(Beritadaerah-Kolom) Kisah angka ekonomi Agustus 2025 BPS menceritakan kehidupan manusia Indonesia. Di meja kayu sederhana di sebuah rumah di Deli Serdang, Mirna menyalakan radio butut yang masih setia menyiarkan kabar pagi. Suara penyiar menyebutkan bahwa inflasi di kabupatennya tercatat 5,79 persen—tertinggi di Indonesia. Mirna menoleh pada keranjang belanja kemarin, bawang merah, cabai merah, dan sedikit ikan segar. Ia tersenyum getir. “Tidak perlu mendengar angka pun, aku sudah tahu. Harga bawang merah saja naik terus,” katanya. BPS mencatat bawang merah memang menjadi penyumbang inflasi nasional, memberikan andil 0,31 persen.
Di Kota Bandar Lampung, suasana berbeda. Farhan, pemilik warung makan di pinggir jalan, membaca berita inflasi di kotanya hanya 0,19 persen, terendah secara nasional. Namun ia tetap mengernyit saat menghitung pengeluaran. Harga ayam ras memang relatif stabil di sekitar Rp36.036 per kilogram, bahkan turun tipis dibanding tahun lalu, tapi biaya sewa kios dan listrik tidak ikut turun. “Angka boleh rendah, tapi kantong saya tetap menipis,” keluhnya pada pelanggan tetap yang menepuk bahunya sambil tersenyum maklum.
Sementara itu di Jakarta, Dina, seorang analis muda di kementerian, baru saja menyusun ringkasan untuk atasannya. Ia menatap layar besar penuh grafik, inflasi nasional year-on-year 2,31 persen, inflasi year-to-date 1,60 persen, dan month-to-month justru deflasi kecil 0,08 persen. Angka itu seolah menenangkan, tapi Dina tahu di baliknya ada riak yang tak bisa diabaikan. Harga cabai rawit turun tajam 20,42 persen dibanding Juli, beras naik 2,32 persen di penggilingan, dan gula pasir justru menyusut tipis 0,44 persen. “Statistik ini ibarat peta cuaca, memberi arah tapi tak bisa sepenuhnya menjelaskan badai kecil di dapur masyarakat,” gumamnya.
Ekspor, Impor, dan Pabrik Sawit
Di Riau, Joni baru saja pulang dari pabrik pengolahan kelapa sawit. Ia mendengar kabar ekspor Indonesia pada Juli 2025 mencapai US$24,75 miliar, naik hampir 10 persen dari tahun sebelumnya. Lebih dari itu, ekspor lemak dan minyak nabati naik 37,76 persen, menambah pemasukan devisa negara. Joni tak paham detail angka-angka itu, tapi ia tahu upah lemburnya bertambah. “Kalau ekspor naik, kami pekerja juga dapat imbasnya,” ujarnya. Namun di sudut hati, ia khawatir. “Kalau nanti harga global turun, apa pabrik masih ramai begini?”
Di Surabaya, Lia seorang importir bahan baku industri kecil, menatap resi impor yang makin mahal. Laporan BPS menyebut nilai impor Juli 2025 mencapai US$20,57 miliar, turun 5,86 persen dibanding Juli 2024. Namun impor barang modal justru melonjak 20,56 persen. Bagi Lia, kenaikan itu berarti harga mesin kecil yang ia pesan dari Tiongkok ikut naik. “Katanya impor turun, tapi untuk barang yang saya butuhkan malah makin mahal,” katanya sambil menghela napas panjang. Data BPS memang menunjukkan golongan mesin/perlengkapan elektrik naik 10,04 persen, sementara serealia turun lebih dari 50 persen. Angka-angka itu terasa abstrak, namun bagi Lia, mereka berarti dilema antara membeli mesin baru atau menunda produksi.
