Acara Panen Raya Labuhan Batu Utara Sumatera Utara

Musim Panen di Kampung Karsa

(Beritadaerah – Kolom) Langit pagi di Kampung Karsa mulai berwarna keemasan ketika Pak Wiryo menjejakkan kakinya di pematang sawah untuk masuk musim panen. Embun masih menempel di ujung dedaunan, dan suara burung prenjak bersahut-sahutan dari rumpun bambu dekat lumbung. Hari ini adalah hari yang dinanti sejak tiga bulan lalu, hari panen.

Pak Wiryo membawa sabit tua dengan gagang yang mulai rapuh. Ia mengayunkannya perlahan ke batang padi yang sudah menguning. Derik gesekan sabit dengan batang terdengar seperti musik yang dikenalnya sejak bocah. Namun ada yang berbeda dalam irama hari ini. Jumlah batang yang ditebasnya lebih sedikit dari biasanya.

Ia menunduk memeriksa butir padi. Sebagian tampak kosong. Entah karena kurang air atau terlalu banyak hujan. Ia menghela napas, lalu berdiri menatap ke kejauhan. Hamparan sawah membentang hingga ke kaki bukit. Pagi itu terasa indah, tetapi hatinya berat.

Di kampung itu semua orang tahu bahwa panen tahun ini lebih tipis. Menurut kabar dari anak-anak muda yang ikut pelatihan pertanian di kabupaten, data resmi menyebutkan bahwa produksi padi Indonesia tahun 2024 turun dari tahun sebelumnya. Angkanya mencapai 53 juta ton gabah kering giling. Artinya, lebih sedikit beras. Artinya, lebih banyak orang khawatir.

Di pos ronda yang setiap pagi berubah menjadi tempat berkumpul para petani, Pak Wiryo duduk bersama Pakde Sanusi dan beberapa orang lain. Mereka membawa karung-karung kecil berisi hasil ubinan untuk ditimbang. Berat gabah dihitung dengan timbangan gantung yang digantung di tiang kayu. Angka-angka muncul dan disambut gumaman.

Pakde Sanusi menyentuh janggutnya yang mulai memutih, lalu berkata pelan, “Tahun ini, Maret malah sepi panen. Dulu biasanya ramai. Sekarang geser ke April. Padi telat atau hujan datang terlalu awal, siapa tahu.”

Arif, yang duduk di sudut warung dan masih muda usia, mengangguk. Ia memegang tablet kecil yang tersambung ke alat GPS. Ia bagian dari tim pendataan pertanian yang mencatat kondisi lahan sawah. Ia menunjukkan peta kecil berisi citra satelit. Di layar terlihat blok-blok hijau, kekuningan, dan beberapa merah.

“Yang merah itu area yang gagal panen,” katanya sambil menunjuk bagian bawah layar. “Kami mencatat kenaikan lahan yang rusak. Lebih tinggi dari tahun lalu. Juni jadi bulan terparah. Air kebanyakan, lalu disusul serangan hama.”

Pak Wiryo menatap layar itu seperti melihat dunia asing. Tapi ia mencoba mengerti. Dulu, semua berdasarkan mata. Sekarang, ada satelit dan koordinat. Dulu ia hanya percaya pada langit. Sekarang langit itu dipotret dari atas dan dikalkulasi.

Survei nasional menyebutkan bahwa luas panen tahun ini menyusut. Dari 10,21 juta hektare pada 2023 menjadi 10,05 juta hektare. Turunnya sekitar 167 ribu hektare. Itu bukan angka kecil. Bagi Pak Wiryo, itu berarti satu petak sawah milik tetangganya tidak lagi ditanami padi, tapi berubah jadi kebun sayur.

Di sisi lain, para petani juga harus menghadapi kenyataan bahwa musim berubah. Puncak panen bergeser. Jika dulu terjadi pada bulan Maret, maka tahun ini April jadi bulannya. Itu membuat banyak orang salah hitung waktu tanam. Sebagian panen sebelum waktunya. Sebagian lagi tak sempat panen karena sawahnya kebanjiran.

