sektor energi

Menghijaukan Sektor Energi Indonesia

(Beritadaerah-Kolom) Indonesia mengambil langkah berani untuk menghijaukan sektor energi, ketika dunia berada pada titik penting dalam perjalanan menuju dekarbonisasi—emisi harus dikurangi setengahnya pada tahun 2030 dan dikurangi secara drastis setelahnya. Hal ini menghadirkan tantangan besar dan peluang besar.

Tantangannya termasuk membina kerja sama global; memperkuat kebijakan iklim; menavigasi transisi teknologi (termasuk teknologi emisi negatif); mengatasi keterbatasan infrastruktur; dan mengamankan investasi besar. Selain itu, diperlukan transisi yang adil, yang mencakup pelatihan ulang pekerja dan mengatasi kesenjangan sosial ekonomi.

Di sisi lain, transisi menuju keberlanjutan dan energi ramah lingkungan menghadirkan peluang pasar yang luar biasa, yang memerlukan investasi global sebesar $8 triliun hingga $11 triliun per tahun hingga tahun 2050 yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Pembangkit listrik, transportasi, serta penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan, dan kehutanan merupakan tiga sektor yang berada di garis depan dalam transformasi yang diperlukan ini.

Upaya global sudah berjalan. Negara-negara tersebut termasuk Tiongkok yang telah meningkatkan kapasitas fotovoltaik tenaga surya (PV) hingga sekitar 500 gigawatt (GW), Norwegia yang berhasil mengalihkan lebih dari 80 persen penjualan mobil barunya menjadi kendaraan listrik (EV), dan Kanada yang merupakan negara dengan penangkapan dan penyimpanan karbon terbesar di dunia. (CCS) fasilitas sebesar 14,6 juta metrik ton per tahun (Mtpa).Perkembangan seperti ini tidak hanya menjawab kebutuhan dekarbonisasi yang mendesak, namun juga membuka jalan baru bagi pertumbuhan ekonomi dan inovasi.

Negara ini telah memprioritaskan pertumbuhan ramah lingkungan dan upaya dekarbonisasinya mulai mendapatkan momentum. Diharapkan menjadi negara dengan perekonomian terbesar keempat di dunia pada tahun 2045, dan dengan berani berupaya menjadi negara berpendapatan tinggi dalam jangka waktu yang sama, Indonesia menunjukkan fundamental ekonomi yang kuat dengan tingkat pertumbuhan tahunan sebesar 5 persen, inflasi yang stabil, dan nilai tukar yang stabil. .

Pemerintah juga telah menerapkan berbagai insentif regulasi dan fiskal untuk mendorong pertumbuhan ramah lingkungan, dengan fokus pada mobilitas listrik, pasar karbon, dan energi terbarukan. Pada bulan September 2022, Indonesia meningkatkan target Kontribusi Nasional (NDC), yang kini menargetkan pengurangan emisi tanpa syarat sebesar 31,9 persen (naik dari 29,0 persen) dan pengurangan emisi tanpa syarat sebesar 43,2 persen (naik dari 41,0 persen) dengan dukungan internasional. skenario biasa pada tahun 2030.

Khususnya, Just Energy Transition Partnership (JETP), yang dibentuk pada KTT Pemimpin G20 pada tahun 2022, semakin menegaskan komitmen Indonesia untuk mewujudkan transisi yang adil di sektor ketenagalistrikan. Di bawah JETP, Indonesia bertujuan untuk mengurangi emisi karbon hingga 250 juta metrik ton untuk sektor listrik on-grid pada tahun 2030, sekaligus meningkatkan pangsa pembangkit energi terbarukan menjadi 44 persen.

Terakhir, kekayaan mineral penting seperti nikel—yang penting untuk baterai kendaraan listrik (EV)—bersama dengan potensi penyimpanan karbon dan solusi berbasis alam (NBS) yang dimiliki Indonesia, menempatkan Indonesia sebagai pemain utama di sisi pasokan dalam pasar dekarbonisasi.Sumber daya alam dan ekosistem pendukungnya dapat membantu menciptakan peluang besar bagi bisnis di bidang energi terbarukan, produksi kendaraan listrik, dan praktik berkelanjutan.

Sektor Energi Listrik

Sektor energi Indonesia, termasuk listrik untuk pengguna akhir dan konsumsi energi panas industri, transportasi, dan bangunan, menyumbang sekitar sepertiga emisi nasional, dengan sisa emisi terutama berasal dari perubahan penggunaan lahan (seperti deforestasi dan degradasi lahan gambut), kehutanan, pertanian, dan limbah.

Sektor ketenagalistrikan, yang sebagian besar berbahan bakar batu bara, bertanggung jawab atas sekitar 40 persen emisi sektor energi tersebut. Dengan kebutuhan listrik di negara ini yang diperkirakan akan meningkat sebesar 50 persen pada tahun 2030 dan meningkat lima kali lipat pada tahun 2060, tantangannya adalah mengelola pertumbuhan ini tanpa disertai dengan peningkatan emisi.

