ekonomi

Mimpi Pertumbuhan 8% dan Jalan Panjang Ekonomi Indonesia

(Beritadaerah-Kolom) Di sebuah ruang konferensi yang dipenuhi para pelaku bisnis, investor, dan akademisi, suasana siang itu terasa tenang namun penuh antisipasi. Seorang pengamat ekonomi internasional, yang sudah puluhan tahun malang melintang meneliti berbagai krisis dan kebangkitan negara berkembang, duduk di kursi utama. Wajahnya tenang, matanya tajam menatap para hadirin. Ia baru saja tiba kembali di Jakarta, sebuah kota yang pernah disaksikannya berubah secara dramatis sejak masa krisis Asia 1997.

“Ketika saya pertama kali menginjakkan kaki di Indonesia pada 1997,” ujarnya membuka cerita, “saya menyaksikan bagaimana krisis menghantam keras negeri ini. Saya masih ingat betul suasana Jakarta yang penuh gejolak, kerusuhan yang meletus, ketidakpastian politik, dan ekonomi yang runtuh. Tetapi dari situ pula saya belajar betapa tangguhnya bangsa ini. Indonesia mampu bangkit, membenahi perbankan, menjaga disiplin fiskal, dan kemudian menikmati dorongan besar dari boom komoditas di dekade 2000-an. Saat itu, saya yakin Indonesia adalah salah satu bintang baru ekonomi dunia.”

Ruangan hening mendengarkan. Ia lalu melanjutkan bahwa keyakinannya bertahan cukup lama. Di awal 2010-an, ia bahkan menulis bahwa Indonesia bisa menjadi “breakout nation” dengan kualitas kebijakan yang membaik dan prospek pertumbuhan yang cerah. Namun, nada suaranya kemudian berubah lebih dalam.

“Beberapa tahun terakhir,” katanya, “momentum itu seperti memudar. Angka resmi memang menunjukkan pertumbuhan di kisaran lima persen. Presiden bahkan menargetkan delapan persen, sebuah visi yang patut diapresiasi. Namun, bila kita melihat lebih dekat, tanda-tanda di lapangan menunjukkan cerita yang lebih kompleks.”

Ia memaparkan data sederhana: penjualan mobil yang melemah, konsumsi semen yang stagnan, hingga bursa saham yang kinerjanya tertinggal dari negara tetangga. “Kalau benar ekonomi tumbuh lima persen atau lebih, mengapa indikator-indikator ini tidak sejalan? Mengapa justru konsumsi rumah tangga di segmen bawah melemah? Mengapa penjualan mobil di Malaysia kini melampaui Indonesia, padahal populasi mereka jauh lebih kecil?” tanyanya, lebih sebagai refleksi ketimbang tuduhan.

Para hadirin saling berpandangan. Pertanyaan itu menusuk tetapi realistis.

Pengamat itu kemudian menjelaskan satu faktor besar yang disebutnya sebagai “China shock”. Ia menguraikan, ketika ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok meningkat beberapa tahun lalu, banyak yang berharap arus investasi asing akan mengalir deras ke Asia Tenggara. Indonesia, dengan pasar besar dan jumlah penduduk yang masif, seharusnya menjadi tujuan utama.

“Tetapi realitas berbeda,” katanya pelan. “Aliran investasi baru ke Indonesia tidak sebesar yang dibayangkan. Sebaliknya, yang terjadi adalah banjir produk murah dari Tiongkok. Barang-barang itu memang menguntungkan konsumen karena lebih murah, tapi di sisi lain menghantam pabrik-pabrik lokal, menekan tenaga kerja, dan melemahkan daya saing industri. Itulah mengapa banyak pekerja yang dulunya merantau ke kota untuk bekerja di pabrik, kini kembali ke desa, kembali ke lahan pertanian. Ini bukan transformasi akibat teknologi, melainkan akibat kehilangan kesempatan kerja.”

Ia menegaskan bahwa dampak ini tidak hanya dirasakan Indonesia, tetapi juga Thailand dan beberapa negara ASEAN lain. Namun, Indonesia tampak paling rentan karena skala ekonominya besar, sementara daya dorong industrinya justru melemah.

Narasi berlanjut ke soal kebijakan. Ia menekankan pentingnya disiplin fiskal, sesuatu yang dulu menjadi kekuatan Indonesia pasca krisis Asia. “Masalahnya sekarang,” ujarnya, “porsi belanja negara semakin condong ke arah populisme dan kesejahteraan jangka pendek. Memberi bantuan sosial itu baik, saya tidak menentangnya. Tetapi bila dilakukan terlalu dini, ketika pendapatan per kapita masih relatif rendah, dampaknya bisa membatasi ruang investasi untuk infrastruktur dan pendidikan.”

Ia memberi contoh perbandingan. Tiongkok, Korea Selatan, dan Taiwan, pada tahap perkembangan yang sama, justru mengalokasikan porsi besar untuk investasi jangka panjang: pembangunan pelabuhan, jalan, listrik, riset, dan sekolah. Negara-negara itu baru meningkatkan belanja sosial setelah mereka menjadi jauh lebih makmur. “Jika Indonesia ingin mencapai delapan persen, investasi harus melonjak, bukan stagnan di sekitar tiga puluh persen dari PDB. Negara-negara Asia Timur pada masa jayanya bahkan mencapai empat puluh persen lebih,” katanya dengan tegas.

