(Beritadaerah-Kolom) BPS mengeluarkan indeks kebahagiaan untuk provinsi-provinsi di Indonesia. Apakah provinsi dengan kemiskinan tinggi, memiliki tingkat kebahagiaan yang rendah? Apakah provinsi dengan IPM yang tinggi memiliki tingkat kebahagiaan yang tinggi? Apakah provinsi dengan tingkat pengangguran terbuka tinggi memiliki kebahagiaan yang rendah? Pertanyaan-pertanyaan ini, pada dasarnya muncul karena kelemahan ukuran pembangunan secara makro. Indikator ekonomi makro, seperti produk domestik bruto dan pertumbuhan ekonomi ternyata masih menyisakan dua kelemahan mendasar yaitu: tidak mampu menggambarkan tingkat kemakmuran (welfare) ataupun kesejahteraan (well-being) bagi seluruh penduduk secara nyata, serta tidak dapat merefleksikan pemerataan pendapatan bagi semua penduduk suatu negara.
Indikator ekonomi makro tersebut pada dasarnya mengukur semua nilai tambah yang dihasilkan dari faktor produksi di suatu negara dalam waktu satu tahun tanpa mempertimbangkan adanya dampak positif dan negatif bagi kehidupan penduduk yang mengkonsumsi hasil produksi tersebut. Diantara seluruh konsumsi penduduk tersebut, terdapat beberapa konsumsi seperti: rokok, alkohol, zat adiktif, dan sebagainya, yang justru berdampak negatif terhadap kehidupan penduduk serta menurunkan tingkat kesejahteraan penduduk itu sendiri. Sementara itu, pelemahan bahkan krisis ekonomi secara berkepanjangan hingga saat ini yang dialami oleh berbagai negara berpendapatan perkapita tinggi, telah menunjukkan kepada kita betapa indikator ekonomi makro tersebut sesungguhnya hanya memberikan perspektif yang bersifat parsial terhadap kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan kehidupan penduduk di negara-negara tersebut.
Hingga saat ini, masih ada berbagai faktor yang berpengaruh nyata terhadap kehidupan penduduk tetapi belum dijadikan sebagai indikator kesejahteraan penduduk suatu negara. Namun, beberapa tahun terakhir sudah ada beberapa negara yang telah berinisiatif untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduknya dan perkembangan pembangunan nasionalnya menggunakan 2 (dua) jenis indikator kesejahteraan yaitu: kesejahteraan objektif (objective well-being) dan kesejahteraan subjektif (subjective well-being). Para pembuat kebijakan terkait perencanaan dan evaluasi pembangunan di berbagai negara tersebut pada dasarnya telah bersepakat untuk menggunakan indikator kesejahteraan dengan porsi yang lebih besar dibanding indikator ekonomi makro dengan alasan bahwa indikator kesejahteraan dianggap lebih mampu menggambarkan kondisi kesejahteraan penduduk atau masyarakat.
Penggunaan indikator kesejahteraan untuk mengevaluasi perkembangan pembangunan pada suatu negara, pada umumnya dipahami 2 (dua) hal, yaitu: 1) indikator ekonomi makro, misalnya: produk domestik bruto dan pertumbuhan ekonomi, merupakan indikator pembangunan yang parsial dan kurang sempurna dalam merepresentasikan tingkat kesejahteraan penduduk, dan 2) indikator kesejahteraan dianggap penting oleh sebagian besar penduduk dalam mendefinisikan keberhasilan pembangunan nasional. Namun demikian, indikator ekonomi makro yang telah digunakan selama ini tidak akan diabaikan atau digantikan dengan indikator kesejahteraan begitu saja.
