Ilustrasi: Ekspor perdana Isuzu Traga diresmikan oleh Presiden Jokowi 12 Des di Karawang (Foto: Maruli Sinamela/ Vibizmedia)

Optimisme Sektor Industri Menghadapi Dampak Virus Korona

(Beritadaerah – Kolom) Pertemuan World Economic Forum (WEF) Annual Meeting di Davos – Swiss, Januari 2020 lalu, membuat catatan khusus tentang wabah virus korona tipe baru yang saat ini sudah menyebar di 28 negara dengan 40,614 kasus dan 910 sudah meninggal dunia. Hal ini perlu kita perhatikan mengingat bagaimana berpengaruhnya China kepada Indonesia. Sebab hingga saat iniĀ  China adalah rekan dagang Indonesia yang utama. Turunnya pertumbuhan ekonomi China akan sangat berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Ekspor Indonesia ke China pada tahun 2019 sebesar 25,852 miliar dollar Amerika. Angka ini sekitar 16,68 persen dari total ekspor nonmigas Indonesia. Demikian data-data BPS mengenai ekspor nonmigas Indonesia ke China. BPS mencatat juga bahwa impor nonmigas Indonesia dari China lebih besar dari ekspor nonmigas ke China. Tahun 2019 nilainya 44,578 miliar dollar Amerika atau 29,95 persen dari total impor non migas Indonesia.

Impor bahan baku dari China saat ini sebesar 30 persen dari kebutuhan manufaktur Indonesia. Malahan beberapa industri membutuhkan bahan baku dari China lebih dari itu, bahan baku farmasi dikatakan President Director PT Hexpharm Jaya Laboratories Mulia Lie lebih dari 60 persen. Bisa dipastikan memang hal ini terjadi karena harga bahan baku dari China lebih murah dibandingkan dari negara lain.

Tahun 2019 sektor Industri menyumbang sebesar 19,7 persen pada struktur PDB Indonesia. Kita tetap perlu mempertahankan pertumbuhan sektor Industri sebab sektor ini menyumbangkan nilai terbesar bagi PDB.

Alternatif menghadapi kondisi ini, pilihannya adalah diturunkannya kapasitas produksi dan stok bahan baku dibatasi pembeliannya. Namun pilihan ini sudah barang tentu akan menurunkan pertumbuhan sektor Industri ini. Pilihan ini tentulah bukanlah pilihan yang bijak bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia, namun akan dilihat para pelaku bisnis untuk menyelamatkan industri manufaktur. Perbaikan struktur biaya produksi merupakan pilihan yang dibutuhkan bagi industri manufaktur dengan melakukan kombinasi sumber bahan baku yang lebih murah. Kebijakan ini membutuhkan bantuan hasil-hasil penelitian dalam hal pencarian bahan baku yang bisa menjadi substitusi impor.

Presiden Jokowi malahan tidak melihat wabah virus korona ini hanya sebagai ancaman, namun juga kesempatan untuk meraih pasar-pasar yang tidak dapat dipenuhi oleh China karena masih tertutupnya industri manufaktur China untuk mengekspor produk. Harga dan kualitas Indonesia selama ini boleh dibilang masih bersaing dengan produk-produk China. Presiden bertindak cepat, dalam kunjungannya ke Australia juga membuka akses pasar untuk produk otomotif, elektronik, obat-obatan, tekstil dan produk-produk lainnya.

Dari kacamata ekonomi makro tentunya pemerintah perlu mencari sumber pertumbuhan lain untuk menghadapai kemungkinan turunnya industri manufaktur. Pilihan lain seperti lebih mengupayakan pertumbuhan BUMN yang dipandang lebih produktif untuk menghasilkan. Stimulus ekonomi untuk BUMN dari sisi moneter dan penyiapan infrastruktur yang tetap dilakukan merupakan alternatif untuk tetap mencapai pertumbuhan yang ingin dicapai.

Kementrian Perindustrian (Kemenperin) sendiri yakin bahwa pertumbuhan Industri sebesar 5,3 persen akan dapat dicapai pada tahun 2020. Mengapa Kemenperin tetap yakin akan pencapaian target pertumbuhan yang ditetapkan? Karena akan adanya rencana penurunan harga gas Industri. Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menyampaikan agar harganya menjadi 6 dolar Amerika Million British Thermal Unit (MMBTU). Padahal selama ini harganya di atas itu, bisa di atas 6 dolar per MMBTU, diharapkan penurunan ini berpengaruh secara signifikan pada sektor industri. Kebijakan penurunan ini akan berdampak pada struktur biaya industri yang lebih murah dan menyelamatkan Indonesia dari gejolak ekonomi dunia akibat wabah virus korona. Optimis Indonesia maju!