Ia lalu menyinggung persoalan besar lain: kepastian arah kebijakan. Dunia usaha, menurutnya, masih bingung apakah Indonesia hendak memperluas campur tangan negara atau justru melanjutkan agenda deregulasi. “Kebingungan itu membuat investor menunda keputusan. Padahal yang dibutuhkan adalah kepastian dan keberanian untuk memangkas aturan yang menjerat dunia usaha,” jelasnya.

Ia menyebut istilah “doge”, yang dimaksudkan sebagai kampanye deregulasi besar-besaran. “Indonesia perlu melakukan deregulasi dengan skala besar agar industri lokal lebih kompetitif. Kalau tidak, kita akan terus kalah dari barang impor.”

Pembicaraan kemudian bergerak ke ranah global. Sang pengamat menguraikan bagaimana arus modal internasional dalam satu dekade terakhir tersedot ke Amerika Serikat. “Sekitar 70 hingga 80 persen aliran modal global justru masuk ke sana. Amerika dianggap lebih aman, dengan perusahaan teknologi raksasa yang memikat. Negara-negara lain, termasuk Indonesia, mendapat sisa yang jauh lebih sedikit. Akibatnya, kita melihat pasar modal di banyak negara emerging market stagnan,” katanya.

Namun, ia optimis tren itu tidak akan selamanya. Dengan defisit fiskal Amerika yang besar dan tekanan untuk menurunkan suku bunga, cepat atau lambat modal akan mencari tujuan baru. “Indonesia harus siap menjadi tujuan itu. Tapi kesiapan tidak datang begitu saja, harus dengan reformasi yang nyata,” tambahnya.

Ia kembali ke hal yang lebih fundamental: kepercayaan publik. Menurutnya, ekonomi bisa tumbuh bukan hanya dengan angka di kertas, tetapi dengan rasa percaya dari masyarakat dan pelaku usaha. “Kalau orang-orang merasa kondisi tidak baik, kalau mereka ragu, maka konsumsi melemah, investasi lesu. Maka pemerintah harus jujur mengakui tantangan, agar ada alasan kuat melakukan reformasi. Krisis justru bisa menjadi pemicu perubahan, jika direspons dengan tepat.”

Ucapan itu membuat hadirin mengangguk. Mereka paham maksudnya: optimisme boleh, target boleh tinggi, tetapi tanpa pengakuan masalah, reformasi sulit dilakukan.

Sang pengamat juga menyoroti pentingnya pendidikan, riset, dan teknologi. Ia menyadari hasilnya tidak instan, namun itu investasi yang tak tergantikan. “Perubahan kualitas pendidikan butuh lima hingga sepuluh tahun. Namun pekerjaan itu harus dimulai sekarang. Sementara untuk jangka pendek, yang bisa dilakukan adalah menciptakan lapangan kerja di sektor manufaktur dengan deregulasi dan insentif yang tepat.”

Ia pun menyinggung teknologi kecerdasan buatan atau AI. “Banyak orang khawatir AI akan menghilangkan pekerjaan. Saya justru melihat AI akan mengubah profesi, bukan sekadar menghapus lapangan kerja. Selalu ada pekerjaan baru yang tercipta. Pertanyaannya, apakah kita siap mengadopsinya untuk memperkuat sektor pertanian, industri, dan jasa?”

Diskusi semakin mengalir. Ia menegaskan, meski Indonesia menghadapi tantangan besar—dari tekanan produk impor Tiongkok, lemahnya investasi, hingga kebijakan yang belum jelas—semua itu bukan alasan untuk pesimisme. Justru di situlah letak kesempatan.

“Bangsa ini pernah melewati masa lebih sulit pada 1997,” katanya. “Jika dulu bisa bangkit, mengapa sekarang tidak? Syaratnya sederhana: keberanian untuk mengakui masalah, disiplin dalam kebijakan, dan fokus pada pembangunan jangka panjang.”

Ia menutup dengan nada optimis. “Target delapan persen itu mungkin terdengar jauh hari ini. Tetapi bukan berarti mustahil. Jika arah kebijakan tepat, jika infrastruktur dan pendidikan digarap serius, jika industri dilindungi dengan deregulasi cerdas, Indonesia bisa bergerak lebih cepat. Dunia sedang berubah, modal global akan mencari rumah baru, dan Indonesia punya kesempatan besar untuk menjadi rumah itu.”

Para hadirin bertepuk tangan panjang. Mereka merasa mendapat pelajaran berharga, bahwa pertumbuhan bukan sekadar angka di laporan resmi, melainkan hasil dari strategi, keberanian, dan konsistensi.

Di luar gedung, Jakarta sore itu masih sibuk dengan hiruk pikuknya. Namun kata-kata sang pengamat tetap terngiang. Delapan persen memang butuh bukti nyata, tetapi dengan arah yang benar, tidak ada alasan Indonesia tidak bisa mencapainya.