(Beritadaerah-Kolom) Upaya pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya masih menghadapi kendala pada banyak aspek, sebab kesejahteraan mencakup masalah multidimensi. Hal ini semakin diperparah dengan adanya pandemi Covid-19 yang mulai terdeteksi di Indonesia pada awal Maret 2020. Masifnya tingkat penularan Covid-19 membuat masyarakat mengalami krisis kesehatan sehingga memaksa pemerintah untuk memfokuskan kebijakan pada aspek tersebut. Akan tetapi, upaya untuk menghambat penyebaran virus Covid-19 telah menghambat kegiatan perekonomian yang kemudian berdampak pula terhadap tingkat kesejahteraan (UNICEF, UNDP, PROSPERA, & SMERU, 2021). Berdasarkan data yang dirilis BPS (2021), terlihat bahwa kondisi ekonomi Indonesia pada triwulan I-2021 terhadap triwulan I-2020 mengalami penurunan sebesar 0,74 persen (y-on-y). Lapangan Usaha Transportasi dan Pergudangan mengalami kontraksi pertumbuhan terdalam dari sisi produksi, sedangkan dari sisi pengeluaran yaitu Komponen Pengeluaran Konsumsi Lembaga Non Profit Yang Melayani Rumah tangga (LNPRT). Selain itu, pada Maret 2021 juga diketahui terjadi inflasi sebesar 0,08 dengan Indeks Harga Konsumen sebesar 106,15.
Izzati (2020) menjelaskan, penurunan aktivitas ekonomi disebabkan oleh menurunnya produktifitas individu ataupun perusahaan. Ditambah lagi dengan kebijakan pembatasan aktivitas fisik (physical distancing) dan pembatasan sosial mengakibatkan banyak pabrik, kantor, dan pusat bisnis tutup sementara. Pada akhirnya, banyak pekerja yang kehilangan mata pencaharian dan kemiskinan pun meningkat. Sekitar 1 dari 10 orang atau 10,14 persen penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Angka kemiskinan ini mengalami peningkatan 0,36 persen poin terhadap Maret 2020.
Selain itu, terjadi peningkatan pula pada Gini Ratio yang menunjukkan ketimpangan pengeluaran penduduk. Pada Maret 2021, Gini Ratio sebesar 0,384 meningkat 0,003 poin dibandingkan Maret 2020. Namun demikian, baik tingkat kemiskinan maupun ketimpangan sudah mengalami perbaikan jika dibandingkan kondisi September 2020. Hal ini tidak lepas dari usaha pemerintah menyalurkan bantuan sosial pada masyarakat. Pemerintah memerlukan ukuran indikator-indikator kesejahteraan rakyat yang mencerminkan kondisi masyarakat seperti angka kemiskinan, gini ratio angka rawan pangan, dan sebagainya untuk memantau dan mengevaluasi capaian kebijakan-kebijakan sosial yang telah dibuat. Tidak hanya dalam pada masa pandemi Covid-19, tetapi juga untuk mengukur capaian target pembangunan pada RPJMN dan RPJPM.
Pada tingkat global, indikator indikator kesejahteraan rakyat tersebut juga digunakan untuk melihat kondisi Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) merangkum agenda – agenda peningkatan kesejahteraan masyarakat yang ingin dicapai pada tahun 2030, utamanya pada tujuan pertama dan kedua yang sangat berkaitan dengan aspek kesejahteraan rakyat dari sisi pemenuhan pangan masyarakat.
BPS melalui Susenas terus mendukung pemerintah dalam usaha peningkatan kesejahteraan rakyat dengan menyediakan indikator-indikator yang dibutuhkan. Susenas menjadi salah satu survei utama yang menyediakan data-data tersebut. Data Susenas dikumpulkan langsung melalui wawancara dengan penduduk yang menjadi responden sehingga mencerminkan kondisi sebenarnya di masyarakat. Informasi konsumsi dan pengeluaran baik untuk komoditas makanan dan bukan makanan dikumpulkan secara periodik. Kemudian data tersebut diolah sehingga menghasilkan indikator indikator guna mengevaluasi program program kebijakan pemerintah yang telah dilaksanakan.
