(Beritadaerah – Kolom) Pagi di Riau selalu dimulai dengan kabut. Kabut yang tebal, basah, dan kadang membuat dunia terasa seperti dilihat dari balik kaca berembun. Arga menghela napas panjang di beranda mess kecil milik Dinas Kehutanan. Kopi hitam di tangannya masih mengepulkan uap, sementara di kejauhan ia bisa mendengar deru mesin truk pengangkut kayu akasia.
“Sudah siap ke lapangan, Pak Arga?” suara Pak Rendra, kepala bidang produksi, memecah keheningan.
“Siap. Hari ini kita ke areal tanam ulang,” jawab Arga sambil meraih ransel yang penuh berisi formulir dan tablet untuk pengisian data e-form DKT2024—Data Kehutanan Triwulanan.
Sejak awal tahun, Arga ditugaskan oleh BPS untuk mengumpulkan data produksi kayu bulat, kayu olahan, dan hasil hutan bukan kayu di seluruh provinsi. Tugasnya adalah melihat sendiri, mencatat, dan memastikan setiap angka yang nantinya akan masuk dalam Statistik Produksi Kehutanan 2024 benar-benar mewakili kenyataan di lapangan.
Jantung Produksi Kayu Bulat Sumatera
Mobil bak terbuka membawa mereka ke tengah hamparan akasia. Pohon-pohon ini ditanam rapat, batangnya lurus menjulang, kulitnya berwarna keperakan. “Ini umur empat tahun,” kata Pak Rendra sambil menunjuk deretan batang. “Dua tahun lagi tebang, langsung tanam lagi. Kalau tidak, pabrik pulp di Pekanbaru bisa kekurangan bahan baku.”
Arga mencatat, 42,28 juta meter kubik kayu bulat dihasilkan Sumatera tahun ini—65,20 persen dari total produksi nasional. Sebagian besar dari akasia dan rimba campuran.
Namun yang membuatnya terdiam adalah hamparan lahan kosong di sisi selatan. “Kebakaran tahun lalu,” jelas seorang mandor. “Baru mau kita tanam ulang.”
Di sinilah kata reboisasi menjadi nyata. Bukan slogan, bukan program di kertas. Reboisasi adalah deretan bibit kecil di polybag, pekerja yang menanam di bawah terik matahari, dan hujan yang menjadi penentu hidup atau matinya pohon-pohon itu.
Arga memotret beberapa barisan bibit. Ia tahu foto ini akan jadi pengingat bahwa angka produksi hanya setengah cerita—setengah lainnya adalah kemampuan hutan untuk pulih.
Aroma Meranti Kalimantan dan Kisah Lama
Perjalanan berikutnya membawa Arga ke Kalimantan Timur. Di dermaga kecil, balok-balok meranti ditumpuk rapi, menunggu giliran dimuat ke kapal. Bau resin meruap di udara, memancing kenangan masa kecilnya ketika ia diajak ayahnya menebang kayu di hutan rakyat.
Data di tangannya menunjukkan, 13,15 juta meter kubik kayu bulat dihasilkan Kalimantan tahun ini—20,29 persen dari total nasional. Meranti dan rimba campuran mendominasi.
Pak Hasan, seorang penebang senior, menyalakan rokoknya dan bercerita, “Dulu, nak, hutan ini tak berujung. Sekarang, kalau tidak tanam lagi, entah apa yang tersisa.” Ia mengisap dalam-dalam, lalu menambahkan, “Pohon meranti tumbuhnya lama. Reboisasi di sini bukan main-main, harus sabar.”
Arga mendengar dengan serius. Di Kalimantan, reboisasi berarti menanam jenis pohon yang butuh waktu puluhan tahun untuk matang. Itu investasi lintas generasi—pekerjaan yang dimulai kakek, tapi baru dipanen cucu.
Hutan Rakyat Jawa yang Tertata
Di Jawa Tengah, Arga menemukan pemandangan yang berbeda. Hutan rakyat membentang di lereng-lereng bukit, dipenuhi jati, mahoni, dan sengon. Setiap bidang lahan dimiliki keluarga, dan setiap keluarga punya cerita.
Bu Sulastri, pemilik lahan 0,5 hektar, menunjukkan batang jati yang siap tebang. “Ini saya tanam waktu anak saya masuk SD. Sekarang dia kuliah.”
Data BPS mencatat, 7,21 juta meter kubik kayu bulat berasal dari Jawa—11,12 persen dari total nasional—mayoritas dari rimba campuran dan kayu indah. Siklus tebang-tanam di sini rapi, sebagian besar mengikuti pola Tebang Pilih Tanam Kembali yang dikelola Perhutani atau swadaya masyarakat.
