(Beritadaerah – Kolom)Kesehatan sering dipersempit maknanya menjadi urusan individual, tubuh yang kuat, pikiran yang jernih, dan hari-hari yang bisa dijalani tanpa rasa sakit. Namun dalam skala nasional, kesehatan adalah bahasa lain dari pembangunan. Ia berbicara tentang siapa yang dilindungi, siapa yang tertinggal, dan sejauh mana negara hadir dalam kehidupan paling dasar warganya. Indonesia tahun 2025 berada di persimpangan penting itu, ketika kesehatan tidak lagi sekadar isu sektor, melainkan fondasi menuju visi Indonesia Emas 2045.
Data Profil Statistik Kesehatan 2025 memperlihatkan gambaran yang kompleks. Sekitar 28,31 persen penduduk Indonesia mengalami keluhan kesehatan dalam sebulan terakhir. Angka ini meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dan mencerminkan perubahan yang tidak bisa dilepaskan dari dinamika demografi, gaya hidup, tekanan ekonomi, serta transisi penyakit dari infeksi ke penyakit tidak menular. Di balik persentase itu terdapat jutaan cerita tentang tubuh yang lelah, hari kerja yang terganggu, dan produktivitas yang menurun secara perlahan tetapi konsisten.
Keluhan kesehatan ini tidak tersebar merata. Perempuan melaporkan keluhan lebih tinggi dibandingkan laki-laki, kelompok usia lanjut lebih rentan dibandingkan usia produktif, dan mereka dengan tingkat pendidikan lebih rendah lebih sering mengalami gangguan kesehatan. Pola ini menunjukkan bahwa kesehatan tidak berdiri sendiri, melainkan berkelindan dengan struktur sosial. Pendidikan memengaruhi literasi kesehatan, pendapatan menentukan pilihan pengobatan, dan usia membawa akumulasi risiko yang tidak bisa dihindari. Dalam konteks ini, kesehatan menjadi indikator ketimpangan yang halus tetapi nyata.
Ironisnya, peningkatan keluhan kesehatan terjadi bersamaan dengan membaiknya akses layanan kesehatan. Fasilitas kesehatan semakin banyak, jarak semakin dekat, dan prosedur administratif relatif lebih sederhana dibandingkan satu dekade lalu. Namun data menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk yang mengalami keluhan kesehatan masih memilih mengobati sendiri. Pilihan ini sering dibaca sebagai bentuk kemandirian, tetapi juga bisa dimaknai sebagai refleksi ketidakpercayaan, kekhawatiran biaya, atau pengalaman layanan yang kurang memuaskan. Akses yang tersedia belum tentu diterjemahkan menjadi pemanfaatan yang optimal.
Di titik inilah peran jaminan kesehatan menjadi krusial. Pada 2025, sebanyak 78,04 persen penduduk Indonesia telah memiliki jaminan kesehatan. BPJS Kesehatan menjadi aktor dominan dalam perluasan perlindungan ini, baik melalui peserta mandiri maupun Penerima Bantuan Iuran. Secara konsep, angka ini merupakan lompatan besar menuju Universal Health Coverage. Dalam praktiknya, jaminan kesehatan mengubah cara rumah tangga memandang risiko sakit. Ketika biaya berobat tidak lagi sepenuhnya ditanggung sendiri, keputusan untuk mengakses layanan menjadi lebih rasional dan tidak terlalu ditunda. Namun kesenjangan antarwilayah masih terlihat jelas, terutama antara perkotaan dan perdesaan, menandakan bahwa jaminan formal belum sepenuhnya menghapus hambatan nyata di lapangan.
Cerita tentang kesehatan anak memperlihatkan wajah masa depan Indonesia. Anak balita adalah investasi jangka panjang yang hasilnya baru terasa puluhan tahun kemudian. Data menunjukkan adanya peningkatan keluhan kesehatan pada anak usia 0–4 tahun, serta kenaikan angka rawat jalan dan rawat inap dalam tiga tahun terakhir. Fenomena ini bisa dibaca dari dua sisi. Di satu sisi, meningkatnya pemanfaatan layanan bisa menandakan kesadaran orang tua yang lebih baik. Di sisi lain, ia juga mengindikasikan bahwa tantangan kesehatan anak belum sepenuhnya teratasi, terutama di lingkungan dengan sanitasi dan akses gizi yang terbatas.
Ketimpangan kembali muncul sebagai tema sentral. Anak-anak di perkotaan memiliki peluang lebih besar untuk memperoleh layanan kesehatan dibandingkan mereka yang tinggal di perdesaan. Pendidikan kepala rumah tangga dan status ekonomi keluarga sangat memengaruhi kemampuan mengakses layanan. Meski demikian, sekitar 84 persen balita telah memiliki jaminan kesehatan, sebagian besar melalui BPJS Kesehatan. Capaian ini memberikan perlindungan finansial penting bagi keluarga, mencegah biaya kesehatan anak menjadi faktor pemiskinan. Namun jaminan tanpa ketersediaan layanan yang merata berisiko menciptakan ilusi perlindungan.
Di bidang pencegahan dan gizi, Indonesia menunjukkan kemajuan yang patut dicatat. Sekitar 64 persen anak usia 12–23 bulan telah menerima imunisasi dasar lengkap, dan 72 persen bayi usia 0–5 bulan memperoleh ASI eksklusif. Pemberian Makanan Pendamping ASI juga membaik, dengan tujuh dari sepuluh anak usia 6–23 bulan mengonsumsi setidaknya lima dari delapan kelompok makanan dan minuman. Angka-angka ini menunjukkan bahwa pesan kesehatan dasar semakin diterima. Namun kekhawatiran orang tua terhadap vaksinasi dan ketimpangan akses imunisasi di daerah tertentu tetap menjadi tantangan serius. Di sinilah kesehatan bertemu dengan isu kepercayaan dan komunikasi publik.