Pemerintah Indonesia menargetkan emisi nol bersih pada tahun 2060, dengan tetap menjaga keamanan dan keterjangkauan energi.Sasaran ini mencakup peningkatan kapasitas pembangkit listrik hingga lebih dari 400 gigawatt GW pada tahun 2060, dengan sekitar 75 persen dari total kapasitas bersumber dari energi terbarukan pada tahun 2060.Indonesia memiliki sumber daya terbarukan yang sangat besar, termasuk lebih dari 550 GW tenaga surya, 450 GW tenaga angin, 100 GW tenaga air, 10 GW tenaga panas bumi (sumber terbesar di dunia), dan 20 GW tenaga biomassa. Dengan adanya sumber daya ini, sektor ketenagalistrikan net-zero di Indonesia secara teori dimungkinkan, dengan total potensi energi terbarukan lebih dari 1,1 terawatt (TW). Hal ini memberikan peluang besar bagi Indonesia.

Mewujudkan peluang sektor ketenagalistrikan

Pemerintah Indonesia telah menetapkan target energi terbarukan. Sasaran saat ini adalah 23 persen pangsa energi terbarukan dalam bauran energi pada tahun 2025, dan berpotensi meningkat di atas 30 persen pada tahun 2050. Sejalan dengan hal ini, rencana sektor ketenagalistrikan terbaru (RUPTL 2021–30) mengalokasikan lebih dari 50 persen kapasitas baru untuk energi terbarukan, dengan 65 persen dijadwalkan untuk dikembangkan oleh produsen listrik independen (IPP). Momentum terkini telah didorong oleh nota kesepahaman (MoU) dengan Singapura untuk ekspor listrik terbarukan, serta berbagai inisiatif yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di bidang manufaktur panel surya dan sistem penyimpanan energi baterai – battery energy storage systems (BESS) dalam negeri.

Baca Juga : Kuliah Umum di Stanford University, Jokowi: Indonesia Pastikan Transisi Energi Terjangkau Rakyat

Bahan bakar fosil saat ini mencakup sekitar 95 persen bauran energi (85 hingga 90 persen pembangkitan listrik). Namun, Indonesia juga mempunyai basis pembangkit listrik tenaga air dan energi panas bumi yang mapan. Selanjutnya, sejak tahun 2020, perusahaan ini telah mulai melakukan transisi ke cofiring biomassa di pembangkit listrik tenaga batu bara dan, mengingat lokasinya yang berada di garis khatulistiwa, perusahaan ini semakin fokus pada pembangkit listrik tenaga surya. Proyek energi terbarukan terutama dikembangkan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN, perusahaan utilitas listrik milik negara), Pertamina (perusahaan minyak dan gas milik negara yang fokus utamanya pada panas bumi), IPP, dan pengembang panel surya skala kecil— meskipun stabilitas jaringan listrik masih menjadi kendala besar bagi energi terbarukan berskala besar.

Pemerintah telah menerapkan persyaratan konten lokal khusus untuk proyek energi terbarukan. Peraturan ini menetapkan bahwa proyek harus menggunakan persentase minimum material dan tenaga kerja dalam negeri, khususnya untuk proyek PV tenaga surya dan BESS.

Strategi masa depan

Untuk meningkatkan sektor energi terbarukan secara efektif dan mencapai tujuan ambisiusnya, para pengambil keputusan di Indonesia dapat mengembangkan strategi multifaset yang mencakup insentif kebijakan, investasi, transfer teknologi, dan kolaborasi internasional. Tindakan prioritas yang mungkin dilakukan dapat mencakup:

Kebijakan dan peraturan energi terbarukan dan efisiensi energi: Hal ini dapat mendukung peluncuran dan pembiayaan proyek energi terbarukan dan batubara yang lebih ramah lingkungan, termasuk mengambil tindakan untuk:

  • Energi terbarukan:Standar portofolio terbarukan; pembayaran kapasitas; pengadaan terpadu dalam skala besar (idealnya dalam skala multi-GW dengan menggunakan proses yang kompetitif); pengukuran bersih; persetujuan yang disederhanakan; perjanjian dengan negara-negara tetangga untuk mengekspor listrik ramah lingkungan (meniru MoU baru-baru ini dengan Singapura); kemitraan dengan para pemimpin global di bidang teknologi terbarukan untuk memfasilitasi transfer teknologi mutakhir ke Indonesia; kampanye kesadaran untuk mendidik masyarakat tentang manfaat energi terbarukan dan cara berpartisipasi (seperti instalasi tenaga surya di atap); dan program peningkatan kemampuan untuk menciptakan tenaga kerja terampil.
  • Transisi dari batu bara:Pengambil keputusan mungkin mempertimbangkan standar rendah emisi; transisi penuh ke pembakaran biomassa di pembangkit listrik tenaga batu bara yang sesuai; penetapan harga karbon; CCS wajib; insentif pajak bagi pabrik yang memasang teknologi ramah lingkungan; dan penghentian selektif tanaman tertua dan paling berpolusi.
  • Memberikan insentif pada peningkatan produksi lokal peralatan energi terbarukan,termasuk peralatan seperti panel surya, turbin angin, dan baterai, yang dapat mengurangi biaya dan meningkatkan aksesibilitas. Usaha patungan (joint venture) sudah bermunculan dalam industri PV tenaga surya—yang merupakan indikator positif pertumbuhan sektor ini.
  • Memperbaiki lingkungan investasi Indonesia secara keseluruhan,melalui pengambil keputusan yang meninjau kerangka kebijakan; insentif pajak; proses regulasi yang disederhanakan; pembiayaan lunak; dan mekanisme mitigasi risiko. Platform investasi nasional dapat dipertimbangkan, di mana investor internasional menggunakan platform tersebut untuk berinvestasi pada kendaraan bertujuan khusus (SPV) atau dana tertentu.