Arga kagum melihat bagaimana reboisasi menjadi bagian alami dari budaya bertani di Jawa. “Kalau tidak nanam lagi, mau bangun rumah pakai apa nanti?” tanya Bu Sulastri sambil tertawa.
Menjaga Sulawesi, Maluku, dan Papua yang Masih Utuh
Sulawesi hanya menyumbang 0,41 juta meter kubik kayu bulat. Produksi kecil, tapi itu artinya hutan alam masih luas. Di desa pesisir Sulawesi Tenggara, Arga melihat penanaman pohon di tepi pantai untuk mencegah abrasi.
Di Papua, ia berkeliling bersama kelompok masyarakat adat yang menanam matoa di sela hutan rimba campuran. Data menunjukkan Maluku dan Papua menghasilkan 1,77 juta meter kubik kayu bulat, sebagian besar dari rimba campuran dan meranti.
Bagi mereka, reboisasi bukan sekadar mengembalikan pohon yang ditebang, tapi menjaga roh hutan yang menjadi bagian dari identitas budaya.
Nafas Ekonomi Desa
Selain kayu bulat, Arga juga mengumpulkan data hasil hutan bukan kayu. Di sebuah desa di Lampung Barat, ia mencatat panen bambu—bagian dari 29,81 juta batang bambu nasional tahun ini. Di Kalimantan Tengah, ia melihat rotan dijemur di halaman rumah—1,73 juta batang rotan tercatat tahun ini.
Ia mencatat juga produksi 595 ribu ton getah karet hutan, 108 ribu ton getah pinus, madu, sagu, atsiri cengkeh, dan jamur. Semua ini bukan hanya angka; mereka adalah denyut kehidupan ribuan keluarga.
Namun, hasil hutan bukan kayu pun bergantung pada kesehatan hutan. Tanpa pohon pelindung, bambu mudah kering, rotan sulit tumbuh, lebah kehilangan habitat.
Percakapan di Dermaga Senja
Suatu sore di dermaga kecil Kalimantan, Arga berbincang dengan Pak Hasan lagi. Langit berwarna jingga, bayangan batang meranti yang disusun rapi memanjang di atas air.
“Pak, kalau menurut bapak, apa yang paling penting untuk masa depan hutan?” tanya Arga.
Pak Hasan tersenyum tipis. “Bukan hanya tebang dengan bijak, Nak. Tapi juga tanam dengan ikhlas. Kalau tebang untuk hidup hari ini, tanam untuk hidup besok. Kalau kita cuma tebang, hutan akan hilang. Tapi kalau kita tanam, anak cucu kita masih bisa dengar suara burung di pagi hari.”
Kata-kata itu menancap di benak Arga. Ia tahu, reboisasi bukan sekadar pekerjaan teknis. Ia adalah perjanjian diam-diam antara generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
Angka yang Bernyawa
Berbulan-bulan di lapangan akhirnya membawa Arga kembali ke kantor pusat di Jakarta. Di layar komputernya, ia melihat semua angka yang terkumpul: 64,84 juta meter kubik kayu bulat, produksi per pulau, jenis kayu, hasil hutan bukan kayu, fluktuasi tiap triwulan.
Namun kali ini, angka-angka itu punya wajah. Di balik 42,28 juta meter kubik kayu Sumatera, Arga melihat wajah pekerja yang menanam bibit akasia. Di balik 13,15 juta meter kubik kayu Kalimantan, ia mendengar suara Pak Hasan. Di balik bambu, rotan, dan madu, ia mengingat tawa Bu Sulastri.
Ia mengetik laporan akhir dengan satu kalimat pembuka:
“Hutan Indonesia adalah sumber daya sekaligus warisan. Produksi adalah hasil kerja hari ini; reboisasi adalah janji untuk hari esok.”
Pesan dari Hutan
Beberapa minggu kemudian, Arga kembali berdiri di beranda mess kecil itu. Kabut pagi Riau masih sama. Deru truk masih terdengar. Tapi baginya, semua itu kini membawa pesan yang berbeda: bahwa harmoni hutan ada di keseimbangan antara memanen dan menanam kembali.
Hutan memberi kita kayu untuk rumah, bambu untuk kerajinan, madu untuk manisan, udara segar untuk napas. Balasannya sederhana: pastikan ia tumbuh kembali—lebih kuat, lebih beragam, dan lebih lestari.
Karena di balik setiap batang pohon, tersimpan masa depan kita bersama.