Ilustrasi: Layanan Airnav 24 jam

Indonesia Ditengah Ketidakpastian Makro Global

Pada pertemuan Iluni Jumat 8 Agustus yang lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Suahasil, dan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti menyampaikan pembahasan yang menarik bagaimana sikap Indonesia menghadapi dinamika kondisi ekonomi dunia saat ini.

Kondisi ekonomi global mengalami dinamika yang luar biasa, tidak hanya disebabkan tren ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi yang tinggi atau melemah karena faktor fundamental. Namun kondisi ekonomi global dipengaruhi juga oleh kebijakan atau sekarang ini karena sebuah statement atau twitter President Donald Trump.

Krisis Ekonomi Tahun 2008-2009

Kondisi hari ini bila dilihat dari prespektif sesudah krisis keuangan global tahun 2008-2009, dimana dengan terjadinya krisis kondisi ekonomi global tahun 2008 – 2009 yang berpusat di Amerika Serikat, dan menular di Eropa, yang kemudian ditanggapi dengan kebijakan fiskal dan moneter yang loosening atau terkenal dengan quantitative easing di bidang moneter. Kebijakan ini meliputi dua hal, yang pertama penurunan suku bunga yang mendekati nol persen, bahkan sudah nol persen untuk beberapa negara sudah mencapai nol persen. Serta menambah jumlah uang beredar melalui pembelian asset-asset sekuritas yang mengalami kondisi yang memburuk karena krisis keuangan. Kondisi ini berlangsung sejak tahun 2008 hingga 2015, jadi selama 8 tahun ekonomi Amerika dan Eropa terus menerus mendapatkan supply steroid. Padanan tentang hal ini seperti yang digunakan untuk fitness steroids, yang akan nampak otot yang bagus saat mengkonsumsinya, kondisi inilah yang menyebabkan floating economy.

Selain Amerika dan Eropa, Jepang juga mengalami interest rate hingga nol persen, dan juga China menanggapi dengan kebijakan yang penting, saat itu China melakukan fiscal stimulus yang luar biasa besar untuk bisa mengurangi dampak krisis karena ekonomi China sangat dipengaruhi oleh investasi dan ekspor. Ekspor terpukul karena negara tujuan ekspor nya mengalami pukulan berat yaitu Eropa dan Amerika Serikat, dan berhasil karena ekonomi China bertumbuh di atas 7 persen, meskipun secara struktural ekonomi China tidak dapat bertahan terus di atas 7-8 persen.

Kombinasi kebijakan negara-negara besar ini disebutkan menyelamatkan ekonomi dunia, krisis 2008-2009 yang dikuatirkan akan menciptakan depresi dunia seperti tahun 1930 an, tidak terjadi dan dunia terhindar dari depresi. Namun tentu ada biayanya, biaya inilah yang sekarang dalam situasi yang sangat kompleks untuk dikurangi atau bahkan dihilangkan. Apakah biaya itu? Yaitu ekonomi yang sangat tergantung pada stimulus, yang membuat untuk seluruh dunia central banker menghadapi dilema yang tidak mudah. Tidak mungkin sebuah perekonomian bergantung terus menerus pada kebijakan moneter suku bunga rendah dan quantitative easing. Sama seperti padanan dengan tubuh yang berlatih fitness, tubuh menjadi besar dan berotot bukan karena steroid namun harus makan dan berlatih agar ototnya menjadi besar. Teorinya kebijakan-kebijakan tadi diganti dengan kebijakan-kebijakan yang lebih struktural, ini adalah kondisi ekonomi dunia.

Kondisi Ekonomi Global Saat Ini

Komunike G20 pada saat itu -yaitu 20 negara yang dianggap systematically important – mengatakan pada saat itu ekonomi harus diselamatkan, bersinergi menyelamatkan ekonomi melalui restrukturisasi perbankan sehingga timbul Bessel 3 dan Bessel 4. Lima tahun yang lalu saat presiden Jokowi pertama menjabat sebagai presiden, G20 kembali menyepakati ekonomi dunia ditargetkan tumbuh diatas 2 persen dari rata-rata dengan real policy yaitu dengan structural policy yang tidak lagi bergantung pada stimulus monetary policy. Sejak saat itu timbul wacana mengurangi quantitative easing dan tahun 2013 muncul tapper tantrum dimana ekonomi Indonesia terpukul dan Indonesia masuk sebagai fragile five, yaitu negara-negara yang akan memiliki masalah waktu stimulus ekonomi akan dikurangi. Dua hal yang akan dilakukan oleh Bank-Bank Sentral dunia yaitu mengurangi jumlah uang beredar dan menaikan suku bunga, dan ekonomi akan mengalami gejolak. Umumnya saat federal reserve menaikan suku bunga akan diikuti oleh krisis ekonomi di negara-negara dunia. Kondisi ini menyebabkan tahun 2018 menjadi tahun yang tidak mudah, sebab federal reserve menaikkan suku bunga empat kali dan mengurangi quantitative easing dengan mengurangi pembelian surat berharga, demikian hal yang sama dilakukan oleh Eropa. Ekonomi seharusnya segera pulih dengan normal tanpa stimulus karena sudah 10 tahun mendapatkan stimulus terus menerus.

