energi bersih Sungai hijau

Energi Hijau Dari Sungai-Sungai Pakpak Bharat

(Beritadaerah-Kolom) Di sebuah kabupaten kecil di ujung barat Sumatera Utara, air mengalir tanpa henti dari lereng-lereng bukit yang hijau. Sungai-sungai berliku, jernih, dan berarus deras menembus hutan dan lembah yang masih asri. Di sepanjang tepian, masyarakat setempat mengandalkan air untuk kehidupan sehari-hari, bercocok tanam, dan menghubungkan desa dengan desa. Namun di balik gemericik air itu, tersimpan potensi besar yang bisa menjadi kunci masa depan energi di Indonesia: listrik dari mikrohidro. Kabupaten Pakpak Bharat, yang resmi terbentuk pada tahun 2003 sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Dairi, kini berdiri di persimpangan sejarah. Ia memiliki kesempatan untuk tidak sekadar dikenal sebagai daerah agraris dengan lahan subur dan hutan yang lebat, tetapi juga sebagai penghasil energi hijau yang menopang pembangunan berkelanjutan.

Listrik telah lama menjadi indikator kemajuan sebuah daerah. Di wilayah perkotaan, kita sering menganggapnya hal yang biasa—lampu jalanan yang menyala, peralatan rumah tangga yang bekerja tanpa henti, hingga internet yang berjalan lancar. Namun di desa-desa terpencil, terutama di daerah berbukit seperti Pakpak Bharat, listrik masih menjadi barang mewah. Data menunjukkan bahwa hingga tahun 2020, hanya sekitar 55 persen rumah tangga di kabupaten ini yang menikmati listrik dari jaringan PLN. Sisanya masih harus berhemat dengan genset kecil, lampu minyak, atau bahkan hidup tanpa penerangan layak ketika malam tiba. Dalam kondisi seperti ini, wacana tentang energi alternatif menjadi bukan sekadar tren global, melainkan kebutuhan nyata.

Mikrohidro hadir sebagai jawaban yang seolah diciptakan khusus untuk daerah seperti Pakpak Bharat. Prinsipnya sederhana: memanfaatkan arus air dari sungai dengan debit tertentu dan perbedaan ketinggian untuk memutar turbin, lalu mengubahnya menjadi listrik. Tidak ada cerobong asap, tidak ada polusi, dan tidak ada limbah yang merusak. Sungai-sungai seperti Lae Ordi, Lae Kombih, dan Lae Cinendang memiliki panjang, arus, dan kemiringan yang ideal untuk teknologi ini. Konsultan yang melakukan kajian pada tahun 2023 mencatat bahwa ketiga sungai tersebut bisa menjadi tulang punggung pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH).

Mengapa mikrohidro menarik? Jawabannya ada pada keseimbangan antara kebutuhan energi dan kearifan lokal. Masyarakat Pakpak Bharat hidup berdampingan dengan alam. Pertanian menjadi sektor dominan dalam PDRB, menyumbang lebih dari separuh ekonomi daerah. Jika energi yang dipakai untuk mengolah hasil pertanian, menggerakkan usaha kecil, atau bahkan sekadar menerangi desa, berasal dari sumber yang sama-sama lestari, maka lingkaran pembangunan berkelanjutan tercipta. Tidak ada ketergantungan berlebih pada bahan bakar fosil, tidak ada biaya logistik tinggi untuk mendistribusikan solar atau bensin ke desa-desa terpencil. Energi lahir dari sungai yang setiap hari mereka lihat dan gunakan.

Bayangkan jika sebuah desa kecil di tepi Sungai Lae Ordi memiliki pembangkit mikrohidro. Anak-anak bisa belajar di malam hari tanpa harus ditemani asap lampu minyak. Ibu-ibu bisa mengolah hasil pertanian dengan mesin sederhana yang butuh listrik. Warung-warung kecil bisa menjual es batu atau makanan beku, sesuatu yang sederhana tetapi memberi nilai tambah ekonomi. Listrik bukan hanya penerangan, ia adalah pintu masuk menuju perubahan sosial dan ekonomi.