Ukuran tingkat kesejahteraan penduduk pada saat ini maupun masa mendatang akan digambarkan oleh berbagai indikator kesejahteraan yang melampaui persoalan materi. Penggunaan indikator materi, seperti nilai barang dan jasa yang diproduksi suatu negara dalam waktu satu tahun (Beyond GDP). Ukuran tingkat kesejahteraan sudah semestinya mencakup berbagai faktor yang secara nyata berpengaruh terhadap kehidupan dan kesejahteraan penduduk dan masyarakat. Untuk itu, diperlukan 3 (tiga) pendekatan pengukuran tingkat kesejahteraan penduduk yaitu: (1) penggunaan berbagai indikator (moneter dan nonmoneter) untuk dikombinasikan menjadi berbagai ukuran rangkuman (summary measures) kesejahteraan yang mampu menggambarkan tingkat kesejahteraan penduduk; (2) penyusunan beberapa ukuran evaluasi terkait kehidupan penduduk (life evaluation) yang penilaiannya dilakukan secara mandiri (self assessment) oleh penduduk tersebut. Evaluasi kehidupan tersebut mencakup penilaian objektif terhadap kualitas hidup (quality of life) misalnya: kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dsb., serta penilaian subjektif terhadap pencapaian atau pengalaman hidup seperti tingkat kepuasan hidup (life satisfaction). Penilaian objektif dan subjektif tersebut kemudian digunakan untuk memperoleh gambaran keadaan terkait beberapa faktor yang dianggap penting oleh sebagian penduduk sebagai ukuran tingkat kesejahteraan; dan (3) agregasi terhadap berbagai indikator menjadi sebuah indeks komposit yang mampu menggambarkan tingkat kesejahteraan penduduk dan masyarakat secara keseluruhan dengan mempertimbangkan kaidah normalisasi dan pembobotan secara arbitrer (arbitrary weighting) terhadap berbagai indikator penyusun indeks tersebut.
Upaya peningkatan kesejahteraan penduduk memiliki dampak bagi upaya peningkatan kesejahteraan umum yang didalamnya tercakup indikasi adanya pencapaian tingkat kesejahteraan masyarakat dan sekaligus menggambarkan perkembangan sosial masyarakat (progress of society). Indikator kesejahteraan disusun tidak hanya untuk menggambarkan kondisi kemakmuran material (welfare atau being-well) saja, tetapi justru lebih mengarah kepada kondisi kesejahteraan subjektif (subjective well-being) atau kebahagiaan (happiness). Dalam berbagai pembahasan ilmiah, penggunaan istilah indikator kebahagiaan (indicator of happiness) dapat saling dipertukarkan (interchangable) dengan indikator kesejahteraan subjektif (indicator of subjective well-being) karena pada dasarnya kedua istilah tersebut memiliki makna yang hampir serupa.
Indikator kebahagiaan memiliki makna dan cakupan yang tidak hanya terbatas pada evaluasi subjektif terhadap kondisi kehidupan yang menyenangkan (pleasant life) dan kondisi kehidupan yang baik (being-well atau good life), tetapi juga pada kondisi kehidupan yang bermakna (meaningful life). Sementara itu, indikator kebahagiaan juga merupakan ukuran yang menggambarkan tingkat kesejahteraan karena kebahagiaan merupakan refleksi dari tingkat kesejahteraan yang telah dicapai oleh setiap individu. Indikator kebahagiaan yang disusun akan menggambarkan tingkat kesejahteraan subjektif terkait beberapa aspek kehidupan yang dianggap esensial dan bermakna bagi sebagian besar penduduk dan masyarakat.
Berbagai penelitian terkait kebahagiaan menunjukkan fenomena bahwa kebahagiaan penduduk akan berpengaruh secara signifikan terhadap keberhasilan pembangunan dan perkembangan sosial di masyarakat. Kebahagiaan yang telah dirasakan oleh penduduk di masa lalu akan mendorong individu tersebut untuk berusaha tetap optimal dalam mencapai tujuan hidupnya. Upaya peningkatan kapasitas merupakan salah satu cara bagi penduduk untuk beradaptasi dan menghadapi berbagai tantangan dan ketidakpastian hidup di masa depan. Dalam tataran yang lebih luas, ukuran kebahagiaan individu per individu dianggap sebagai ukuran yang menggambarkan tingkat perkembangan sosial.
