Pedagang cermin memotret salah satu produk yang akan dipasarkannya di aplikasi jual beli di kawasan Pejompongan, Jakarta, Minggu (8/8/2021). Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar PandjaitanÊmenargetkan pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang memasarkan produknya di perdagangan digital (e-commerce) pada tahun 2023 sebanyak 30 juta pelaku usaha. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/wsj.

Meningkatnya E Commerce Di Pedesaan

(Berita Daerah – Nasional)  Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Tranmsigrasi, Abdul Halim Iskandar pada hari Rabu (29/9/2021), pada Jateng Digital Conference 2021 menyampaikan perkembangan e-commerce di desa-desa.  Ada sekitar 1.852 Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang memasarkan produk melalui e-Commerce dan di media sosial.

BUMDes yang masuk e-commerce ini jumlahnya meningkat adalah kemajuan masuknya digital di desa-desa.  Hal ini juga dipacu oleh pemasaran produk dengan partisipasi generasi muda.  Peningkatan jumlah BUMDes yang masuk ke dunia e-commerce menjadi tanda kemajuan digital di desa-desa, semakin banyaknya partisipasi generasi muda menyebabkan proses pembangunan di desa semakin melek digital.

Menteri Halim menjelaskan bahwa sekarang ini antara digital dan desa sudah berjalan seiring, tidak ada lagi kontradiksi.  BUMDes Bersama di desa-desa sudah dibangun, seperti di Panggungharjo, ada 10 desa mengadakan pasardesa.id, yang ekarang sudah mencapai miliaran omzetnya.

Menteri Halim juga menyampaikan ada sekitar 3.700 desa yang belum ada jaringan internet dari jumlah 74.961 desa di Indonesia.  Oleh karena itu, Pemerintah berusaha meningkatkan ketertinggalan dan terus meningkatkan pembangunan internet di desa-desa.

Sesuai dengan laporan Riset ‘ Unclocking Next Wave of Digital Growth: Beyond Metropolitan Indonesia’, diungkapkan bahwa dengan terjadi pandemi maka situs belanja daring atau e-commerce menjadi tulang punggung ekonomi digital baik di kota kecil maupun di desa-desa.  Terdapat kondisi warga yang berbeda dalam mengadopsi digital  di 15 kota metropolita yang jadi Tier 1, dibandingkan 76 kota Rising Urbanites, sebagai Tier 2 (ada di 3 kota yaitu Semarang, Makassar dan Denpasar). Yang menjadi Tier 3, sebagai Slow Adopters ada 101 kota/kabupaten.  Dan Tier 4 sebagai Rigid Watchers di 322 kota/kabupaten.

Menurut Partner and President Director Kearney, Shirley Santoso ada 2 Penyebab kenapa e-commerce dijadikan garda terdepan untuk kemajuan ekonomi di kota- kota yang  tidak termasuk non-metropolitan (Tier 2 dan Tier 3).  Pertama, karena e-commerce adalah platform digital yang paling mudah diterima  masyarakat awam (laggards), mereka yang termasuk ‘ketinggalan zaman’ dalam teknologi.  Kedua, diterimanya layanan digital yang mudah digunakan berhubungan dengan ‘belanja online’ oleh warga awam dari kota kecil dan di desa.   Menurut Riset yang sudah dilakukan, tercatat 66 % pengguna platform e-commerce yang paling mudah diterima masyarakat awam di Tier 2 dan 3.  Untuk ride hailing dan food delivery yang digunakan adalah dibawah 50%.

Untuk digital payment dapat tumbuh subur karena masyarakatnya sudah terbiasa.  Dijelaskan oleh Shirley, perlu terus menggenjot infestasi sektor TI dari banyak stakeholder kepada kota Tier 2 dan 3 supaya tidak terjadi ketimpangan adopsi digital, terutama kemudahan e-commerce bisa masuk.

Menurut Shirley, ada 6 kunci mengembangkan e-commerce, yakni : infrastruktur fisik, digital dan regulasi, edukasi konsumen yang ditambah, mengembangkan SDM, dan akses permodalan buat para pelaku usaha dipermudah.  Keenam hal tersebut ditemukan pada konsumen di Pulau Jawa dan di luar Jawa yang punya prioritas yang berbeda.

Early adopters di Jawa mementingkan kemudahan penggunaan, harga, promosi, dan ketersediaan barang. Sedangkan konsumen yang berada di luar Jawa mementingkan keamanan terutama akses pengiriman yang menjadi kendala utama.  Menurut Shirley, masyarakat ‘Non-Jawa membutuhkan ‘basics-right’ seputar masalah yang berbasis infra. Untuk masyarakat di Jawa, lebih sensitif kepada harga.