Namun tentu, membangun PLTMH bukan hal mudah. Biaya investasi awal cukup besar, apalagi untuk skala desa. Dibutuhkan perhitungan yang matang: debit air, kontur sungai, biaya konstruksi, hingga analisis kelayakan ekonomi. Laporan konsultan menunjukkan bagaimana setiap sungai memiliki karakter berbeda. Sungai Lae Cinendang, misalnya, menawarkan potensi daya yang tinggi karena arusnya deras. Lae Ordi lebih panjang, dengan debit stabil yang cocok untuk pembangkit menengah. Sementara Lae Kombih memiliki kombinasi unik yang membuatnya menarik bagi investor. Semuanya membutuhkan survei topografi, hidrologi, hingga studi dampak lingkungan.

Di sinilah peran investasi masuk. Pemerintah daerah Pakpak Bharat berharap dokumen potensi investasi yang disusun menjadi daya tarik bagi investor swasta maupun badan usaha milik negara. Skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha telah diatur lewat berbagai regulasi nasional. Dengan dasar hukum yang jelas, mulai dari Peraturan Presiden hingga Peraturan Menteri ESDM, investor diharapkan tidak ragu untuk menanam modal.

Tetapi mari kita mundur sejenak, melihat potret lebih luas. Energi terbarukan saat ini menjadi isu global. Dunia berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon, dan Indonesia menargetkan bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada tahun 2025. Mikrohidro adalah salah satu solusi paling realistis untuk daerah pedalaman. Tidak membutuhkan lahan luas seperti panel surya, tidak menimbulkan dampak ekologis besar seperti bendungan raksasa, dan bisa dibangun dengan skala komunitas. Jika Pakpak Bharat mampu menjadi contoh sukses, maka daerah-daerah lain di Nusantara bisa meniru model yang sama.

Namun, perjalanan ke sana penuh tantangan. Pertama adalah soal pendanaan. Sebuah PLTMH membutuhkan biaya miliaran rupiah, tergantung kapasitasnya. Untuk ukuran desa dengan pendapatan terbatas, jumlah itu sulit dijangkau tanpa dukungan eksternal. Kedua adalah masalah teknis. Tidak semua sungai meskipun berair deras cocok untuk PLTMH. Diperlukan kombinasi ketinggian jatuh (head) dan debit air yang stabil sepanjang tahun. Ketiga adalah keberlanjutan sosial. Pembangunan harus memperhatikan hak masyarakat adat, kepentingan pertanian, dan konservasi lingkungan. Sungai tidak boleh dikeringkan hanya demi listrik, karena air juga sumber kehidupan.

Meski demikian, jika dilihat dari sisi manfaat, hasilnya sepadan. Studi kelayakan ekonomi yang dilakukan konsultan mencatat adanya potensi pengembalian investasi melalui skema penjualan listrik ke PLN. Dengan sistem interkoneksi, listrik dari PLTMH bisa masuk ke jaringan nasional dan memberi pendapatan bagi pengelola. Selain itu, manfaat sosial jauh lebih besar: pemerataan energi, peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, dan produktivitas masyarakat.

Pembangunan energi mikrohidro di Pakpak Bharat juga bisa menjadi simbol perlawanan terhadap ketimpangan pembangunan. Selama ini, daerah perkotaan besar di Sumatera Utara seperti Medan atau Pematangsiantar menikmati pasokan listrik stabil. Sementara desa-desa di perbukitan harus puas dengan keterbatasan. Dengan PLTMH, desa bisa mandiri, tidak lagi menunggu distribusi dari pusat. Bahkan dalam jangka panjang, bisa jadi desa justru menyuplai listrik ke kota.

