(Beritadaerah-Nasional) Skenario low carbon dilakukan dengan menurunkan porsi bauran energi dari batubara dengan meningkatkan co-firing biomasa dan pemanfaatan gas, serta tetap menjaga bauran energi EBT minimal 23% pada tahun 2025-2030.Bauran energi pada tahun 2030 diproyeksikan akan menjadi batubara 59,8%, gas alam (termasuk LNG) 15,6%, EBT 24,2%, dan BBM 0,4%. Dengan implementasi co-firing yang agresif dan akan beroperasinya PLTP dan PLTA, maka bauran energi dari EBT menjadi sekitar 24,2% pada 2030.
Dalam RUKN 2019 – 2038, bauran energi pembangkitan tenaga listrik pada tahun 2025 ditargetkan terdiri dari batubara sekitar 55%, gas sekitar 22%, EBT sekitar 23% dan BBM sekitar 0,4%. Bauran energi EBT dan BBM dalam RUPTL 2021 – 2030 telah sesuai dengan RUKN tersebut, namun terdapat perbedaan untuk bauran energi dari batubara dan gas. Hal ini karena dalam perhitungan bauran energi, PLN tetap mempertimbangkan upaya untuk menurunkan biaya pokok penyediaan tenaga listrik, banyaknya PLTU batubara yang sudah committed dan on going serta potensi penurunan pasokan gas pipa di masa yang akan datang dan akan digantikan oleh LNG dengan harga yang lebih mahal.
Komposisi Bauran Energi Listrik Berdasarkan Jenis Bahan Bakar Indonesia (GWh) Skenario Low Carbon
Sumber : PLN 2021
Dalam rangka mengurangi bauran energi dari batubara hingga menjadi 59,4% pada tahun 2030, maka diperlukan upaya sebagai berikut:
- Implementasi co-firing biomasa pada PLTU PLN dengan porsi rata-rata 10% untuk PLTU di Jawa-Bali dan 20% untuk PLTU di luar Jawa-Bali, dengan CF 70%, total kapasitas ekuivalen 2.700 MW (kebutuhan biomasa sekitar 11,8 juta ton/tahun).
- Untuk PLTU baru yang direncanakan beroperasi setelah tahun 2025, didesain agar dapat beroperasi dengan porsi co-firing minimal 30%.
- Mempertimbangkan sumber pasokan gas yang semakin menurun (declining), maka peningkatan kebutuhan gas akan dipenuhi dengan LNG yang harganya lebih mahal.
Proyeksi bauran energi dalam RUPTL ini sedikit berbeda dengan proyeksi bauran energi yang ada pada RUKN 2019-2038. Beberapa hal berikut menjelaskan terjadinya perbedaan proyeksi tersebut:
- Proyeksi bauran energi pada RUPTL akan selalu berpedoman pada proyeksi bauran energi yang telah ditetapkan pada RUKN, dengan tetap memperhatikan keseimbangan supply dan demand dan prinsip keekonomian.
- Dalam hal terjadi pembaruan asumsi-asumsi yang menyebabkan pembaruan proyeksi kebutuhan energi, maka diperlukan penyesuaian- penyesuaian terhadap perencanaan proyek-proyek ketenagalistrikan, dengan mempertimbangkan kondisi kemampuan perusahaan saat itu.
- Pada RUKN, mulai tahun 2025 bauran energi diatur secara spesifik untuk pencapaian target minimum atau maksimum, dan ini berlaku untuk bauran energi yang berasal dari EBT (minimum), BBM (maksimum), dan batubara (maksimum). Sedangkan bauran energi yang berasal dari gas, meskipun terdapat target berupa angka indikatif, namun tidak diatur secara spesifik tentang target minimum atau maksimum.
- Memperhatikan poin 1, 2, dan 3 tersebut, maka PLN memandang perlu untuk melakukan penyesuaian proyeksi bauran energi pada batubara dengan bauran energi gas sebagai penyangga. Dengan demikian, bauran energi dari EBT dan BBM dapat tetap dijaga sesuai dengan proyeksi bauran energi yang telah diatur oleh RUKN.
Penurunan bauran energi dari batubara, serta peningkatan co-firing biomasa dan gas/LNG, mengakibatkan peningkatan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik dan adanya potensi Take or Pay (ToP) pembangkit IPP. Pada skenario low carbon, BPP akan meningkat hingga Rp 183/kWh, atau diperlukan tambahan subsidi dan kompensasi hingga Rp 72,8 triliun pada tahun 2030.
Pemerintah telah menyadari adanya potensi peningkatan BPP dan subsidi/kompensasi akibat pemanfaatan energi bersih (EBT dan gas), sehingga akan tetap memenuhi kebutuhan subsidi/kompensasi tersebut guna menjaga keberlangsungan bisnis PLN. Mempertimbangkan hal tersebut, maka selanjutnya skenario yang digunakan dalam RUPTL ini adalah skenario low carbon.