Perekonomian Indonesia Saat Ini

Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir pertumbuhannya rata-rata pada 5,5 persen yang terjadi pada berbagai kondisi ekonomi dunia. Saat mengalami commodity boom dimana harga minyak terus meningkat, ataupun juga tapper tantrum yang mendatangkan gejolak pada ekonomi Indonesia melalui kurs, harga minyak, trade war, currency war, gejolak bisa datang dari dalam negeri seperti adanya bencana alam, politik, dan lainnya. Diperlukan kebijakan-kebijakan yang menjaga pertumbuhan ekonomi, stabilitas ekonomi, inflasi, nilai tukar yang tetap terjaga. Jadi dalam mengelola ekonomi yang selalu dinamis seperti trade war menimbulkan ketidakpastian yang menimbulkan gejolak nyata seperti capital outflowing, dan IMF memprediksi juga turunnya pertumbuhan ekonomi dunia sebesar 0,5 persen atau sebesar ekonomi Afrika Selatan.

Di era globalisasi ini ada faktor-faktor yang systematically important yang di luar kendali Indonesia yaitu negara-negara besar yang kebijakan ekonominya akan mempengaruhi kondisi seluruh dunia. Bagaimanakah Indonesia dapat bertahan menghadapi ini semua? Indonesia sebagai negara besar, populasi penduduk yang besar, ekonominya besar diatas 1 triliun dolar Amerika, geografinya juga besar memiliki fleksibiltas, berbeda dengan Singapura misalnya yang karena perang dagang pertumbuhan ekonominya langsung negatif, karena ekonominya bergantung secara global juga perdagangan internasional.

 Apa Yang Akan Dilakukan Indonesia?

Indonesia memiliki sumber pertumbuhan yang berasal dari dalam negeri, meskipun tidak selamanya namu berguna sebagai bantalan perekonomian. Maka kebijakan Indonesia adalah menjaga competitiveness untuk kemungkinan bisa masuk pada perdagangan internasional namun ekonomi dalam negeri yang ada dalam kendali kita harus dikembangkan. Apa saja yang termasuk di dalamnya adalah konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah dan investasi. Konsumsi rumah tangga dijaga bertumbuh di atas 5 persen bila harga-harga relatif stabil dan consumer confidence yang positif.  Pengeluaran pemerintah diarahkan kepada tiga hal yang sangat penting yang pertama adalah pembangunan manusia karena demografi yang besar namun kurang trampil. Yang kedua adalah pembangunan infrastruktur dan terakhir reformasi birokrasi untuk stimulasi investasi. Kebijakan investasi menjadi penting karena pada saat menghadapi ketidakpastian kita harus memiliki resiliansi.

Beberapa pekerjaan rumah yang secara fundamental harus dilakukan Indonesia adalah pertama untuk daya tahan ekonomi harus ditingkatkan, sekalipun Indonesia memiliki pertumbuhan yang bagus, inflasi bagus namun karena kita menganut current account deficit menjadi vulnerable saat gejolak global terjadi, karena itu investasi harus ditingkatkan. Kedua, perlu adanya financial deepening, contohnya struktur Surat Utang Negara (SUN) kita yang masih 30 persen dipegang asing, perlu dikurangi agar bila ada gejolak tidak mengakibatkan goncangan. Perlunya akselerasi pada financial inclusion Indonesia dengan memperbanyak financial instrument di Indonesia. Asuransi juga masih kecil, orang Indonesia masih sering beli pulsa daripada asuransi, perlunya adanya financial planning sehinga tidak terjadi kondisi ekonomi yang rentan.

Menghadapi ketidakpastian ini maka perlu sekali Indonesia terus meningkatkan competitiveness, productivity, financial deepening dan juga reformasi birokrasi untuk menarik investasi.