Kisah energi di Pakpak Bharat adalah kisah tentang harapan. Harapan bahwa pembangunan tidak selalu identik dengan jalan tol atau gedung tinggi, tetapi bisa dimulai dari sungai yang mengalir di halaman belakang rumah warga. Harapan bahwa investasi bukan hanya angka di atas kertas, tetapi nyata memberi perubahan pada kehidupan sehari-hari. Harapan bahwa energi hijau bukan sekadar jargon global, melainkan kebutuhan lokal yang segera diwujudkan.

Bayangkan 10 tahun dari sekarang, jika tiga sungai utama di Pakpak Bharat sudah dilengkapi dengan pembangkit mikrohidro. Desa-desa yang dulu gelap kini terang. Sekolah memiliki laboratorium komputer. Klinik desa bisa menyimpan obat dengan pendingin. Pertanian menjadi lebih produktif karena mesin pengolahan tersedia. Generasi muda tidak lagi bermigrasi ke kota hanya untuk mencari kenyamanan, karena desa sudah cukup mandiri. Semua ini bukan utopia, melainkan rencana yang bisa diwujudkan jika ada keberanian mengambil langkah sekarang.

Tentu, perubahan seperti ini membutuhkan sinergi. Pemerintah daerah tidak bisa bekerja sendiri. Investor membutuhkan kepastian regulasi. Masyarakat perlu dilibatkan sejak awal agar merasa memiliki proyek. Lembaga pendidikan bisa turut serta menyiapkan tenaga terampil. Dan yang tidak kalah penting, kita semua perlu memandang energi sebagai hak dasar, bukan sekadar komoditas.

Pakpak Bharat adalah contoh bagaimana sebuah daerah kecil bisa memberi pelajaran besar. Dari hulu sungai yang tenang hingga turbin yang berputar, dari kertas kajian konsultan hingga lampu yang menyala di rumah penduduk, ada perjalanan panjang yang menyatukan sains, kebijakan, dan kehidupan sehari-hari.

Jika kita menelusuri jalan berliku menuju ibukota Kabupaten Pakpak Bharat di Salak, kita akan menemukan sebuah lanskap yang berbeda dari citra perkotaan Sumatera Utara. Perbukitan membentang sejauh mata memandang, hutan hijau masih mendominasi, dan sungai-sungai berarus deras mengalir di sela-sela lembah. Kehidupan masyarakat sebagian besar bertumpu pada pertanian, mulai dari padi, jagung, hingga perkebunan kecil yang dikelola keluarga. Pertanian tidak hanya menjadi tulang punggung ekonomi, tetapi juga identitas budaya. Dalam kehidupan sehari-hari, listrik memang hadir, tetapi tidak selalu stabil. Masih banyak dusun yang gelap gulita di malam hari, terutama di kecamatan-kecamatan terpencil seperti Pagindar atau Sitellu Tali Urang Julu.

Di sinilah pentingnya melihat listrik bukan sekadar infrastruktur, melainkan sebagai katalis perubahan sosial. Listrik memungkinkan anak-anak desa belajar lebih lama, membuka akses digital, dan memperluas wawasan. Ia memungkinkan petani kecil menggunakan mesin penggiling atau pengering hasil panen, sehingga tidak selalu bergantung pada jasa dari kota. Listrik juga berarti akses kesehatan yang lebih baik: vaksin bisa disimpan, peralatan medis bisa digunakan, dan pelayanan dasar meningkat. Singkatnya, listrik adalah fondasi bagi kesejahteraan.

Kabupaten ini, meski kecil, menyimpan potensi besar dari tiga sungai utamanya. Lae Ordi, Lae Kombih, dan Lae Cinendang bukan hanya jalur air alami, tetapi juga sumber energi yang belum dioptimalkan. Mari kita lihat satu per satu.