Jika anak adalah masa depan, maka kesehatan wanita usia subur adalah poros kehidupan keluarga saat ini. Pada 2025, sekitar 23,96 persen perempuan usia 15–49 tahun melaporkan keluhan kesehatan, meningkat dibandingkan dua tahun sebelumnya. Keluhan lebih tinggi terjadi di perdesaan dibandingkan perkotaan, mencerminkan perbedaan akses, beban kerja domestik, dan kondisi lingkungan. Meskipun pemanfaatan layanan rawat jalan dan rawat inap meningkat, perilaku mengobati sendiri masih mendominasi, menandakan bahwa perubahan perilaku berjalan lebih lambat dibandingkan perluasan layanan.
Cakupan jaminan kesehatan pada kelompok ini meningkat signifikan menjadi 81,54 persen, dengan mayoritas sebagai peserta BPJS Penerima Bantuan Iuran. Namun kesenjangan antarprovinsi tetap mencolok. Aceh mencatat kepemilikan hampir universal, sementara Jambi berada di posisi terendah. Angka-angka ini mengingatkan bahwa kebijakan nasional selalu berinteraksi dengan kapasitas daerah. Desentralisasi memberi ruang inovasi, tetapi juga menghasilkan variasi capaian yang tajam.
Persalinan menjadi salah satu indikator paling konkret dari kualitas sistem kesehatan. Lebih dari 93 persen persalinan dilakukan di fasilitas kesehatan, dan 97,35 persen ditolong oleh tenaga profesional. Capaian ini mencerminkan kemajuan besar dalam perlindungan ibu dan bayi. Namun peningkatan prevalensi bayi dengan berat badan lahir rendah hingga 13,95 persen menimbulkan tanda tanya. Ia mengisyaratkan bahwa kualitas layanan antenatal, status gizi ibu, dan kondisi sosial ekonomi masih membutuhkan perhatian serius, terutama di wilayah perdesaan.
Di luar layanan langsung, perilaku berisiko tetap menjadi bayangan panjang. Merokok, baik rokok tembakau maupun rokok elektrik, masih menjadi tantangan kesehatan masyarakat yang besar. Proporsi penduduk usia 15 tahun ke atas yang merokok tetap tinggi, dengan tren penggunaan rokok elektrik yang meningkat. Beban kesehatan akibat perilaku ini tidak selalu terlihat dalam jangka pendek, tetapi akan muncul sebagai biaya kesehatan dan kehilangan produktivitas di masa depan. Upaya pengendalian perilaku berisiko membutuhkan pendekatan lintas sektor, dari regulasi hingga edukasi, dari sekolah hingga ruang publik.
Dimensi ekonomi kesehatan memperlihatkan realitas yang tidak kalah penting. Rata-rata pengeluaran kesehatan per kapita per bulan mencapai Rp39.837, meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Proporsi pengeluaran kesehatan terhadap total pengeluaran rumah tangga naik menjadi 2,54 persen. Sekitar 71 persen pengeluaran kesehatan masih didominasi biaya pengobatan kuratif, menunjukkan bahwa sistem kesehatan masih lebih reaktif dibandingkan preventif. Yang lebih krusial, sekitar setengah pengeluaran kesehatan rumah tangga masih ditanggung langsung melalui mekanisme out-of-pocket.
Pengeluaran out-of-pocket lebih besar di perkotaan dan meningkat seiring dengan naiknya tingkat kesejahteraan. Fenomena ini menunjukkan paradoks. Di satu sisi, kelompok lebih mampu memiliki akses ke layanan yang lebih mahal dan beragam. Di sisi lain, ia menandakan bahwa jaminan kesehatan belum sepenuhnya menekan beban biaya, terutama untuk layanan tertentu yang tidak sepenuhnya tercover. Dalam jangka panjang, struktur pembiayaan seperti ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian dan ketimpangan baru.
Keseluruhan potret kesehatan Indonesia 2025 memperlihatkan kemajuan yang nyata tetapi belum merata. Peningkatan cakupan jaminan kesehatan dan pemanfaatan layanan adalah sinyal positif. Namun ketimpangan wilayah, perilaku berisiko yang persisten, serta beban biaya yang masih signifikan menunjukkan bahwa pekerjaan belum selesai. Kesehatan bukan hanya urusan kementerian atau fasilitas layanan, melainkan hasil interaksi antara kebijakan publik, kondisi sosial ekonomi, dan pilihan individu.
Dalam konteks menuju Indonesia Emas 2045, kesehatan harus dipahami sebagai investasi strategis. Penduduk yang sehat lebih produktif, lebih adaptif terhadap perubahan teknologi, dan lebih mampu berpartisipasi dalam pembangunan. Sebaliknya, beban penyakit dan biaya kesehatan yang tinggi akan menggerus potensi bonus demografi. Data statistik memberi peta yang jelas, tetapi peta tidak akan bermakna tanpa keberanian untuk membaca arah dan mengambil keputusan.
Kesehatan adalah soal kehadiran negara dalam kehidupan sehari-hari warganya. Ia hadir ketika ibu hamil merasa aman memeriksakan kandungannya, ketika anak mendapat imunisasi tanpa rasa takut, dan ketika keluarga tidak jatuh miskin karena sakit. Indonesia 2025 telah melangkah jauh menuju cita-cita itu, tetapi jalan ke depan masih panjang. Menjaga kesehatan bangsa berarti menjaga masa depan, bukan hanya melalui angka dan laporan, tetapi melalui komitmen berkelanjutan untuk menjadikan sehat sebagai hak yang benar-benar dirasakan, bukan sekadar dijanjikan.


