Indonesia Dorong Kolaborasi Kawasan ASEAN untuk Atasi Krisis Akses Pendidikan Anak

(Beritadaerah-Jakarta) Isu anak tidak sekolah (ATS) kembali menjadi perhatian utama dalam forum tingkat tinggi para Menteri Pendidikan se-ASEAN. Dalam gelaran *ASEAN Ministers of Education Roundtable* yang berlangsung baru-baru ini, perwakilan Indonesia mendorong langkah bersama di kawasan untuk mengatasi persoalan tersebut secara menyeluruh dan berkelanjutan.

Dalam forum tersebut, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menyampaikan pentingnya pendekatan lintas negara dalam menjawab tantangan pendidikan yang dihadapi anak-anak dan remaja, khususnya yang berada di kelompok rentan. Ia menekankan bahwa kesenjangan akses pendidikan tidak bisa diselesaikan oleh satu negara saja, melainkan memerlukan aksi kolektif seluruh anggota ASEAN.

Pertemuan yang digagas oleh Malaysia sebagai Ketua ASEAN 2025 itu juga menjadi ruang dialog untuk menyusun pernyataan bersama menteri-menteri pendidikan mengenai strategi percepatan penanganan ATS, yang secara internasional dikenal sebagai *Out-of-School Children and Youth (OOSCY)*.

Dalam keterangan tertulis, Mendikdasmen menyinggung data global dari UNESCO tahun 2024 yang menunjukkan bahwa lebih dari 250 juta anak dan remaja di dunia belum terjangkau oleh sistem pendidikan formal. Kondisi ini disebutnya sebagai keadaan darurat yang memerlukan perhatian serius dari seluruh negara.

Sebagai bagian dari kontribusinya, Indonesia membagikan sejumlah inisiatif yang telah berjalan. Di antaranya adalah pemanfaatan data sosial ekonomi untuk menyalurkan bantuan pendidikan yang lebih akurat melalui Program Indonesia Pintar. Upaya ini disebut telah membantu hampir 19 juta pelajar pada tahun sebelumnya.

Inovasi berbasis teknologi juga menjadi salah satu pilar dalam strategi Indonesia, melalui peluncuran platform *Rumah Pendidikan* yang menggabungkan sistem daring dan luring guna memperluas akses belajar, termasuk di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal). Langkah lain yang dikedepankan mencakup revitalisasi sekolah, pendidikan berbasis komunitas, serta penguatan jalur pendidikan nonformal.

Menurut Mu’ti, pendekatan yang diambil tidak semata bertujuan mengejar angka partisipasi pendidikan, melainkan memastikan setiap anak—termasuk mereka yang tinggal di wilayah terpencil, bekerja sejak dini, atau terdampak pernikahan usia anak—tetap memiliki hak atas ruang belajar yang aman dan layak.

Dalam pandangan Indonesia, wilayah-wilayah perbatasan dan komunitas marginal di ASEAN memerlukan perhatian khusus dan kerangka kerja bersama yang menyentuh aspek teknologi, kebijakan, hingga kapasitas guru. Untuk itu, pemerintah Indonesia mengajak negara-negara anggota ASEAN memperkuat kerja sama lintas sektor dan berbagi pengalaman dalam menciptakan sistem pendidikan yang fleksibel, inklusif, dan relevan.

Di akhir pernyataannya, Mu’ti mengingatkan bahwa memastikan tidak ada anak yang tertinggal dalam pendidikan bukan hanya sebuah kewajiban kebijakan, tetapi merupakan amanah moral bersama dalam membentuk masa depan ASEAN yang tangguh dan berdaya saing.