NTP, Nelayan, dan Harga Ikan
Sementara itu, Karim, nelayan di Sulawesi, mendengar kabar NTP nasional pada Agustus 2025 naik menjadi 123,57. Sub-sektor perikanan naik 0,78 persen. Ia tersenyum tipis saat menjual hasil tangkapannya sedikit lebih mahal. “Katanya kalau NTP naik, berarti hidup petani dan nelayan lebih baik,” ujarnya sambil menatap laut. Namun ia sadar, kenaikan kecil itu belum cukup untuk menutup biaya solar perahu yang juga merangkak naik. Statistik, baginya, hanyalah kabar samar yang kadang sejalan, kadang bertolak belakang dengan isi dompetnya.
Panen Padi, Jagung, dan Guru Desa
Di pedesaan Jawa, Siti, seorang guru honorer, mendengar produksi padi nasional pada Juli 2025 diperkirakan 4,81 juta ton gabah kering giling, naik 35,11 persen dari tahun lalu. Jika dikonversi, beras untuk konsumsi mencapai 2,77 juta ton. Ia membayangkan sawah-sawah yang hijau, penuh gabah menguning. Namun di warung dekat rumah, harga beras tetap Rp15.393 per kilogram. “Panen melimpah, tapi harga di sini tak ikut turun,” katanya lirih. Baginya, data produksi nasional seperti janji yang belum sampai ke meja makan murid-muridnya.
Jagung pun memberi cerita lain. Pada Juli 2025, produksi jagung kering kadar air 14 persen mencapai 1,46 juta ton, naik 7,46 persen dari tahun sebelumnya. Bagi Pak Budi, peternak ayam di Jawa Tengah, angka itu menjanjikan. Harga pakan bisa sedikit lebih stabil. Namun ia tetap harus membayar lebih mahal listrik untuk kandang ayamnya. “Kalau jagung banyak, biaya pakan turun, tapi masih ada yang lain yang naik,” ujarnya sambil menimbang-nimbang keputusannya untuk menambah populasi ternak.
Harga Beras di Penggilingan
Di Indramayu, Rini, seorang pedagang beras, melihat langsung bagaimana harga beras premium di penggilingan naik 2,32 persen pada Agustus 2025 hingga mencapai Rp13.838 per kilogram. Ia tahu berita ini karena setiap minggu ia membeli stok dari penggilingan lokal. “Kalau harga di sini naik, otomatis di pasar juga ikut naik. Konsumen marah, tapi kami pedagang juga tak bisa apa-apa,” ujarnya. Rini sering merasa jadi pihak yang terhimpit: di satu sisi ditekan harga dari penggilingan, di sisi lain dimarahi pembeli yang tak mampu membayar lebih mahal.
Pekerja Konstruksi dan Indeks Perdagangan Besar
Di proyek pembangunan apartemen di Jakarta Timur, Slamet, seorang pekerja konstruksi, mengelap keringatnya. Ia mendengar dari mandor bahwa harga bahan bangunan seperti semen dan baja naik sedikit, sejalan dengan kenaikan Indeks Harga Perdagangan Besar sektor konstruksi sebesar 1,01 persen year-on-year. “Bagi kami pekerja, yang penting gaji jalan. Tapi kalau harga bahan naik, sering proyek dipangkas, lembur juga dikurangi,” ujarnya. Ia tidak paham arti indeks, tetapi ia tahu setiap angka di baliknya berimbas pada jumlah jam kerja dan isi amplop gajinya.
Pariwisata dan Hotel Nonbintang
Pariwisata pun kembali berdenyut. Juli 2025, kunjungan wisatawan mancanegara mencapai 1,48 juta, naik 13 persen dari tahun lalu. Adi, pemandu wisata di Bali, menyambut turis asal Australia dengan ramah. Ia senang, pekerjaannya kembali sibuk. Namun ia tahu, tingkat penghunian kamar hotel berbintang masih 52,79 persen, turun dibanding tahun lalu.
