impor
Ilustrasi : Petani Menggunakan Mesin Untuk Menanam Padi (Foto : Kementan)

Jejak Impor di Zamrud Khatulistiwa Indonesia

(Beritadaerah-Kolom) Di tengah lautan biru yang mengelilingi puluhan ribu pulau, berdirilah sebuah negeri yang sejak lama dikenal sebagai Zamrud Khatulistiwa. Negeri ini tidak hanya kaya akan hutan tropis dan gunung berapi yang gagah, tetapi juga dikenal sebagai simpul penting dalam lalu lintas perdagangan dunia. Setiap bulan, pelabuhan-pelabuhan negeri ini menjadi saksi bisu kedatangan kapal-kapal raksasa yang membawa berbagai barang dari seberang samudra.

Bulan Juni 2025 menjadi salah satu catatan menarik bagi para pencatat angka di Badan Pusat Statistik. Di ruang sunyi dengan layar penuh tabel dan grafik, mereka menemukan bahwa nilai impor Indonesia pada bulan itu mencapai 19,33 miliar dolar AS. Angka tersebut terbagi antara 2,22 miliar dolar dari sektor migas dan 17,11 miliar dolar dari sektor nonmigas. Dalam persentase, migas hanya memberi kontribusi 11,49 persen, sementara nonmigas mendominasi 88,51 persen.

Namun, angka-angka ini bukanlah sekadar deretan digit di layar komputer. Di baliknya ada kisah panjang tentang kapal tanker yang lebih jarang berlabuh, mesin industri yang semakin banyak masuk, hingga peti-peti kontainer penuh bahan pangan yang memenuhi gudang pelabuhan.

Penurunan yang Membawa Pertanyaan

Dibandingkan dengan bulan Mei 2025, nilai impor Juni turun 4,82 persen atau setara hampir satu miliar dolar. Penurunan ini terutama disebabkan oleh sektor migas yang merosot 15,96 persen, sementara nonmigas turun 3,15 persen. Dari minyak mentah saja, terjadi penurunan 20,53 persen, sementara hasil minyak turun 14,20 persen.

Di pelabuhan Balikpapan, seorang pekerja bongkar muat memperhatikan berkurangnya kapal tanker yang biasanya mendominasi horizon. “Biasanya bau minyak itu menyengat sampai ke daratan,” katanya sambil menyalakan rokok. “Sekarang, pelabuhan lebih sepi. Entah karena harga minyak dunia, entah karena kita berhemat.”

Namun, cerita lain muncul ketika perbandingan dilakukan dengan Juni tahun sebelumnya. Justru ada peningkatan 4,28 persen, setara 793,6 juta dolar. Ini terjadi karena sektor nonmigas melonjak 12,07 persen, sementara migas merosot lebih dari 32 persen. Artinya, mesin ekonomi Indonesia kian bergantung pada barang-barang nonmigas, dari mesin industri hingga bahan baku pabrik.

Mesin-Mesin Baru di Pabrik Indonesia

Jika ada satu komoditas yang paling mencolok pada Juni 2025, itu adalah mesin dan peralatan mekanis. Nilainya mencapai 3,26 miliar dolar, naik lebih dari 23 persen dibanding tahun lalu. Di sebuah kawasan industri di Jawa Timur, seorang insinyur muda menatap mesin CNC baru yang berkilau di ruang produksi. “Inilah bukti bahwa kita sedang berlari mengejar teknologi,” ucapnya dengan nada bangga.

Mesin-mesin ini tak hanya berarti barang impor, melainkan juga simbol transformasi industri. Dari pabrik otomotif di Bekasi hingga pabrik tekstil di Bandung, setiap baut dan mur yang berputar dihasilkan oleh mesin yang mungkin datang dari Jerman, Jepang, atau Tiongkok.

Selain mesin, ada pula lonjakan pada kendaraan dan bagiannya, yang naik hampir 47 persen dibanding Juni 2024. Kendaraan yang tiba bukan sekadar mobil mewah untuk jalanan ibu kota, tetapi juga truk, bus, hingga alat berat yang dipakai membangun jalan di pedalaman Kalimantan atau jembatan di Sulawesi.

Ketergantungan pada Tiongkok

Dalam catatan BPS, lebih dari sepertiga impor Indonesia berasal dari Tiongkok, yakni 6,91 miliar dolar atau 35,74 persen dari total. Angka ini menunjukkan betapa eratnya hubungan dagang kedua negara. Dari telepon pintar yang dipakai mahasiswa di Yogyakarta, hingga panel surya di desa-desa terpencil, jejak barang asal Tiongkok begitu jelas terasa.

Seorang pengusaha elektronik di Glodok bercerita, “Hampir semua komponen yang saya jual datang dari sana. Kalau ada gejolak hubungan atau gangguan logistik, usaha kami bisa terguncang.”

Selain Tiongkok, Singapura juga menjadi pemasok penting dengan nilai 1,4 miliar dolar, meski turun drastis dibanding tahun sebelumnya. Amerika Serikat menyumbang 1,19 miliar dolar, Jepang 1,16 miliar dolar, dan Australia 873 juta dolar. Lima negara ini saja sudah menyumbang hampir 60 persen impor Indonesia.