Pakde Sanusi bercerita bahwa dulu ia menanam berdasarkan warisan perhitungan primbon. Tapi sekarang, anaknya yang merantau di kota sering mengirim pesan dari aplikasi cuaca. Bahkan kadang menyebut prediksi dari BMKG. “Dunia berubah,” katanya sambil mengisap rokok kretek.

Pak Wiryo hanya mengangguk. Ia tahu cuaca kini tak bisa ditebak. Kadang hujan turun saat langit biru. Kadang matahari bersinar saat tanah masih becek. Dan ketika musim tanam datang, ia hanya bisa berharap.

Sementara itu, di kantor kecamatan, para petugas BPS bekerja dengan tekun. Mereka mengolah data dari seluruh desa, membandingkan luas tanam dan luas panen, menandai wilayah yang mengalami penurunan produksi, lalu mengirim laporan itu ke Jakarta. Di sana, angka-angka itu menjadi dasar keputusan, menjadi rujukan kebijakan. Tapi apakah itu sampai ke Kampung Karsa, tidak ada yang tahu pasti.

Beberapa bulan lalu ada kabar bahwa pemerintah akan menambah subsidi pupuk. Tapi pupuk yang sampai ke toko hanya setengah dari yang dijanjikan. Para petani akhirnya harus membeli pupuk non-subsidi dengan harga lebih mahal. Dan hasilnya tetap belum membaik.

Pak Wiryo mulai berpikir untuk mencoba sistem tanam baru. Ia mendengar dari Arif tentang metode jajar legowo. Katanya, bisa menekan pemakaian air dan meningkatkan hasil panen. Ia juga mendengar ada petani yang mulai menanam padi organik. Tapi ia ragu. Biaya awalnya tinggi, dan pembelinya belum pasti.

Namun ia sadar bahwa bertahan saja tidak cukup. Ia harus berubah. Tanahnya harus diolah lebih cermat. Air harus ditabung. Hama harus dikendalikan dengan cara yang ramah. Dan yang paling penting, ia harus mulai mencatat. Setiap kali menanam, setiap kali panen. Agar ia tahu apa yang salah dan apa yang bisa diperbaiki.

Malam hari, ketika sawah mulai sunyi, Pak Wiryo duduk di serambi rumah. Ia membuka buku catatannya. Di sana tertulis jenis benih yang digunakan, tanggal tanam, jumlah pupuk, volume air, dan hasil panen. Ia menambahkan satu baris lagi. Hari ini panen. Hasilnya menurun. Tapi cukup untuk bertahan.

Di lumbung kecilnya terdapat beberapa karung gabah yang baru dikeringkan. Istrinya sedang menjemur sebagian di halaman. Anak bungsunya baru saja pulang dari sekolah dan menceritakan pelajaran tentang pertanian berkelanjutan.

“Pak, apa maksudnya pertanian yang tahan cuaca?” tanya anaknya.

Pak Wiryo berpikir sejenak, lalu menjawab, “Pertanian yang bisa tetap tumbuh meskipun hujan tak datang atau matahari terlalu panas.”

Anaknya mengangguk, lalu berkata, “Jadi, kita harus menanam lebih pintar, ya? Bukan cuma lebih rajin?”

Malam itu angin bertiup pelan, membawa aroma padi dan tanah basah. Di kejauhan terdengar suara jangkrik dan kodok. Kampung Karsa kembali sunyi. Namun dalam keheningan itu, ada harapan.

Pak Wiryo menatap langit, lalu menutup buku catatannya. Tahun ini mungkin tidak sebaik tahun lalu. Tapi tanah ini masih bisa ditanami. Dan selama itu masih mungkin, ia akan tetap menanam.

Karena bagi seorang petani seperti dirinya, musim bukan sekadar waktu, tapi perjanjian. Antara manusia dan tanah. Antara kerja keras dan hasil. Antara harapan dan kenyataan.

Esok pagi, sabit itu akan kembali diayunkan. Pematang akan kembali dilewati. Dan benih baru akan ditanam.

Karena itulah yang selalu dilakukan para petani sejak dahulu. Mereka tidak menunggu keajaiban. Mereka menciptakan musimnya sendiri.