dari tahun sebelumnya. Kapasitas lembaga demokrasi menguat, meski aspek kebebasan sipil dan kesetaraan masih menurun. Sementara itu, Indeks Pembangunan Manusia mencapai 75,02 pada 2024, menandai peningkatan kualitas hidup, meski kesenjangan antardaerah tetap tajam.
Ketimpangan menjadi bayangan yang selalu mengikuti kemajuan. Gini ratio pada Maret 2025 berada di angka 0,375, turun dibanding dekade sebelumnya, tapi tetap menunjukkan jurang yang lebar. Di pusat kota, mal mewah menjual barang impor seharga puluhan juta rupiah. Tak jauh dari sana, keluarga miskin berjuang bertahan dengan seratus ribu rupiah seminggu. Indeks ketimpangan gender pun, meski membaik menjadi 0,421, masih menunjukkan perempuan seringkali tertinggal dalam akses pendidikan dan pekerjaan.
Namun, tidak semua cerita bernada muram. Konektivitas tumbuh pesat, jalan tol Trans Jawa dan Trans Sumatera merentang ribuan kilometer, MRT dan LRT mengubah wajah transportasi kota, kereta cepat mempercepat jarak antarwilayah. Infrastruktur digital pun meluas, memberi peluang baru bagi anak muda untuk menciptakan usaha berbasis teknologi. Dengan segala capaian itu, negeri ini berlari menuju cita-cita Indonesia Emas 2045.
Delapan dekade merdeka akhirnya bukan hanya soal waktu, tetapi soal bagaimana bangsa ini belajar dari masa lalu dan menatap masa depan. Angka-angka yang tercatat sepanjang perjalanan hanyalah penanda. Di balik 4,99 persen pertumbuhan ekonomi ada kerja keras jutaan buruh. Di balik 8,47 persen kemiskinan ada wajah-wajah keluarga yang berjuang. Di balik 74,15 tahun harapan hidup ada kakek-nenek yang kini bisa bermain dengan cucunya. Dan di balik 145 juta penduduk bekerja, ada cerita tentang harapan dan kegelisahan generasi muda.
Indonesia hari ini ibarat manusia berusia delapan puluh tahun. Tidak lagi muda, tapi belum renta. Telah banyak capaian, namun masih banyak luka. Dari angka-angka itu, kita belajar bahwa kemerdekaan sejati bukan sekadar upacara tahunan, melainkan upaya terus-menerus memastikan janji kemerdekaan sampai ke setiap rumah, dari Sabang hingga Merauke.