Konsumsi masyarakat Indonesia saat ini terus tumbuh sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan konsumsi masyarakat, dalam hal ini pengeluaran agregat konsumsi rumah tangga, menyumbang porsi yang cukup besar bagi pertumbuhan ekonomi (Wicaksono, Nugroho, & Woroutami, 2020) Pendekatan pengeluaran lebih sering digunakan untuk mendapatkan informasi tentang agregat konsumsi dibandingkan informasi tentang pendapatan karena informasi tentang pendapatan penduduk cenderung underestimate.
Berdasarkan hasil Susenas Maret 2021, rata-rata pengeluaran sebulan untuk konsumsi setiap penduduk Indonesia sebesar 1.264.590 rupiah. Nilai ini meningkat sekitar 38.905 rupiah atau 3,17 persen jika dibandingkan Maret 2020 (1.225.685 rupiah/kapita/bulan). Hal ini dapat menjadi indikasi bahwa terjadi peningkatan biaya kebutuhan hidup masyarakat selama masa pandemi ini. Seperti hasil penelitian yang dilakukan UNICEF, UNDP, Prospera, dan SMERU pada akhir tahun 2020, dimana sekitar hampir seperempat (24,4 persen) responden mengalami peningkatan pengeluaran yang berasal dari naiknya biaya belanja bahan makanan dan kebutuhan pokok lainnya disaat sebagian besar rumah tangga mengalami penurunan pendapatan (UNICEF, UNDP, PROSPERA, & SMERU, 2021). Secara cara umum, konsumsi penduduk dibedakan menjadi konsumsi makanan dan bukan makanan. Rata-rata setiap penduduk Indonesia menghabiskan sebanyak 622.845 rupiah untuk memenuhi kebutuhan makanan, sedangkan pengeluaran untuk konsumsi bukan makanan sebesar 641.744 rupiah. Dengan kata lain, pangsa pengeluaran pangan, atau perbandingan antara total pengeluaran makanan terhadap total pengeluaran keseluruhan, yaitu sebesar 49,25 persen. Pangsa pengeluaran pangan Maret 2021 mengalami sedikit peningkatan jika dibandingkan Maret 2020 (49,22 persen).
Menurut Hukum Working (1943), pangsa pengeluaran pangan dan ketahanan pangan memiliki hubungan negatif. Oleh karena itu, semakin kecil pangsa pengeluaran pangan rumah tangga akan menjadi indikasi bahwa semakin kuat ketahanan pangannya. Pangsa pengeluaran pangan dapat dipengaruhi beberapa faktor, seperti pendapatan, jumlah tanggungan keluarga, pendidikan ibu, dan sebagainya (Rachmah, Mukson, dan Marzuki, 2017).
Pada Maret 2021, kenaikan nilai pengeluaran terjadi hampir pada seluruh kelompok komoditas makanan, kecuali kelompok Buah-Buahan dan Makanan & Minuman Jadi. Nilai rata-rata pengeluaran kelompok Umbi-Umbian merupakan yang terendah dibanding kelompok komoditas makanan lainnya. Akan tetapi, kelompok Umbi-Umbian memiliki kenaikan rata-rata pengeluaran per kapita sebulan tertinggi dibanding periode sebelumnya, yaitu sebesar 23 persen dengan nilai 6.361 rupiah pada Maret 2020 menjadi 7.841 rupiah/kapita/bulan pada Maret 2021. Di sisi lain sebagai sesama sumber utama karbohidrat, kenaikan rata-rata pengeluaran Padi-Padian hanya sekitar empat persen yaitu 66.789 rupiah pada Maret 2020 menjadi 69.786 rupiah/ kapita/bulan pada Maret 2021.