(Beritadaerah – Kolom) Skenario bauran energi, yaitu skenario optimal dan skenario low carbon, mempertimbangkan pencapaian target EBT sebesar 23% mulai tahun 2025. Pada skenario optimal masih mempertimbangkan prinsip least cost, sehingga porsi bauran energi dari batubara pada tahun 2030 masih cukup tinggi sekitar 64%. Sedangkan pada skenario low carbon, porsi batubara pada tahun 2030 menurun hingga sekitar 58%, digantikan oleh co-firing biomasa dan gas. Kedua skenario bauran energi tersebut dijelaskan sebagai berikut:
Skenario Optimal
Bauran energi pada tahun 2030 diproyeksikan akan menjadi batubara 64%, gas alam (termasuk LNG)11,5%, EBT 23%, BBM 0,4%, dan potensi EBT 1,2% sesuai dengan kebijakan Pemerintah untuk meningkatkan pemanfaatan EBT, serta mengurangi pemakaian BBM. Setelah mengidentifikasi dan mengoptimalkan potensi-potensi energi baru dan terbarukan (EBT) yang dapat dikembangkan hingga tahun 2030, bauran energi dari EBT akan meningkat dari 12,4% pada tahun 2021 menjadi sebesar 23% pada tahun 2025 sesuai target Pemerintah.
Kunci pencapaian target EBT sekitar 23% pada tahun 2025 yang terbesar adalah dari pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) dan air (PLTA) dimana dapat menghasilkan energi dalam jumlah besar. Namun target tersebut tidak mudah untuk dicapai karena keterlambatan pengembangan PLTP dan PLTA, walaupun pembangkit tersebut telah dimulai implementasinya sejak ditetapkan dalam Proyek Percepatan Pembangkit Tahap 2 (FTP2) pada tahun 2010. Perlu upaya dari Pemerintah dan berbagai pihak untuk dapat mengatasi kendala-kendala yang selama ini mengakibatkan PLTP dan PLTA tersebut tidak dapat diimplementasikan sesuai jadwal, antara lain kendala pembebasan lahan, eksplorasi, lingkungan, sosial dan keekonomian. Apabila PLTP dan PLTA tersebut tidak dapat beroperasi pada tahun 2025, maka akan sangat sulit mencapai target EBT 23%, apalagi bila mengandalkan pembangkit Variable Renewable Energy (VRE) seperti surya dan bayu yang produksi energinya rendah dan berfluktuasi.
Berdasarkan informasi dari Direktorat Jenderal EBTKE, bahwa pengembangan PLTP memerlukan waktu yang sangat lama, sehingga sebagian besar diperkirakan baru akan beroperasi pada tahun 2028-2030, maka PLTP-PLTP tersebut tidak dapat diandalkan untuk mencapai target bauran energi dari EBT 23% pada tahun 2025. Hal ini menyebabkan upaya pencapaian target EBT tersebut menjadi semakin berat, sehingga diperlukan strategi lain, diantaranya:
Implementasi co-firing bahan bakar PLTU dengan memanfaatkan biomasa (pelet kayu, saw dust dll.), dengan porsi rata-rata 10% untuk PLTU di Jawa-Bali dan 20% untuk PLTU di luar Jawa-Bali, dengan CF 70%, total kapasitas ekuivalen 2.700 MW (kebutuhan biomasa hingga 14 juta ton/tahun). Co-firing biomasa pada PLTU akan berdampak pada penurunan efisiensi pembangkit serta potensi peningkatan BPP. Saat ini uji coba co-firing yang telah dilakukan dengan porsi maksimal 5% biomasa (tanpa penambahan investasi). Sedangkan untuk mencapai porsi biomasa sebesar 10%-20% maka masih diperlukan pengujian lebih lanjut dan kemungkinan penambahan investasi.
Mempertimbangkan kondisi over supply karena pertumbuhan demand yang lebih rendah, maka pemenuhan target bauran energi dari EBT sebesar 23% pada tahun 2025 diupayakan dengan program yang tidak menambah capex, namun hanya membutuhkan opex, seperti program co-firing biomasa pada PLTU. Untuk mengatasi kebutuhan feedstock biomasa yang besar maka PLN bersama Pemerintah dan swasta bekerja sama untuk membangun hutan industri, sehingga tidak mengganggu kelestarian hutan. Lonjakan kebutuhan biomasa antara tahun 2024 dan 2025 terjadi karena implementasi co-firing dilaksanakan secara bertahap. Dari tahun 2021–2024 merupakan tahap persiapan ekosistem bisnis baik dari sisi komersil, regulasi maupun kerjasama antara stakeholder terkait untuk implementasi industri feedstock biomasa, kesiapan teknologi, dan lain sebagainya sehingga program co-firing dapat dilaksanakan secara menyeluruh mulai tahun 2025.
