(Beritadaerah – Nasional) Di Desa Likotuden, Kecamatan Demon Pagong, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), masyarakat sekitar mengisi tanah yang sudah berlobang dengan benih sorgum. Sejak beberapa tahun terakhir ini, warga yang ada di daerah itu kembali menghidupkan tanaman sorgum. Mereka berada di bawah bimbingan seorang warga bernama Maria Loretha (50 tahun), alumni Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang.
“Sorgum ini mau tumbuh di batu bertanah,” ujar Loretha. Wanita yang biasa dipanggil Mama Loretha bercerita sorgum ini sangat unik. Ketika NTT dilanda Elnino berkepanjangan pada 2015 hingga awal 2016, sorgum mampu bertahan. Sedangkan tanaman lain seperti jagung dan padi mati. “Kini, saat pandemi Covid-19 melanda, makanan kami malah berlimpah,” katanya bangga.
Mama Loretha tergolong gigih. Tak hanya menggagas, ia juga mendampingi petani. Untuk memasyarakatkan budidaya sorgum, Mama Loretha mendirikan Yayasan Cinta Alam Pertanian pada 2007. Yayasan ini kemudian berhasil mendorong lahirnya puluhan kelompok tani pembudidaya sorgum di berbagai kabupaten di NTT.
Sorgum sebagai salah satu pangan alternatif ini rupanya mulai digalakkan Kementerian Pertanian. Pada tahun 2020 ini Kementan meluncurkan program bantuan benih pangan sorgum. “Karena tanaman ini banyak manfaatnya,” kata Direktur Serealia, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementan, Bambang Sugiharto di Jakarta akhir tahun lalu.
Tahun ini Kementan mengalokasikan 5.000 hektar untuk tanaman ini. Jumlah itu akan disebar di sejumlah wilayah di Indonesia. Di Jawa, misalnya, tanaman itu juga sudah mulai dibudidayakan. Salah satunya di daerah Lamongan, Jawa Timur. Melalui wadah bernama Rumah Sorgum Indonesia, sorgum mulai banyak ditanam di wilayah ini.
Di Indonesia, harga sorgum masih tergolang murah. Sorgum segar sekitar dihargai Rp 2.500 sampai Rp 3.000 per kg. Namun nilainya akan bertambah, jika sorgum sudah diolah menjadi produk makanan.
Emy T/Journalist/BD
Editor: Emy Trimahanani