Peta Potensi Investasi Sungai Lae Ordi

Peta Potensi Investasi Sungai Lae Ordi

Lae Ordi adalah sungai yang panjang dengan debit air stabil. Keunggulannya ada pada kontinuitas aliran yang relatif terjaga sepanjang tahun, meski musim kemarau datang. Debit yang stabil adalah syarat utama pembangkit mikrohidro, karena turbin membutuhkan arus konstan untuk menghasilkan listrik. Menurut kajian, Lae Ordi bisa mendukung beberapa unit PLTMH dengan kapasitas menengah, cukup untuk menyuplai ribuan rumah tangga.

Sungai Lae Ordi lebih panjang, dengan debit air yang konsisten. Hal ini memungkinkan pembangunan lebih dari satu unit PLTMH. Konsultan menaksir kebutuhan investasi lebih tinggi, bisa mencapai Rp 30–35 miliar untuk unit dengan kapasitas lebih besar. Namun, produksi listrik yang dihasilkan juga signifikan, mencapai 4–5 juta kWh per tahun.

Dengan asumsi harga jual listrik sama, maka potensi pendapatan tahunan bisa menyentuh Rp 6–7 miliar. Dari simulasi cashflow, proyek di Lae Ordi mencatat NPV positif dan IRR yang lebih tinggi dari bunga pinjaman bank. Payback Period diperkirakan 7–8 tahun, sedikit lebih panjang dibanding Lae Cinendang karena nilai investasi awal lebih besar. Tetapi dalam jangka panjang, kapasitas produksi yang lebih tinggi membuat Lae Ordi menjadi lokasi strategis untuk investasi energi hijau berskala menengah

Potensi Investasi Sungai Lae Kombih

Potensi Investasi Sungai Lae Kombih

Lae Kombih memiliki karakter berbeda. Sungai ini mengalir di kawasan berbukit dengan gradien tajam, menghasilkan kecepatan arus tinggi. Kondisi ini sangat cocok untuk pembangkit dengan kapasitas lebih besar. Dengan desain yang tepat, Lae Kombih bisa menjadi lokasi andalan yang bukan hanya memberi listrik untuk satu desa, tetapi juga menyalurkan ke jaringan yang lebih luas.

Lae Kombih mungkin tidak sepanjang Ordi, tetapi arusnya deras dan gradien sungainya tajam. Potensi ini sangat cocok untuk pembangunan PLTMH dengan kapasitas sedang. Konsultan menghitung kebutuhan investasi di kisaran Rp 25–30 miliar, dengan potensi produksi listrik sekitar 3,5–4 juta kWh per tahun.

Dengan skenario harga jual listrik ke PLN, pendapatan kotor bisa mencapai Rp 5–5,5 miliar per tahun. Analisis keuangan menunjukkan BCR > 1 dan IRR di atas 11%, yang berarti cukup menarik bagi investor. Payback Period berada pada kisaran 6–7 tahun, mirip dengan Lae Cinendang, tetapi dengan kapasitas produksi sedikit lebih tinggi.

Peta Potensi Investasi Sungai Lae Cinendang

Peta Potensi Investasi Sungai Lae Cinendang

Lae Cinendang, sementara itu, menghadirkan kombinasi unik. Ia tidak sepanjang Lae Ordi, tetapi debit airnya kuat. Sungai ini bisa menjadi proyek percontohan, bagaimana skala kecil tetapi strategis dapat membangun desa-desa di sekitarnya. Bagi investor, Cinendang menawarkan peluang menarik: biaya pembangunan relatif lebih rendah, tetapi dampaknya langsung terasa bagi komunitas sekitar.

Di Sungai Lae Cinendang, kebutuhan investasi pembangunan PLTMH berkisar Rp 20–25 miliar per unit. Dengan debit air yang relatif stabil dan head cukup tinggi, potensi energi yang dihasilkan bisa mencapai sekitar 3 juta kWh per tahun. Jika listrik dijual ke PLN dengan harga patokan energi terbarukan sekitar Rp 1.400 per kWh, maka potensi pendapatan kotor per tahun mencapai Rp 4,2 miliar.