Selain itu, jaringan listrik nasional perlu diadaptasi untuk menangani variabilitas dan desentralisasi sumber energi terbarukan, termasuk mengembangkan dan mengintegrasikan teknologi penyimpanan energi, serta meminimalkan kerugian transmisi dan distribusi.

Memperkuat dan memperluas jaringan listrik

Pasar transmisi global, yang diperkirakan akan mencapai $250 miliar hingga $300 miliar pada tahun 2030, berkembang pesat, didorong oleh berbagai faktor termasuk meningkatnya permintaan energi, integrasi energi terbarukan, elektrifikasi transportasi, dan kekhawatiran terhadap keamanan energi. Dalam lingkungan yang dinamis ini, Indonesia dapat memperoleh manfaat dengan segera meningkatkan jaringan listriknya, termasuk dengan memperluas interkoneksi dan jaringan antar pulau, sehingga menghubungkan sumber daya energi ramah lingkungan dengan pusat-pusat kebutuhan utama seperti Jawa dan Bali.

Mengoptimalkan peluang energi bersih

Untuk memperluas dan memodernisasi jaringan listriknya, Indonesia telah menambah ribuan kilometer jalur transmisi dan kapasitas trafo baru. Pemerintah juga telah mengembangkan interkoneksi antar pulau untuk meningkatkan distribusi dan keandalan energi serta mengurangi beban pada sistem tenaga listrik yang ada di pulau tersebut.

Perluasan dan penguatan jaringan listrik ini diperlukan untuk mengaktifkan energi terbarukan dalam skala besar dan untuk mendukung sumber daya listrik yang ditujukan untuk pengolahan mineral dalam rantai nilai teknologi ramah lingkungan, seperti baterai kendaraan listrik.

Proyek-proyek, seperti proyek interkoneksi Jawa–Sumatera 3 GW (direncanakan untuk dimasukkan dalam rencana kelistrikan jangka panjang Indonesia, RUPTL tahun 2024–34) dan pendirian pembangkit listrik kabel oleh LS Cable & System dan Artha Graha Network, menyoroti upaya yang sedang berlangsung.

Indonesia juga mendorong investasi swasta terkait di sektor ketenagalistrikan, dengan lebih dari 60 persen kapasitas baru berdasarkan RUPTL dialokasikan ke IPP. Pemerintah Indonesia sedang berupaya memperbaiki kerangka peraturan untuk memfasilitasi investasi di sektor ini.

Selain itu, pemerintah telah memulai program untuk memperluas akses listrik ke daerah pedesaan dan terpencil. Upaya-upaya ini sering kali melibatkan solusi skala kecil di luar jaringan listrik seperti panel surya dan pembangkit listrik tenaga mikrohidro, serta perluasan jaringan jaringan listrik tradisional.

Strategi masa depan

Agar Indonesia dapat mempercepat penguatan dan perluasan jaringan listriknya, tindakan prioritas dapat mencakup:

  • Meningkatkan infrastruktur transmisi dan distribusi, termasuk mengganti peralatan yang sudah tua dan memasang jalur transmisi baru yang lebih efisien. Teknologi yang ada saat ini membatasi integrasi sumber listrik yang terputus-putus, sehingga berpotensi memperpanjang ketergantungan pada tenaga batubara.
  • Meluncurkan teknologi smart grid untuk meningkatkan integrasi energi terbarukan, termasuk tenaga surya. Teknologi smart grid mencakup perancangan jaringan listrik untuk aliran energi dua arah, yang penting untuk menggabungkan sistem PV surya perumahan dan mencegah ketidakstabilan jaringan listrik.
  • Mengembangkan rantai nilai transmisi hulu — sebuah tindakan penting, seiring dengan kenaikan harga bahan baku yang signifikan (misalnya, tembaga sebesar 32 persen dan aluminium sebesar 40 persen). Mengamankan bahan-bahan tersebut penting untuk mengendalikan biaya proyek.
  • Mengembangkan pembangkit listrik rendah karbon, khususnya yang diperlukan untuk industri padat energi seperti pertambangan dan manufaktur untuk memastikan pasokan listrik yang andal dan mengurangi beban pada jaringan listrik publik.
  • Berkolaborasi dengan organisasi dan negara internasional untuk menerima bantuan teknis dan keuangan, termasuk transfer teknologi, peningkatan kapasitas, dan pendanaan proyek infrastruktur.