Wajah Pelabuhan dan Provinsi

Di DKI Jakarta, pelabuhan Tanjung Priok mendominasi arus impor dengan nilai lebih dari 9,34 miliar dolar, hampir separuh dari seluruh impor Indonesia. Pemandangan kontainer menumpuk bagai balok lego raksasa menjadi hal biasa. Suara crane yang terus bergerak siang malam menciptakan irama mekanis yang seolah menjadi musik kota.

Di Jawa Timur, nilai impor mencapai 2,24 miliar dolar. Sementara di Kepulauan Riau, yang menjadi pintu masuk dari Singapura, nilai impor melonjak lebih dari 35 persen, mencapai 1,87 miliar dolar. Bahkan Sulawesi Tengah ikut mencatat lonjakan 34,96 persen, terutama karena masuknya bahan baku industri smelter.

Namun tak semua provinsi mengalami peningkatan. Jawa Tengah justru turun lebih dari 23 persen, Jawa Barat turun 36 persen, sementara Sulawesi Tenggara turun drastis 71,6 persen. Angka-angka ini memberi gambaran bahwa aliran impor tidak merata, melainkan mengikuti dinamika industri dan kebutuhan lokal.

Barang-Barang yang Mengisi Kehidupan

Jika ditelusuri lebih jauh, barang impor yang masuk bukan hanya mesin dan kendaraan. Ada pula bahan bakar mineral senilai 2,63 miliar dolar, plastik 833 juta dolar, besi dan baja 672 juta dolar, hingga berbagai produk kimia 387 juta dolar.

Bahkan komoditas sehari-hari pun tampak dalam daftar. Sereal mencapai 334 juta dolar, gula dan produk gula 242 juta dolar, susu dan produk olahannya 112 juta dolar. Buah-buahan segar, dari apel hingga jeruk, masuk senilai 91 juta dolar. Semua ini menunjukkan bagaimana kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia, dari dapur rumah tangga hingga industri makanan, terkait erat dengan arus impor.

Seorang ibu rumah tangga di Jakarta Selatan mungkin tidak tahu bahwa susu bubuk yang ia beli berasal dari impor senilai ratusan juta dolar per bulan. Seorang anak di Makassar mungkin tak sadar bahwa mainan di tangannya adalah bagian dari 70 juta dolar mainan impor yang masuk bulan itu. Begitulah, angka-angka statistik diam-diam hadir di ruang-ruang kecil kehidupan.

Benua-Benua dan Jejak Globalisasi

Bila dilihat berdasarkan benua, 73 persen impor Indonesia pada Juni 2025 berasal dari Asia, terutama dari Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, dan negara-negara ASEAN. Amerika menyumbang 11 persen, Eropa 7,5 persen, dan Australia-Oseania 5 persen. Afrika hanya 3,26 persen.

Di balik angka itu ada kisah panjang perjalanan barang. Sebuah mesin industri mungkin dirakit di Jepang, dikirim lewat pelabuhan Yokohama, singgah di Singapura, lalu akhirnya mendarat di Tanjung Priok. Sebungkus gandum mungkin ditanam di ladang Kanada, dipanen oleh petani di musim panas, lalu melintasi Samudra Pasifik untuk akhirnya menjadi roti di meja sarapan keluarga di Surabaya.

Ketahanan dan Ketergantungan

Narasi impor Juni 2025 menunjukkan paradoks. Di satu sisi, Indonesia berhasil memperkuat industrinya dengan mendatangkan mesin dan bahan baku. Namun di sisi lain, ketergantungan pada impor, terutama dari Tiongkok, menimbulkan pertanyaan tentang ketahanan ekonomi jangka panjang.

Seorang ekonom di Jakarta mengingatkan, “Kita memang butuh impor untuk tumbuh. Tetapi jika 60 persen lebih bergantung pada lima negara, apalagi sepertiga dari Tiongkok, maka guncangan global bisa langsung terasa di dalam negeri.”

Angka yang Menjadi Cerita

Pada akhirnya, setiap angka dalam laporan impor bukan hanya statistik, melainkan potongan cerita besar. 19,33 miliar dolar adalah cermin dari bagaimana Indonesia sebagai Zamrud Khatulistiwa berinteraksi dengan dunia. Dari mesin di pabrik, bahan makanan di dapur, hingga mainan di tangan anak-anak, semuanya adalah hasil pertemuan antara kebutuhan domestik dan aliran globalisasi.

Di pelabuhan-pelabuhan, crane terus bergerak. Di kantor-kantor statistik, angka-angka terus diperbarui. Dan di rumah-rumah biasa, kehidupan berjalan, sering tanpa disadari bahwa sebagian besar darinya bertumpu pada barang-barang yang menempuh perjalanan ribuan mil untuk tiba di negeri ini.

Indonesia, sang Zamrud Khatulistiwa, terus menulis bab-bab baru dalam kisah perdagangannya. Juni 2025 hanyalah satu lembar dari buku tebal itu, tetapi lembar yang kaya cerita, penuh warna, dan sarat makna.