Dalam skenario ini, Payback Period (PBP) atau masa balik modal berada pada kisaran 6–7 tahun. Artinya, setelah tahun ketujuh, pembangkit bisa beroperasi menghasilkan laba bersih hingga umur teknisnya berakhir (sekitar 20–25 tahun). Hasil evaluasi finansial di laporan juga menunjukkan IRR di atas 10% dan BCR lebih besar dari 1, menandakan proyek ini layak secara ekonomi.

Ketiga sungai ini, jika digarap bersamaan, bisa menciptakan mosaik energi hijau di Pakpak Bharat. Setiap sungai memberi kontribusi berbeda, ada yang mendukung jaringan besar, ada pula yang melayani komunitas kecil. Diversifikasi seperti ini penting karena kebutuhan energi tidak selalu sama antarwilayah.

Namun, sebagaimana proyek pembangunan lainnya, tantangan tetap ada. Salah satunya adalah keterbatasan kapasitas teknis di tingkat lokal. Masyarakat desa mungkin akrab dengan sungai, tetapi tidak semua memahami teknologi mikrohidro. Diperlukan pelatihan dan pendampingan, agar warga bisa ikut serta dalam operasional dan pemeliharaan. Hal ini penting, sebab tanpa keterlibatan masyarakat, proyek bisa macet begitu instalasi rusak atau butuh perawatan.

Selain itu, ada pula isu lingkungan. Meski mikrohidro lebih ramah lingkungan dibanding bendungan besar, tetap ada potensi gangguan ekosistem jika tidak dikelola bijak. Perubahan aliran sungai, pembangunan kanal, atau pemasangan turbin harus memperhatikan flora dan fauna air. Sungai adalah habitat, bukan sekadar sumber energi. Di Pakpak Bharat, yang masih memiliki keanekaragaman hayati tinggi, hal ini perlu jadi prioritas.

Dari sisi ekonomi, investasi PLTMH memang membutuhkan modal awal signifikan. Tetapi hitung-hitungan jangka panjang menunjukkan manfaatnya lebih besar. Konsultan mencatat adanya potensi keuntungan melalui skema penjualan listrik ke PLN. Dengan interkoneksi ke jaringan Sumatera, listrik dari PLTMH tidak hanya dipakai lokal, tetapi juga bisa memberi tambahan pasokan regional. Model ini memberi peluang bagi investor untuk mendapatkan pengembalian modal, sekaligus menyejahterakan masyarakat.

Untuk melihat dampak sosial-ekonomi, mari kita bayangkan sebuah skenario sederhana. Katakanlah sebuah PLTMH dibangun di Lae Ordi dengan kapasitas menengah. Listrik yang dihasilkan cukup untuk menerangi 1.000 rumah tangga. Artinya, sekitar 4.000 orang langsung merasakan manfaatnya. Di malam hari, desa-desa menjadi terang. Anak-anak belajar, orang tua bekerja sampingan, kegiatan ekonomi berjalan. Dalam hitungan tahun, perubahan itu menciptakan multiplier effect: lebih banyak usaha muncul, pendapatan naik, dan kualitas hidup meningkat.

Sementara di Lae Kombih, kapasitas lebih besar memungkinkan desa tidak hanya mandiri energi, tetapi juga menjadi penyuplai. Desa yang dulunya konsumen kini berubah menjadi produsen. Perubahan paradigma ini penting. Ketika desa memiliki aset energi, posisi tawarnya terhadap pemerintah maupun pasar meningkat. Desa tidak lagi sekadar penerima bantuan, melainkan aktor aktif dalam pembangunan.

Jika kita tarik lebih luas, apa yang terjadi di Pakpak Bharat punya relevansi global. Dunia saat ini sedang bergerak menuju transisi energi. Negara-negara berusaha meninggalkan batu bara dan minyak, beralih ke sumber energi bersih. Mikrohidro, meski skalanya kecil, adalah bagian penting dari mosaik energi hijau global. Ia melengkapi panel surya, turbin angin, dan biomassa. Dengan setiap desa yang memiliki pembangkit mikrohidro, kontribusi kolektif bisa signifikan.