Di beberapa negara berekonomi maju, indikator kebahagiaan telah dianggap penting bagi perumusan kebijakan publik dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan nasionalnya. Pemahaman yang baik tentang manfaat objektif dari upaya peningkatan kebahagiaan penduduk akan sangat membantu menempatkan topik bahasan tentang kebahagiaan sebagai bagian penting dalam rangka penyusunan kebijakan publik dalam kaitanya dengan upaya penyempurnaan kriteria evaluasi terhadap berbagai kebijakan pembangunan nasional yang telah dilaksanakan. Saat ini, beberapa negara telah berinisiatif untuk menjadikan indikator kebahagiaan sebagai indikator pembangunan nasional dan memberikan perhatian yang lebih besar dibandingkan dengan indikator kesejahteraan material ataupun indikator kemakmuran ekonomi yang telah ada.
Indeks Kebahagiaan Indonesia
BPS melakukan pengukuran tingkat kebahagiaan penduduk tahun 2021 diukur berdasarkan data hasil Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK) tahun 2021. Survei ini dilaksanakan secara serentak di seluruh kabupaten/kota di 34 provinsi di seluruh Indonesia. Survei dilaksanakan pada rentang waktu tanggal 1 Juli sampai 27 Agustus 2021. Unit analisis adalah rumah tangga yang dipilih secara acak (random).
Indeks Kebahagiaan di Indonesia pada tahun 2021 mengalami peningkatan dari 2017. Sementara, pada tahun 2021 kondisi pandemi Covid-19 masih melanda. Pertanyaan yang mengiringi adalah, apakah pandemi mengurangi kebahagiaan seseorang dalam pencapaian hidupnya? Kebahagiaan sebagai suatu ukuran subjektif dapat disandingkan dengan ukuran objektif hasil pembangunan lainnya. Sehingga, kebahagiaan juga perlu diukur perkembangannya.
Indeks Kebahagiaan 2021 mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan tahun 2017. Indeks Kebahagiaan 2021 meningkat 0,8 poin, dari 70,69 Menjadi 71,49 dari skala 0-100. Metode pengukuran Indeks Kebahagiaan tahun 2021 diukur dengan metode baru, dimana kontribusi 2017 menjadi tahun dasar ukuran kebahagiaan. Hal ini disebabkan perkembangan framework Indeks Kebahagiaan dari satu Dimensi Kepuasan Hidup pada 2014 menjadi tiga dimensi pada 2017 dan 2021, di mana, terdapat penambahan Dimensi Perasaan dan Dimensi Makna Hidup pada ukuran Indeks Kebahagiaan.
Indeks Kebahagiaan menurut Provinsi
Indeks Kebahagiaan tahun 2021 meningkat sebesar 0,80 poin dibanding tahun 2017. Peningkatan Indeks Kebahagiaan juga terjadi pada sebagian besar provinsi di Indonesia. Tiga provinsi dengan peningkatan terbesar dibanding provinsi lain adalah Jambi, Sulawesi Barat, dan Kalimantan Utara, masing-masing sebesar 4,72 poin, 3,44 poin dan 3,00 poin.
Indeks Kebahagiaan menurut Provinsi, 2017 dan 2021
Sumber : BPS 2021
Terdapat 10 provinsi yang mengalami penurunan Indeks Kebahagiaan. Provinsi-provinsi tersebut adalah Aceh, Riau, Sumatera Selatan, dan Bengkulu untuk kawasan Sumatera. Untuk kawasan Jawa-Bali-Nusa Tenggara yang turut mengalami penurunan Indeks Kebahagiaan yaitu: DKI Jakarta, Banten, Yogyakarta, Bali dan Nusa Tenggara Barat. Sementara untuk kawasan kalimantan terdapat pada Provinsi Kalimantan Timur.