(Beritadaerah – Infrastruktur) Sumatera memiliki beberapa proyek-proyek strategis pembangunan pembangkit yang sedang dikerjakan saat ini. PLTA Peusangan 1-2 serta PLTA Asahan III, merupakan pembangkit- pembangkit yang sangat strategis karena selain proyek-proyek ini akan dapat memasok kebutuhan beban, sekaligus juga akan memperbaiki BPP sistem Sumatera dan meningkatkan pemanfaatan EBT.
PLTU MT di Sumatera total sekitar 3.300 MW merupakan proyek strategis untuk memenuhi kebutuhan Sistem Sumatera dan sekaligus menurunkan BPP.
Pembangkit terbesar yang direncanakan beroperasi di Sistem Sumatera adalah PLTU Sumsel-8 MT (2×600 MW) dengan target COD tahun 2022. Dengan masuknya PLTU MT kelas 600 MW tepat waktu di Sistem Sumatera, maka BPP Sistem Sumatera akan turun. Namun di sisi lain dikarenakan mundurnya COD beberapa pembangkit kelas 300 MW, terdapat potensi stabilitas Sistem jika PLTU Sumsel-8 mengalami gangguan.
Dalam pengembangan sistem pembangkitan, dimasukkan juga kuota pembangkit intermittent (surya dan angin) di sistem interkoneksi dan sistem isolated. Besarnya kuota kapasitas pembangkit intermittent tersebut didasarkan melalui kajian teknis ataupun ekonomis yang dapat diakomodir di setiap sistem, serta mempertimbangan kan juga penyerapan teknologi terkini.
Pengembangan pembangkit intermittent di Sistem Sumatera merupakan langkah strategis yang diambil PLN agar terjadi transfer knowledge dan experience tentang pembangkit intermittent yang perkembangannya di dunia saat ini sangat cepat. Selain itu juga tedapat multiple effect dapat menurunkan biaya investasi PLTS jika penggunaannya sudah banyak.
Rencana interkoneksi Sumatera-Malaysia, merupakan salah satu potensi proyek strategis yang dapat meningkatkan keandalan pasokan serta meningkatkan utilitas pembangkit, mengingat terdapat perbedaan WBP di kedua sistem. Dalam perhitungan neraca daya Interkoneksi tersebut sudah diperhitungkan pada tahun 2030.
Terdapat juga potensi interkoneksi Sistem Sumatera ke Sistem Singapura. Dengan rencana tambahan pembangkit EBT di Sistem Sumatera sebesar 49% serta potensi pembangkit EBT sampai 10 GW EBT, maka transfer energi ke Singapura dapat di klaim sampai dengan 100% EBT jika memang dibutuhkan.
Di sistem-sistem kepulauan yang terpisah dari Sistem Sumatera, penambahan pembangkit diutamakan menggunakan pembangkit EBT setempat, namun untuk menjaga keandalan serta mendapatkan nilai keekonomian direncanakan juga hybrid dengan Baterai dan Diesel.
Pada Sistem Bintan dan Belitung pada tahun 2029-2030 direncanakan PLT EBT base, dimana pengembangan pembangkit ini merupakan kombinasi antara pembangkit EBT maupun energy storage dengan pola operasi, keandalan dan harga yang diharapkan dapat bersaing dengan PLTU setempat.
Dalam rangka pemanfaatan potensi energi setempat dan meningkatkan nilai tambah, PT Bukit Asam sebagai perusahaan BUMN telah mendapatkan penugasan dari Pemerintah untuk melaksanakan hilirisasi produk batubara. Dalam hal badan usaha tersebut akan membangun pembangkit tenaga listrik, maka dimungkinkan dengan skema take and pay dengan PLN. sehingga pembangkit tersebut tidak akan membebani operasi PLN dalam mengembangkan sistem ketenagalistrikan.
Dalam RUPTL 2021-2030 direncanakan beberapa PLTS dan PLTB baru yang akan dibangun oleh PLN di Sistem Sumatera-Bangka sebesar 173 MW. Strategi ini merupakan bentuk komitmen PLN untuk menjadikan pembangkit EBT sebagai basic bisnis PLN kedepannya.
Selain skema pembangunan pembangkit oleh swasta, saat ini PLN dan PUPR juga sedang melakukan skema kerjasama pembangunan PLTA bersama, dimana recovery investasinya akan ditanggung oleh PUPR dan PLN.
Pada tahun 2021 ini PLN sudah berkomitmen dengan Pertamina Hulu Rokan (PHR) untuk mensuplai sistem Block Rokan. Dalam rangka melayani kebutuhan listrik di PHR tersebut, PLN telah mengakuisisi MCTN (Mandau Cipta Tenaga Nusantara) sebagai pembangkit yang mensuplai sistem PHR. Pembangkit yang dimiliki MCTN ini adalah PLTG Cogeneration 3×100 MW yang dapat mensuplai listrik dan uap ke sistem PHR. Sistem PHR ini merupakan sistem 60 Hz (frekuensi PLN 50 Hz) yang akan dioperasikan terpisah dengan sistem Sumatera sampai dengan tahun 2024. Untuk memperkuat pasokan ke PHR direncanakan akan diinterkoneksikan Sistem Sumatera mengunakan converter frekuensi (Konverter HVDC Back to Back) 50/60 Hz pada tahun 2024. Dengan terinterkoneksinya sistem PHR dan Sistem Sumatera ini, maka operasi di kedua Sistem dapat dioptimalkan sesuai kebutuhan (Eksport/Import). Selain itu juga pasokan ke sistem PHR akan lebih handal, karena tidak bergantung pada satu pembangkit saja.
Berdasarkan analisa dengan kondisi beban seperti yang tercantum di neraca daya Sistem Sumatera, diindikasikan terdapat potensi oversupply 
energi base sampai tahun 2030. Penyebab potensi oversupply tersebut adalah banyaknya pembangkit baseload yang sudah committed, sehingga pada saat luar beban puncak terjadi kelebihan pembangkit. Untuk memperkecil resiko tersebut maka direncanakan akan dikembangkan PLTA Pump storage 4×250 MW (2029-2032) dan BESS Sumatera 300 MW (2030). Dengan adanya storage tersebut maka kelebihan daya saat kondisi luar beban puncak dapat disimpan untuk digunakan di saat beban puncak.
Selain antisipasi di sisi pembangkit tersebut, di sisi demand juga perlu dilakukan langkah-langkah untuk meningkatkan pertumbuhan dan menggali potensi-potensi demand baru (seperti interkoneksi antar negara, kerjasama wilayah usaha, atau kerjasama dengan industri-industri program Pemerintah), untuk hal ini diperlukan peran Pemerintah untuk mengkoordinasikan berbagai sektor agar tercapai ke-sinergian yang berorientasi B to B (Business to Business).