Indonesia sendiri punya target ambisius untuk mencapai net zero emission pada 2060. Jalan menuju ke sana tidak bisa hanya mengandalkan proyek raksasa. Diperlukan solusi skala kecil, tersebar, dan sesuai konteks lokal. Mikrohidro di Pakpak Bharat adalah contoh nyata bagaimana transisi energi bisa berjalan dari bawah, dari desa, dari sungai.

Dalam kacamata investasi, proyek seperti ini juga memberi peluang unik. Investor tidak hanya mengejar keuntungan finansial, tetapi juga nilai sosial. Istilah yang kini populer, impact investing, sangat relevan di sini. Modal yang ditanam menghasilkan dua keuntungan: uang kembali, dan masyarakat sejahtera. Bagi generasi muda, yang semakin peduli pada isu lingkungan dan sosial, investasi semacam ini lebih bermakna daripada sekadar laba.

Namun ada syarat mutlak: sinergi. Pemerintah daerah harus berani memberi insentif, entah berupa kemudahan izin atau dukungan fiskal. PLN harus membuka ruang bagi interkoneksi yang adil. Masyarakat harus dilibatkan sejak awal, bukan hanya sebagai penerima manfaat, tetapi juga pemilik dan pengelola. Universitas dan lembaga penelitian bisa memberi dukungan teknis, mencetak tenaga ahli lokal. Hanya dengan kerjasama lintas pihak, proyek energi hijau bisa berumur panjang.

Kita juga perlu belajar dari pengalaman daerah lain. Di beberapa tempat di Indonesia, proyek mikrohidro gagal karena kurangnya perawatan. Turbin dibiarkan rusak, kanal tersumbat, dan pembangkit mangkrak. Semua ini terjadi karena masyarakat tidak dilibatkan sejak awal. Mereka merasa itu proyek pemerintah atau investor, bukan milik mereka. Pakpak Bharat bisa menghindari kesalahan yang sama dengan menempatkan masyarakat di pusat. Jika warga merasa memiliki, mereka akan menjaga, merawat, bahkan berinovasi.

Masa depan Pakpak Bharat tidak hanya bergantung pada sungai, tetapi juga pada visi. Apakah kabupaten ini mau sekadar menjadi daerah penghasil pertanian, atau berani naik kelas menjadi pusat energi hijau? Apakah masyarakatnya mau terus bergantung pada pasokan listrik dari luar, atau berdaulat dengan energi sendiri? Jawaban pertanyaan ini akan menentukan arah pembangunan dekade mendatang.

Energi, pada akhirnya, bukan hanya soal teknis. Ia adalah cerita tentang kehidupan. Tentang anak yang bisa belajar di malam hari, tentang ibu yang bisa berusaha dengan mesin sederhana, tentang petani yang bisa mengolah hasil panen, tentang desa yang bisa berdiri sejajar dengan kota. Energi adalah cerita tentang keadilan, karena tanpa listrik, pembangunan selalu timpang.

Pakpak Bharat, dengan sungai-sungainya yang jernih, memiliki kesempatan langka untuk menulis cerita baru. Cerita tentang daerah kecil yang berani mengambil langkah besar. Cerita tentang bagaimana air yang mengalir di pegunungan bisa berubah menjadi cahaya harapan. Cerita tentang energi hijau yang lahir bukan dari wacana, tetapi dari kebutuhan nyata.

Jika suatu hari nanti kita kembali ke desa-desa di Pakpak Bharat dan melihat lampu-lampu menyala terang di malam hari, suara turbin berputar di tepi sungai, dan wajah-wajah ceria anak-anak belajar dengan tenang, kita akan tahu bahwa harapan itu bukan sekadar kata. Ia nyata, lahir dari keberanian untuk memanfaatkan potensi lokal, lahir dari sungai yang sejak dulu setia mengalir, dan lahir dari keyakinan bahwa energi hijau adalah masa depan.