Agar dapat mencapai target EBT 23% pada 2025, maka dibutuhkan biomasa untuk co-firing dalam jumlah yang sangat besar, hingga mencapai 14 juta ton per tahun. Hal ini menjadi tantangan bagi Pemerintah maupun stakeholder terkait untuk dapat memastikan keberlangsungan/ketersediaan feedstock biomasa dalam jangka panjang. Selain itu, pemerintah harus dapat mengendalikan harga biomasa tetap kompetitif sehingga tidak berdampak pada peningkatan BPP tenaga listrik.
Total penambahan PLTS/PLTB hingga tahun 2030 yang sangat besar merupakan sebuah tantangan bagi PLN untuk dapat meningkatkan kesiapan sistem dalam menerima sifat intermitensi PLTS/PLTB dalam jumlah yang sangat besar. Selain itu, dari investasi diharapkan PLTS/PLTB dapat semakin murah, sehingga secara keekonomian dapat lebih layak.
Dengan kondisi keekonomian saat ini, PLTS belum dapat bersaing dengan beban dasar. Kementerian ESDM mengasumsikan harga PLTS bisa menjadi USD 4 c/kWh, namun asumsi ini perlu dibuktikan dengan tender terbuka. Asumsi harga PLTS USD 4 c/kWh akan membuat perhitungan BPP menjadi terlalu rendah. Namun akan sangat membantu bagi PLN apabila Kementerian ESDM dapat menetapkan asumsi harga tersebut dalam regulasi tarif PLTS.
Dukungan pemerintah diperlukan untuk menetapkan dan menekankan pelaksanaan grid code yang mengakomodir isu keandalan sistem akibat injeksi VRE. Solusi-solusi untuk mempertahankan keandalan sistem tersebut akan berdampak pada penambahan biaya. Sehingga Pemerintah perlu menetapkan pihak yang seharusnya menanggung penambahan biaya tersebut.
Skenario Low Carbon
Skenario low carbon dilakukan dengan menurunkan porsi bauran energi dari batubara dengan meningkatkan co-firing biomasa dan pemanfaatan gas, serta tetap menjaga bauran energi EBT minimal 23% pada tahun 2025-2030. Bauran energi pada tahun 2030 diproyeksikan akan menjadi batubara 59,8%, gas alam (termasuk LNG) 15,6%, EBT 24,2%, dan BBM 0,4%. Dengan implementasi co-firing yang agresif dan akan beroperasinya PLTP dan PLTA, maka bauran energi dari EBT menjadi sekitar 24,2% pada 2030.
Dalam RUKN 2019 – 2038, bauran energi pembangkitan tenaga listrik pada tahun 2025 ditargetkan terdiri dari batubara sekitar 55%, gas sekitar 22%, EBT sekitar 23% dan BBM sekitar 0,4%. Bauran energi EBT dan BBM dalam RUPTL 2021 – 2030 telah sesuai dengan RUKN tersebut, namun terdapat perbedaan untuk bauran energi dari batubara dan gas. Hal ini karena dalam perhitungan bauran energi, PLN tetap mempertimbangkan upaya untuk menurunkan biaya pokok penyediaan tenaga listrik, banyaknya PLTU batubara yang sudah committed dan on going serta potensi penurunan pasokan gas pipa di masa yang akan datang dan akan digantikan oleh LNG dengan harga yang lebih mahal.
Dalam rangka mengurangi bauran energi dari batubara hingga menjadi 59,4% pada tahun 2030, maka diperlukan upaya sebagai berikut:
- Implementasi co-firing biomasa pada PLTU PLN dengan porsi rata-rata 10% untuk PLTU di Jawa-Bali dan 20% untuk PLTU di luar Jawa-Bali, dengan CF 70%, total kapasitas ekuivalen 2.700 MW (kebutuhan biomasa sekitar 11,8 juta ton/tahun).
- Untuk PLTU baru yang direncanakan beroperasi setelah tahun 2025, didesain agar dapat beroperasi dengan porsi co-firing minimal 30%.
- Mempertimbangkan sumber pasokan gas yang semakin menurun (declining), maka peningkatan kebutuhan gas akan dipenuhi dengan LNG yang harganya lebih mahal.
Penurunan bauran energi dari batubara, serta peningkatan co-firing biomasa dan gas/LNG, mengakibatkan peningkatan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik dan adanya potensi Take or Pay (ToP) pembangkit IPP. Pada skenario low carbon, BPP akan meningkat hingga Rp 183/kWh, atau diperlukan tambahan subsidi dan kompensasi hingga Rp 72,8 triliun pada tahun 2030.