Sementara di Yogyakarta, Sari yang bekerja di hotel nonbintang mengeluh. Tingkat hunian kamar di hotel tempatnya bekerja hanya 26,60 persen. “Kadang satu lantai hanya ada dua kamar terisi. Gaji kami jadi tak penuh,” katanya. Bagi Sari, statistik pariwisata yang menunjukkan lonjakan kunjungan wisatawan terasa ironis: turis ramai, tapi tidak semua segmen hotel kebagian rezeki.
Transportasi dan Sopir Truk
Transportasi pun menyimpan kisah lain. Juli 2025, penumpang pesawat domestik mencapai 5,5 juta orang, naik lebih dari 9 persen dibanding Juni. Yudi, seorang kondektur kereta, mengeluh lelah tapi bahagia. “Kereta selalu penuh. Data BPS bilang penumpang kereta naik 9,85 persen. Saya tidak perlu baca laporan, saya sudah tahu dari kaki yang tak pernah berhenti melangkah di peron,” ujarnya sambil tertawa.
Sementara itu, Andi, sopir truk logistik di Jawa Barat, merasakan naik-turunnya arus barang. Laporan mencatat barang angkutan udara domestik turun 5,54 persen di Juli, tapi barang angkutan laut naik 4,94 persen dan kereta api 4,63 persen. Andi merasakan dampaknya: beberapa kontrak pengiriman darat berkurang, sementara pelabuhan Tanjung Priok lebih ramai dari biasanya. “Data itu benar adanya. Jalan darat kadang sepi, tapi pelabuhan justru sibuk,” ujarnya.
Ketimpangan dan Kemiskinan
Namun tidak semua cerita berujung optimisme. Kemiskinan masih membayang. Maret 2025, penduduk miskin tercatat 23,85 juta orang atau 8,47 persen dari populasi. Memang turun dibanding tahun sebelumnya, tapi bagi Siti di desa Jawa, angka itu tetap berarti ada anak-anak yang datang ke sekolah tanpa sarapan. Gini Ratio turun menjadi 0,375, tanda ketimpangan membaik, namun ketidaksetaraan tetap nyata. “Angka bisa turun, tapi saya masih melihat perut lapar di kelas,” bisiknya.
Di kota besar, Raka, seorang sopir ojek daring, merasakan hal serupa. Ia mendengar ketimpangan di perkotaan menurun, Gini Ratio 0,395, lebih baik dibanding 0,402 tahun lalu. Namun ia tetap harus bekerja 12 jam sehari untuk mengejar penghasilan yang pas-pasan. “Kalau ketimpangan katanya turun, mungkin saya seharusnya sudah lebih sejahtera. Tapi dompet saya bilang lain,” katanya dengan senyum lelah.
Refleksi
Di semua sudut negeri, angka-angka dari BPS menari di atas kertas, inflasi 2,31 persen, ekspor US$160,16 miliar sepanjang Januari–Juli, impor turun 5,86 persen di Juli, NTP naik 0,76 persen, produksi padi 4,81 juta ton, produksi jagung 1,46 juta ton, wisatawan mancanegara 1,48 juta, kemiskinan 8,47 persen. Namun angka itu bukan sekadar statistik. Ia adalah cerita Mirna yang menghitung uang belanja, Farhan yang mengelola warung, Dina yang menyusun laporan, Joni yang lembur di pabrik sawit, Lia yang menimbang mesin impor, Karim yang menatap laut, Siti yang memandang murid lapar, Rini yang berhadapan dengan harga beras, Slamet yang bekerja di proyek bangunan, Adi dan Sari yang melayani turis, Yudi dan Andi yang mengantar penumpang dan barang, serta Raka yang menyusuri jalan kota.
Statistik adalah bahasa angka, tetapi maknanya sesungguhnya ada di manusia. Setiap persen, setiap miliar dolar, setiap ton gabah, sesungguhnya adalah kisah tentang hidup yang dihidupi, tentang kerja yang dikerjakan, tentang harapan yang tak pernah padam. Angka-angka ekonomi memang dingin, tapi di baliknya selalu ada cerita hangat dari rakyat yang menanggung, merasakan, dan menghidupkannya.


